Bangka Belitung, MINA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama mengeluarkan fatwa tentang larangan menggabungkan salam lintas agama.
Hal itu disampakan Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Prof KH Asrorun Niam Sholeh ketika membacakan, hasil Ijtima Ulama VIII yang dilaksanakan di Bangka Belitung.
Prof Niam menjelaskan, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama tidak diperbolehkan dan bukanlah makna dari toleransi yang dibenarkan.
Karena dalam Islam, kata Prof Niam yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubudiyah.
Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok
“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” kata Prof Niam membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII, sebagaimana dipublikasikan di laman resmi MUI, Selasa (4/6).
Prof Niam menjelaskan, pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan.
“Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi,” katanya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, dalam prinsip hubungan antar umat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.
Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Hal itu juga harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
“Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai,” kata Prof Niam yang juga Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.
Meski begitu, Prof Ni’am menegaskan, umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan atau merendahkan agama lain (al-istihza’). “Antar umat beragama tidak boleh mencampuri dan atau mencampuradukkan ajaran agama lain,” tegasnya.
Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini digelar pada 28-31 Mei 2024 dengan mengangkat tema tentang Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat.
Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina
Kegiatan ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa Ormas Islam Tingkat Pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas Syariah perguruan tinggi keIslaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Kegiatan ini juga dibuka oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Sebelum pembukaan, hadir sejumlah tokoh untuk memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan Ijtima antara lain Ketua BAZNAS Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 KH Jusuf Kalla serta Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA