Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Farid Al-Baz Bergelar Doktor di Rusia, Tapi Tetap Sulit Mendapatkan Pekerjaan di Gaza

Rudi Hendrik - Senin, 1 Mei 2023 - 20:01 WIB

Senin, 1 Mei 2023 - 20:01 WIB

5 Views

Farid al-Baz, 36, memperoleh gelar yang lebih tinggi di Rusia dengan harapan bisa bekerja sebagai profesor universitas, tapi dia sekarang bekerja sebagai pelatih di gym di Gaza. (Ahmed Dremly/Electronic Intifada)

Oleh: Ahmed Dremly, jurnalis, penulis, dan penerjemah lepas di Gaza

 

Mendapatkan pekerjaan di kota Gaza merupakan barang yang mahal. Pasalnya, wilayah tersebut terisolasi dan diblokade oleh Zionis Israel sejak 2007 lalu ketika gerakan perjuangan HAMAS memenangi pemilu di Palestina.

Hal itulah yang dirasakan Farid al-Baz (36 tahun) ketika kembali ke rumahnya di Gaza pada Mei 2022 lalu. Dia telah menghabiskan tujuh tahun terakhir belajar di Volgograd, sebuah kota besar Rusia yang berjarak sekitar 600 mil di selatan Moskow.

Baca Juga: Israel Halangi Evakuasi Jenazah di Gaza Utara

Dia memperoleh gelar doktor dalam pendidikan jasmani di Universitas Pedagogi Negeri Volgograd, tetapi begitu dia kembali ke Gaza, dia harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan.

Ini bukanlah cerita asing bagi al-Baz,  kembali pada tahun 2006, ia lulus dari University College of Applied Sciences di Kota Gaza dengan gelar dua tahun di bidang pendidikan jasmani.

Dia kemudian memperoleh gelar sarjana di jurusan yang sama dari Universitas Al-Aqsa sambil bekerja paruh waktu sebagai pelatih di gym lokal dengan gaji $81 per bulan, kemudian sebagai sekretaris di klinik gigi dengan gaji $68 per bulan.

Al-Baz ingin sekali mencari karir di bidangnya. Dia bersemangat tentang pendidikan jasmani dan ingin bekerja sebagai guru. Tetapi pekerjaan tidak banyak tersedia. Dia berpikir bahwa memperoleh gelar lain akan meningkatkan prospek pekerjaannya.

Baca Juga: Keluarga Tahanan Israel Kecam Pemerintahnya Sendiri

“Saya memutuskan untuk belajar di Rusia karena relatif murah dan peringkat teratas,” katanya.

Dia meninggalkan Gaza menuju Volgograd pada tahun 2015. Dia mencoba mencari beasiswa tetapi tidak berhasil.

Ibunya menjual perhiasan pernikahan lamanya untuk membayar uang muka pendidikan universitasnya, dan ayahnya, seorang pensiunan guru dengan gaji bulanan $400, membantunya membayar uang sekolah.

Sementara itu, istrinya, yang saat itu hamil 32 minggu, setuju untuk menyewakan apartemen mereka seharga $165 sebulan untuk membayar akomodasinya di Rusia.

Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang

Dia tidak bisa mengunjungi Gaza selama tujuh tahun berada di Rusia.

“Saya takut jika saya mengunjungi Gaza, penyeberangan Rafah akan ditutup dan saya akan terjebak,” katanya.

Penyeberangan Rafah antara Gaza dan Mesir adalah satu-satunya cara bagi sebagian besar penduduk Gaza untuk meninggalkan Jalur Gaza. Karena penyeberangan tersebut sering ditutup dan Israel mengendalikan semua izin perjalanan, terdampar adalah kemungkinan yang nyata.

“Yang paling penting, biaya perjalanan saya mencapai $2.000, dan saya membutuhkan setiap sen untuk membayar biaya kuliah saya.”

Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina

Hatinya hancur ketika istrinya mengiriminya foto putri mereka, tetapi dia yakin pengorbanannya karena tidak melihat keluarganya, dalam jangka panjang akan terbayar.

“Saya tetap bersabar, tetapi dengan kesedihan yang luar biasa, karena saya berharap mendapatkan pekerjaan yang layak untuk membuat masa depan yang lebih baik bagi kami,” katanya.

Selama tujuh tahun di Rusia, biaya pendidikannya mencapai sekitar $40.000. Sekarang, kembali ke Gaza, dia masih tidak dapat menemukan pekerjaan di bidangnya, bahkan dengan gelarnya yang tinggi.

Mendambakan posisi guru

Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza

Al-Baz melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dia lakukan sebelum memperoleh gelar doktor di luar negeri, yaitu seorang pelatih di sasana setempat. Dia menghasilkan sekitar $165 sebulan.

“Saya sangat terkejut,” katanya, karena dia yakin dia akan menjadi kandidat untuk pekerjaan profesor.

“Kesehatan mental saya memburuk. Ayah saya selalu takut saya akan menyakiti diri sendiri karena marah dan sedih, tetapi dia selalu mengangkat saya,” katanya.

Lulusan perguruan tinggi seperti al-Baz merasakan keputusasaan yang meluas karena situasi pekerjaan mereka.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Sementara mereka menganggap diri mereka beruntung bisa bekerja, mereka bertanya-tanya kapan dan bagaimana mereka akan menemukan pekerjaan yang lebih sesuai dengan keterampilan mereka.

Ziad Thabet, Wakil Menteri Pendidikan di Gaza, mengatakan bahwa 46.000 orang melamar posisi guru pada tahun 2021. Sementara itu, Kementerian hanya mempekerjakan sekitar 500 guru baru setiap tahun.

“Ayah saya membayarkan semua uangnya untuk studi saya,” kata al-Baz. “Orang tua saya tidak makan sehari-hari untuk mengirimi saya uang. Ibu saya menolak untuk memperbaiki dapur demi studi saya.”

Al-Baz mengatakan bahwa saudaranya sedang belajar kedokteran di Venezuela.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

“Kami selalu menyarankan dia untuk tidak kembali ke Gaza dalam keadaan apa pun, karena di mana pun lebih baik dari Gaza, di mana pekerjaan benar-benar kurang,” katanya. (AT/RI-1/P2)

Sumber: The Electronic Intifada, dengan tambahan yang diperlukan.

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman

 

Rekomendasi untuk Anda