Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Falsafah Bambu dalam Perjuangan

Widi Kusnadi - Senin, 28 Oktober 2019 - 05:25 WIB

Senin, 28 Oktober 2019 - 05:25 WIB

42 Views

Oleh: Widi Kusnadi, wartawan MINA

Bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat di dunia. Di berbagai belahan dunia, khususnya di Kawasan Asia, bambu memiliki nilai filosofis dalam beberapa kebudayaan bangsa. Negeri Cina terkenal dengan luasnya areal tanaman bambu yang tumbuh di sana. Mereka juga menjadikan bambu sebagai simbol keteguhan dan ketulusan. Itulah sebabnya mereka dijuluki Negeri Tirai Bambu.

Demikian juga Jepang, negeri itu juga terkenal dengan bambunya. Konon dalam cerita rakyat Jepang, setelah kota Hiroshima & Nagasaki dibom oleh Sekutu, bambu adalah pohon yang pertama kali tumbuh di wilayah itu. Itulah sebabnya bambu menjadi bagian dari budaya dan menopang kebutuhan hidup masyarakat Jepang.

Pada masa perjuangan Indonesia melawan penjajah, kakek nenek moyang kita banyak menanam bambu di sekitar rumah dan pekarangannya. Untuk menandai batas satu desa dengan desa lainnya sering pula dengan menggunakan pohon bambu. Bahkan pada masa itu, bambu dijadikan sebagai senjata utama dalam mengusir para penjajah, yang kita kenal dengan bambu runcing.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Dalam istilah Orang Jawa, bambu tua disebut dengan Bongkotan, bambu yang sudah tumbuh tinggi disebut Pring, sedangkan bambu yang masih muda disebut Bung (rebung). Dai asal Jawa Timur, Ust. Anwar Zahid mengatakan, dalam kalimat terakhir lirik lagu Halo-Halo Bandung, ada kalimat “Mari Bung Rebut Kembali” kata “Bung” mengacu kepada harapan masa depan perjuangan yang berada di tangan para generasi muda seperti halnya ketika menyebut bambu muda dengan sebutan “Bung”.

Dari nama itulah kemudian muncul istilah yang lantas dijadikan sebagai nama panggilan akrab para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Yamin, Bung Tomo dan lainnya. Kata Bung menjadi simbol dan sebutan bagi mereka yang memiliki semangat untuk tumbuh, memiliki visi perjuangan  demi menggapai cita-cita mulia.

Pelajaran dari Pohon Bambu

Masa muda merupakan masa keemasan dalam kehidupan manusia. Pemuda berada di puncak kehidupan yang penuh semangat dan gairah, laksana gelombang tertinggi di laut yang memiliki energi, kecepatan dan daya gerak yang sangat besar. Masa muda juga dipenuhi dengan tingginya kepercayaan diri, independensi, kreativitas dan inovasi.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Dalam masa perjuangannya menggapai cita-cita mulia, rasanya generasi muda perlu mengambil pelajaran berharga dari pohon bambu agar mereka tidak tumbang di tengah perjuangan, tidak terhenti sebelum tercapai cita-citanya.

Seperti bambu muda, Bung memiliki ciri khas lancip ke atas. Lancip melambangkan bahwa generasi muda harus bersifat kritis terhadap segala fenomena kehidupan. Menghadap ke atas artinya senantiasa berorientasi kepada masa depan, tidak terlena dengan sejarah kelam masa lalu dan fokus pada perubahan untuk masa depan yang lebih baik.

Jika ada Bung yang tidak lancip dan tidak menjulang ke atas, maka orang Jawa akan segera mengambilnya untuk kemudian dijadikan sayur rebung. Karena ia tidak layak untuk tumbuh, berkembang dan menjadi penyangga kehidupan.

Bambu muda, Bung juga memiliki pembungkus yang berbulu. Artinya generasi muda, khususnya muslimah, harus senantiasa dibungkus auratnya agar tidak menjadi objek pelecehan dan kekerasan seksual, tidak mudah orang menyentuhnya, kecuali memang yang sudah halal baginya.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Bambu adalah jenis tanaman yang hidup berkelompok dan berumpun dengan akar yang selalu berpegangan satu sama lain. Batang bambu sangat fleksibel. Ketika ada angin kencang, pohon bambu akan merunduk. Setelah angin berlalu, dia akan tegak kembali. Bahkan ketika dihantam badai, pohon bambu akan meliuk-liuk indah dan menimbulkan derit suara yang bersahutan laksana orkestra alam.

Hidupnya bambu yang berkelompok dan berumpun seperti halnya fitrah manusia yang harus hidup berjamaah, saling bekerja sama dan saling menguatkan satu sama lain. Agama kita memerintahkan agar dalam perjuangan, kita harus saling bekerja sama dan menguatkan satu sama lain.

Fleksibilitas batang bambu juga mengajarkan kita sikap hidup yang harus mampu beradaptasi pada lingkungan. Saat ujian dan cobaan datang, kita perlu bersikap lentur, tidak menentang dan melawannya dengan keras. Penentangan yang keras akan berakibat robohnya ”tubuh” kehidupan kita, sebaliknya hanyut dan lari dari masalah juga akan menghilangkan eksistensi diri. Maka sikap yang paling bijak adalah tetap berpijak pada keteguhan hati dalam menjalani hidup.

Generasi muda, meski memiliki tekad dan semangat kuat, akan tetapi juga harus mampu bersikap lentur, menyesuaikan dengan keadaan untuk terus bisa eksis dan bermanfat. Saat orang lain bertumbangan dalam menghadapi masalah, maka manusia berkarakter bambu akan tetap eksis, dan bahkan menampilkan lambaian indah, suara yang merdu dan terus memberi manfaat bagi masyarakat.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Tidak ada kata menyerah untuk terus tumbuh. Tidak ada alasan untuk berhenti dalam keterbatasan. Karena pertumbuhan harus diawali dari kemampuan untuk mempertahankan diri dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Hidup kita harus menjadi bagian dari pembawa manfaat dan keberkahan bagi sesama.

Namun sayang, seiring berjalannya waktu, saat ini bambu di Indonesia sering diidentikan dengan kemiskinan dan kaum ndheso. Bahkan, pemerintah menetapkan salah satu indikator kemiskinan adalah masyarakat yang masih menggunakan dinding bambu untuk rumah mereka. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

 

Rekomendasi untuk Anda

MINA Millenia
Kolom
MINA Preneur
Palestina
Khutbah Jumat