Oleh: Rudi Hendrik, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Dia dipukuli sampai mati, dilindas dengan mobil, dibakar, lalu dibuang ke sungai oleh massa yang marah dan menuduhnya membakar salinan kitab suci umat Islam, Al-Quran.
Tapi, wanita Afghanistan yang dikenal bernama Farkhunda itu sebenarnya tidak bersalah dan tidak pernah melakukan tindak kejahatan tersebut.
Sebuah laporan menyebutkan, orangtuanya mengungkapkan, puteri mereka menderita gangguan kesehatan mental selama beberapa tahun. Mereka juga mengatakan, dia adalah seorang ulama perempuan yang tidak mungkin akan membakar kitab suci tersebut.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Kriminal massa yang brutal
Kamis lalu, 19 Maret 2015, dunia digulung kengerian setelah menyaksikan melalui video online amatir, sekerumunan massa Afghanistan yang menghakimi seorang wanita muda sarjana ilmu agama berusia 27 tahun hingga mati.
Massa memukuli dan menendangi wanita lemah itu tanpa ampun, memukulnya dengan balok kayu, melemparnya dengan batu besar, menaikkan tubuhnya ke atap lalu menjatuhkannya kembali ke bawah, menggilas tubuhnya dengan mobil, menyeretnya ke pinggir Sungai Kabul. Lalu, membakarnya di dekat masjid paling terkenal di ibukota Afghanistan, Shah Doshamshera.
Penghakiman massa itu direkam oleh kamera dan didistribusikan secara luas di media sosial.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Apa yang terjadi?
Farkhunda dilaporkan terlibat dalam perdebatan argumen dengan penjual jimat di sebuah kuil kecil di sebelah masjid.
Polisi Sayed Habid Shah mengatakan, peramal menuduhnya “membakar Al-Quran”.
“Dia mengatakan, ‘Saya seorang Muslim dan Muslim tidak membakar Al-Quran’,” kata Shah kepada wartawan Associated Press (AP). “Karena semakin banyak orang berkumpul, polisi berusaha untuk membubarkan mereka, tapi massa di luar kendali.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Orang-orang menariknya ke sudut halaman dan memukulinya dengan tongkat, dan satu orang mengambil sebuah batu besar dan menjatuhkan pada dirinya. Itu adalah akhir,” ujarnya.
Ayah Farkhunda, Mohammed Nadir mengatakan kepada TOLOnews, tidak ada alasan puterinya akan membakar halaman Al-Quran dan dia tidak bersalah.
Investigasi
Kepala Polisi Kabul Abdul Rahman Rahimi mengatakan, 18 orang telah ditangkap dan semua telah mengakui perannya dalam kematian Farkhunda.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Namun jumlah penangkapan sekarang meningkat menjadi 26 orang di mana penyelidikan berkembang, menurut CNN.
Rahimi mengumumkan di sebuah konferensi pers, kepolisian memiliki cukup bukti terhadap para tersangka.
Dia juga mengatakan, 13 polisi bertugas di wilayah masjid itu telah diberhentikan di tengah tuduhan “mereka hanya berdiri dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikan serangan”, sementara empat polisi lainnya dalam penyelidikan.
Salah seorang polisi yang menyaksikan serangan, Sayed Habid Shah, mengatakan, mereka kewalahan oleh banyaknya massa.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Farkhunda tidak bersalah
Detektif paling senior Afghanistan mengatakan, tidak ada bukti yang telah ditemukan untuk mendukung klaim bahwa Farkhunda membakar Al-Quran.
Serangan itu berkembang dari perselisihan antara Farkhunda, seorang wanita berjilbab yang baru saja meraih gelar dalam studi agama dan akan mengajar, dengan orang-orang yang menjual jimat di kuil Shah-Do Shamshera, di mana pembunuhan itu terjadi .
Teman-teman dan keluarga Farkhunda mengatakan, dia menganggap penjual jimat sebagai parasit dan mengatakan perempuan hanya membuang-buang uangnya kepada mereka.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Dan ayahnya mengatakan, orang-orang merespon dengan membuat tuduhan palsu.
“Berdasarkan kebohongan mereka, orang-orang menuduh Farkhunda bukan Muslim dan memukulinya sampai mati,” katanya.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri menyatakan telah memberikan perlindungan ekstra kepada keluarganya.
Dunia bereaksi
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Ribuan orang pada Selasa 24 Maret 2015 malakukan unjuk rasa di Kabul, ibukota Afghanistan, menuntut keadilan atas pembunuhan yang mengejutkan seluruh negeri itu.
Aksi ini juga menyeru kepada pihak berwenang untuk memastikan hak-hak perempuan atas kesetaraan dan perlindungan dari kekerasan.
“Pihak berwenang harus menuntut mereka yang terlibat dalam kejahatan mengerikan ini dan mengambil tindakan terhadap petugas polisi yang membiarkan massa melakukannya,” kata peserta aksi.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan, pemerintah seharusnya tidak hanya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu, tetapi juga disiplin atau menuntut polisi yang gagal bertindak dan pejabat yang telah membuat pernyataan “pembenaran” atas pembunuhan tersebut.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Reaksi sosial media
Pembunuhan brutal itu mendorong gelombang dukungan bagi mendiang Farkhunda di media sosial dan mengecam aksi massa tersebut.
Orang-orang di Twitter dikejutkan oleh serangan brutal dan menyerukan diakhirinya kekerasan terhadap perempuan.
“Mengapa tidak ada polisi Afghanistan yang menghentikan massa penghujat gila dari membunuh wanita yang diklaim melanggar Quran?” tulis akun Twitter @KenRoth (Kenneth Roth).
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Pemerintah Afghanistan harus mengadili petugas keamanannya yang menyaksikan wanita dipukuli, dilindas di bawah mobil dan kemudian dibakar oleh massa,” tulis akun lainnya bernama Naseh.
Sementara di Facebook, kampanye Justice for Forkhunda menyerukan keadilan untuk perempuan.
Seruan aksi
Farkhunda seperti orang Afghanistan lainnya hanya memiliki satu nama. Dia dimakamkan di tengah kemarahan publik yang besar, di mana pada Selasa (24/3) peti matinya dibawa oleh para aktivis perempuan.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Para pengunjuk rasa berkumpul di dekat masjid Shah Doshamshera, menuntut pemerintah mengadili semua orang yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Aktivis sosial menanam pohon pinus di tepi sungai, tepat di mana tubuh Farkhunda dibakar. Banyak dari mereka adalah anggota Partai Solidaritas Afghanistan. Mereka memblokir jalan di luar masjid dan berbaris di sepanjang rute sungai, mulai dari mana serangan itu dimulai.
Banyak wanita dalam aksi itu memakai topeng wajah Farkhunda yang babak belur dan berdarah. Gambar wajah itu telah muncul secara luas di media sosial. Mereka membawa spanduk yang menuduh pemerintah melanggar janji untuk mengakhiri korupsi dan menegakkan hukum di Afghanistan.
Aktivis berjanji akan melakukan aksi protes setiap hari selama sepekan untuk menjaga tekanan pada pemerintah agar bertindak mengekang kekerasan terhadap perempuan.
“Orang yang dengan nyaman difilmkan saat melakukan pembunuhan seperti ini di siang hari adalah gejala dari budaya impunitas (tanpa hukum),” kata aktivis Ramin Anwari, mengutip rekaman ponsel dari serangan terhadap Farkhunda.
Dalam kemarahan
Menurut Human Rights Watch (HRW), foto dan video yang diambil di tempat kejadian menunjukkan ada lebih banyak laki-laki yang menghakimi Farkhunda daripada mereka yang ditangkap.
Petugas polisi dilaporkan telah mencoba membubarkan, tapi HRW mengatakan polisi bereaksi terlambat untuk membantu.
HRW juga mengatakan, foto-foto menunjukkan polisi berdiri di dekat Farkhunda saat wanita itu dipukuli, namun tidak sedikit pun bertindak untuk melindunginya atau menghentikan serangan.
HRW juga mengkritik adanya pejabat pemerintah yang membuat pernyataan yang membenarkan tindakan massa tersebut.
Juru bicara Kepala Polisi Kabul Hashmat Stanakzai dilaporkan memposting di Facebook-nya yang menuding Farkhunda “murtad” dan mencoba untuk mendapatkan kewarganegaraan Eropa atau Amerika Serikat melalui tindakannya. Akhirnya, Stanakzai pun telah meminta maaf atas postingannya. (T/P001/P4)
Sumber: News.com.au
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)