Gaza, MINA— Di tengah kebuntuan diplomatik global dalam menghentikan genosida brutal penjajah Zionis Israel atas rakyat Palestina di Gaza, seruan jihad dari para ulama terkemuka dunia muncul sebagai isyarat perlawanan moral dan spiritual.
Fatwa bersejarah ini, yang digagas Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional yang dipimpin Syaikh Ali Al-Qaradaghi bersama 14 ulama lintas negara, menyerukan tindakan konkret dari dunia Islam untuk menghentikan pembantaian yang telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina selama 17 bulan terakhir.
Fatwa yang terdiri dari 15 butir itu menekankan pentingnya mobilisasi negara-negara Islam—baik secara politik, ekonomi, maupun militer—untuk menghentikan kekejaman Israel. Seruan ini datang di tengah tumpulnya peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pasifnya para pemimpin Arab dalam merespons krisis kemanusiaan di Gaza.
Menanggapi hal ini, Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin menyatakan dukungan penuhnya atas fatwa tersebut. Ia menilai, keputusan para ulama dunia memiliki signifikansi besar bagi lebih dari 1,7 miliar umat Muslim di seluruh dunia.
Baca Juga: Hampir 196 Ribu Jamaah Indonesia Telah Lunasi Biaya Perjalanan Haji 2025
“Fatwa ini bukan sekadar keputusan keagamaan, tetapi menjadi titik balik bagi dunia Islam untuk bangkit dan menyatukan langkah menghentikan genosida,” ujar Prof. Haris, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Jember dan Guru Besar UIN KHAS Jember.
Menurut Prof. Haris, terdapat empat landasan kuat yang membuat fatwa ini sangat relevan dan mendesak. Pertama, sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel di Gaza dilakukan secara brutal dengan dalih memerangi Hamas, namun justru menargetkan warga sipil. Lebih dari 50.000 orang tewas, ratusan ribu luka-luka, dan jutaan lainnya terusir dari tempat tinggalnya.
Kedua, Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli 2024 secara tegas menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal dan melanggar hukum internasional.
Ketiga, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah menetapkan PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menhan Yoav Gallant sebagai tersangka penjahat perang, namun hingga kini belum ada tindakan konkret atas surat penangkapan yang diterbitkan.
Baca Juga: Indonesia Gaet Prancis untuk Percepat Kesepakatan Dagang dengan Uni Eropa
Keempat, setelah perjanjian gencatan senjata yang tercapai pada Januari 2025 berakhir di Maret, Israel kembali menggempur Gaza dan menewaskan lebih dari 1.000 warga sipil hanya dalam waktu singkat.
Prof. Haris menekankan bahwa meski tidak memiliki kekuatan hukum formal, fatwa jihad ini memiliki dampak sosial dan psikologis besar, menyasar dua miliar Muslim di 55 negara dan menegaskan solidaritas global terhadap Palestina.
Di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lebih dahulu mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang mewajibkan dukungan umat Islam terhadap kemerdekaan Palestina dan mengharamkan segala bentuk dukungan terhadap Israel, termasuk dukungan ekonomi, politik, dan produk yang berafiliasi dengan zionisme.
“MUI juga mengimbau pengumpulan zakat, infak, sedekah, doa, dan Salat Gaib untuk para syuhada Palestina, serta mendorong langkah diplomasi pemerintah di PBB dan OKI,” ungkap Prof. Haris.
Baca Juga: 91 Tenaga Kesehatan Haji Jabar Ikuti Pelatihan Intensif Jelang Musim Haji 2025
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa fatwa jihad harus dipahami dalam kerangka makro: sebagai gerakan moral yang terorganisir di bawah kendali negara. “Warga harus patuh pada otoritas negara dalam menjalankan jihad, demi menjaga stabilitas, keabsahan hukum, dan menghindari kekacauan,” katanya.
Fatwa ini, kata Prof. Haris, juga menyampaikan pesan universal lintas agama bahwa perjuangan ini adalah tentang menentang ketidakadilan dan genosida, bukan konflik antaragama.
“Ini bukan tentang memusuhi satu agama, melainkan membela kemanusiaan,” pungkasnya.[]
Baca Juga: Operasi Ketupat 2025 Sukses Tekan Angka Kecelakaan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Banjir Rob Hambat Lalin Jalur Demak–Semarang