Fatwa Ulama tentang Boikot Israel

Oleh : , Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Lebih dari 50 Sarjana Syariah di Yordania mengeluarkan fatwa yang mewajibkan boikot ekonomi terhadap Israel.

Fatwa juga menyebutkan dan menganggap bahwa ketidakpatuhan terhadap kewajiban boikot adalah “kesetiaan kepada musuh-musuh Allah”.

Sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh sejumlah Guru Besar Syariah Islam terkemuka di kerajaan Yordania mengatakan, “Boikot ekonomi terhadap musuh Zionis dan pendukungnya, negara dan institusi, adalah wajib oleh Syari’ah.”

Pernyataan, seperti dilaporkan Al Jazeera, edisi 12 Mei 2020 itu melarang “melakukan semua kegiatan ekonomi dengan pendudukan Israel, yang mencakup mengimpor, mengkonsumsi atau mengekspor barang-barang mereka, menjual atau menyewakan real estat kepada mereka, melakukan pekerjaan perantara atau mempromosikan barang-barang mereka, atau berpartisipasi dalam mendirikan perusahaan dan pabrik atau bekerja di dalamnya atau bertukar layanan dengan mereka, seperti pariwisata dan kegiatan ekonomi lainnya.”

Itu termasuk yang membantu Zionis dan pendukungnya, serta memberdayakan mereka di negara-negara Muslim.

Fatwa tersebut ditandatangani oleh mantan Menteri Awqaf Yordania dan Ketua Dewan Cendekiawan Ikhwanul Muslimin, Ibrahim Zaid Al-Kilani, cendekiawan terkemuka dari arus Ikhwan dan Salafi, dan mantan dekan fakultas Syariah Islam di Universitas Yordania.

Fatwa tersebut melangkah lebih jauh dengan mempertimbangkan boikot ekonomi sebagai “salah satu aspek jihad yang wajib dalam Islam, dan bahwa tidak mengikuti boikot musuh secara ekonomi setelah mengetahui keputusannya adalah salah satu dosa besar, dan kesetiaan kepada musuh-musuh Allah.”

Para ulama menganggap, “senjata boikot ekonomi adalah salah satu senjata terpenting yang digunakan oleh musuh terhadap saudara Muslim kita di Gaza, Irak, Sudan, dan di tempat lain.”

Fatwa tersebut mendesak umat Islam untuk memperlakukan musuh secara timbal balik.

Pernyataan itu juga menyerukan kepada bangsa, penguasa dan rakyat, untuk mematuhi dengan memboikot musuh secara ekonomi, dan menganggapnya sebagai masalah “keimanan yang paling lemah.”

Fatwa Ulama mengatakan, umat Islam harus menyadari bahwa uang yang mereka gunakan untuk mendukung musuh berubah menjadi senjata yang mereka gunakan untuk membunuh warga terjajah, dan pernyataan tersebut menganggap bahwa uang yang diperoleh sebagian orang dari berdagang dengan musuh adalah “uang terlarang”.

Fatwa Persatuan Ulama Muslim Internasional

Al-Ittihad al-‘Alami li ‘ulama’i al-Muslimin atau Persatuan (Internasional Union of Muslim Scholars/IUMS), yang didirkan oleh Prof. Dr. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi (1926-2022), juga memuat fatwa tentang Boikot Pendudukan Israel.

Di laman resminya iumsonline.org, IUMS sebagai lembaga ilmiah independen yang didirikan tahun 2004, dan berkantor pusat di Qatar dan Dublin (Irlandia), juga pernah mengeluarkan “Fatwa perlunya boikot menyeluruh terhadap penjajah dan agresor”. (1 Januari 2021).

Fatwa Persatuan Ulama Muslim Internasional itu mewajibkan boikot menyeluruh, terutama boikot ekonomi, terhadap penjajah dan agresor, Israel, sampai mereka meninggalkan semua tanah yang diduduki.

Organisasi yang dalam programnya berupaya membuka kerjasama untuk kebaikan Islam dan umat Islam itu menjelaskan, sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina, para ulama telah memainkan peran utama dalam meningkatkan kesadaran dan mendesak pemulihan hak-hak yang dirampas. Termasuk seruan boikot ekonomi yang telah dijadikan slogan oleh negara-negara Arab.

Sikap para ulama itu didasarkan pada Resolusi Khartoum 1 September 1967, Pertemuan Liga Arab di Khartoum, Sudan, yang digelar sejak 29 Agustus 1967 hingga 1 September 1967.

Pertemuan darurat itu diselenggarakan setelah Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) antara koalisi negara-negara Arab (utamanya Yordania, Mesir, Irak, Suriah, Lebanon) melawan Israel.

Negara-negara yang hadir yaitu Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan. Resolusi ini terkenal dengan tiga “No” (tidak) yang ditujukan untuk Israel, yaitu “No peace with Israel, No recognition of Israel, No negotiations with it”.

Isi Resolusi Khartoum itu antara lain, “Konferensi menyepakati perlunya mengkonsolidasikan semua upaya untuk menghilangkan efek agresi, atas dasar bahwa tanah yang diduduki adalah tanah Arab, dan bahwa beban untuk mendapatkan kembali tanah ini menjadi tanggungan semua negara Arab.”

Isi lainnya, “Para Kepala Negara Arab sepakat untuk menyatukan upaya politik mereka di internasional dan level diplomatik, untuk menghilangkan efek agresi dan memastikan penarikan agresif pasukan Israel dari tanah Arab yang telah diduduki sejak agresi 5 Juni. Ini akan dilakukan dalam kerangka prinsip-prinsip utama yang dipatuhi oleh negara-negara Arab, yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada negosiasi dengannya (Israel), dan desakan hak-hak rakyat Palestina di negara mereka sendiri.”

Namun dalam beberapa dekade selanjutnya, prinsip-prinsip dan slogan-slogan Negara-negara Arab tersebut banyak dilanggar oleh langkah-langkah diplomasi seperti Perjanjian Camp David (1978), Perjanjian Oslo (1993), dan Perjanjian Jordan (1994).

Apalagi kemudian muncul Abraham Accords, serangkaian pernyataan normalisasi bersama antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain, sejak 15 September 2020, yang ditengahi Amerika Serikat. Kemudian diikuti Sudan dan Maroko pada tahun yang sama.

Jauh sebelumnya, dua negara sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Yordania (tahun 1994), dan Mesir (tahun 1978).

Fatwa Persatuan Ulama Muslim Internasional mengingatkan kembali, bahwa aturan Islam secara umum adalah untuk menjalin hubungan antara Muslim dan non-Muslim berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran, kebajikan, kasih sayang, dan rasa hormat untuk semua orang. Kecuali bagi mereka yang memusuhi Islam dan Muslimin, menduduki tanah dan Muslimin, dan bahkan menyerang kaum Muslimin.

Fatwa Ulama itu menegaskan, “pernyataan kami ini khusus untuk negara pendudukan Israel dan barang-barang dan produknya, karena mereka menduduki tanah dan rumah kami dan setiap hari menyerang dan merebut saudara-saudara kami, tanah dan rumah kami di Palestina dan di Golan Suriah, dan masih menduduki Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam, dan tempat Isra Mi’raj Rasulullah”.

“Karena itu mengusir agresi dari wilayah pendudukan dan melawan mereka dengan segala cara yang sah adalah kewajiban hukum dan kebutuhan kemanusiaan.

Menolak mereka dengan segala cara yang sah disetujui oleh akal sehat, dan diatur dalam hukum internasional, resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, perjanjian internasional, dan konstitusi negara”, lanjut fatwa.

Fatwa melandaskan antara lain pada Al-Quran :

اَلشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمٰتُ قِصَاصٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya : “Bulan haram dengan bulan haram dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qishash. Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 194).

Juga firman Allah :

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا

Artinya : “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS An-Nisa [4]: 75).

Landasan Fatwa juga merujuk konsiderannya pada beberapa teks hukum, termasuk Pasal 42 Peraturan Den Haag tahun 1907 M, yang menyatakan bahwa “tanah negara dianggap diduduki ketika berada di bawah otoritas efektif tentara musuh”.

Pasal Umum Kedua dari Konvensi Jenewa IV tahun 1949 M. menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian berlaku untuk setiap tanah yang diduduki selama permusuhan internasional, dan hukum internasional menetapkan bahwa pendudukan adalah negara sementara, dan tidak diperbolehkan untuk menyita atau menghancurkan harta milik warga negara yang diduduki.

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menegaskan hak perlawanan, sebagaimana Pasal (21) yang menetapkan bahwa “tidak ada dalam Piagam ini melemahkan atau mengurangi hak alami negara dan masyarakat, individu atau kelompok, untuk membela diri, jika angkatan bersenjata menyerang mereka.”

Ada puluhan Resolusi PBB yang mengindikasikan hak untuk melawan, menolak agresi, dan membebaskan wilayah pendudukan.

Karena itu, Fatwa Ulama menyebutkan, “jihad ekonomi dengan cara memboikot Israel, sudah pasti termasuk dalam jihad di jalan Allah.”

Suara Majelis Ulama Indonesia

Berkaitan dengan masalah ini, terutama menanggapi adanya Timnas U-20 Israel yang akan bermain di Indonesia, pada 20 Mei hingga 11 Juni 2023, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Prof. Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim,MA. mengatakan, pemerintah Indonesia dan para pejabat tinggi, termasuk PSSI seharusnya mencontoh Presiden Ir. Soekarno yang tegas dan berani menolak kehadiran kontingan Israel di Asian Games 1962.

“Karena Israel adalah penjajah,” ujar Sudarnoto dalam keterangan pers yang diterima MINA, Senin (6/3/2023), dalam menanggapi rencana kehadiran Tim Sepak Bola Israel di Indonesia.

Menurutnya, meskipun harus keluar dari IOC, akan tetapi dengan penolakan tersebut, Indonesia saat itu justru memperoleh posisi politik yang diperhitungkan secara internasional.

Prof. Sudarnoto menjelaskan, yang menjadi persoalan bagi Indonesia adalah kehadiran Tim Israel. Hal ini sangat sensitif di masyarakat luas karena menyangkut dengan penjajahan zionis terhadap bangsa Palestina yang dalam waktu panjang berlangsung hingga hari ini.

“Indonesia adalah negara dan bangsa yang sejak awal hingga saat ini terus memberikan dukungan, pembelaan dan membantu agar Palestina bebas dari penjajahan negara teroris Israel dan membentuk pemerintahan sendiri yang merdeka dan berdaulat,” katanya.

Karena itulah, lanjut Prof. Sudarnoto, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ini pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri RI serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung sikap tegas ini.

“Sikap tegas tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel ini harus dipertahankan dan dijaga dengan sepenuh hati selama Israel masih terus menjajah bangsa Palestina,” tegasnya

Dia mengingatkan, agar pemerintah jangan memberikan celah sedikitpun bagi Israel untuk masuk ke Indonesia melalui jalur apapun, termasuk jalur Piala Dunia Sepakbola U-20.

“Jagalah amanah Pembukaan UUD 1945, komitmen Presiden dan kehormatan atau muruah Bangsa dan Negara Indonesia dengan sepenuh hati, tampillah dengan berani dan tegas menolak kehadiran rombongan Israel masuk ke wilayah Indonesia untuk Piala Dunia Sepakbola U-20,” tegasnya.

Sudarnoto menyayangkan sikap pemerintah, dan khususnya PSSI masih belum mau mendengar saran dan kritik yang diberikan. Bahkan meminta saran dan masukan dari masyarakatpun tidak pernah dilakukan, hingga menjelang even besar diselenggarakan.

“Ini sikap pemerintah yang tidak bijak dan bahkan bisa kontra produktif. Jangan menyelenggarakan even yang justru berpotensi besar menimbulkan kontroversi dan kegaduhan di masyarakat,” ujarnya

Menurutnya, banyak elemen masyarakat dan tokoh termasuk MUI menggunakan hak-hak konstitusionalnya yang memberikan saran, dan mengingatkan secara terbuka kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali, sikap menerima serta menjamin keamanan tim Israel ikut berlaga di Indonesia.

Selain itu, menjelang Pemilu seharusnya bangunan kebangsaan diperkokoh, jangan dibiarkan perbedaan pandangan dan sikap masyarakat, justru mengekskalasi pertentangan karena pemerintah memaksakan kehendak menerima dan memberikan keamanan secara resmi terhadap tim nasional Israel.

Ini akan menyakitkan rakyat dan bangsa Palestina karena sambutan hangat dan resmi pemerintah terhadap Israel, karena bendera Israel akan berkibar di Indonesia, nyanyian, yel-yel dan atribut-atribut Israel mewarnai arena pertandingan.

Disamping itu, kehadiran tim nasional Israel ini juga berpotensi besar akan menimbulkan kegaduhan bahkan pertentangan di kalangan masyarakat yang justru merusak persatuan.

“Sebelum terlambat, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali keputusan menerima dan memberikan jaminan keamanan kepada timnas Israel. Jaga juga Republik ini dari kekuatan tertentu yang berusaha mempertentangkan masyarakat, melalui even piala dunia sepak bola U-20,” katanya.

Kita masih akan terus mendengar suara-suara solidaritas dari ormas-ormas besar di Indonesia, tokoh-tokoh agama, nasional dan pejabat publik, termasuk aktivis kemanusiaan. Bukan  hanya dari Indonesia, termasuk dari mancanegara.

Suara Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), mana? Kita juga menanti suaranya? (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)