HIDUP BERJAMA’AH bukan sekadar anjuran agama, tetapi juga bagian dari fitrah manusia. Sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam hingga hari ini, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Data antropologis menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa interaksi dengan manusia lain. Dalam dunia modern pun, kebersamaan menjadi landasan penting dalam pembentukan peradaban, ekonomi, bahkan kesehatan mental. Maka dari itu, hidup berjama’ah bukan hanya soal keagamaan, tetapi juga kebutuhan dasar manusia yang tak dapat diabaikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Harvard Study of Adult Development selama lebih dari 80 tahun menunjukkan bahwa hubungan sosial yang baik, termasuk dalam komunitas yang sehat, merupakan faktor utama dalam menciptakan kebahagiaan dan umur panjang. Fakta ini menjadi penguat bahwa manusia butuh kebersamaan, bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi kebahagiaan hidupnya. Dalam Islam, hal ini diselaraskan melalui konsep ukhuwah, jama’ah, dan kepemimpinan (imamah).
Al-Qur’an menyatakan dalam surah Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,” yang menjadi landasan spiritual atas pentingnya hidup berjama’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengingatkan bahwa seorang Muslim itu terhadap Muslim lainnya bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan. Ini bukan hanya nasihat normatif, tapi perintah nyata untuk hidup dalam keteraturan berjama’ah yang terstruktur.
Sayangnya, gaya hidup individualistik yang tumbuh subur dalam budaya modern telah mengikis semangat berjama’ah. Data dari World Health Organization (WHO) pada 2021 menunjukkan bahwa isolasi sosial dan kesepian menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya gangguan mental, termasuk depresi dan bunuh diri. Hal ini membuktikan bahwa hidup tanpa jama’ah bertentangan dengan fitrah manusia.
Baca Juga: Perintah Allah untuk Hidup Berjama’ah
Dalam sejarah Islam, kejayaan umat selalu lahir dari kekuatan berjama’ah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam membangun Madinah bukan sendirian, tetapi bersama kaum Muhajirin dan Anshar dalam sistem yang jelas: ada syura, ada pemimpin, dan ada ketaatan. Inilah bentuk ideal berjama’ah yang tidak hanya spiritual tetapi juga politis dan sosial. Tidak ada kebangkitan tanpa kebersamaan.
Penting juga disadari bahwa hidup berjama’ah menghadirkan perlindungan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya serigala hanya memakan kambing yang terpisah dari kelompoknya” (HR. Abu Dawud).
Ini adalah peringatan keras bahwa memisahkan diri dari jama’ah adalah awal kehancuran spiritual. Ketika seseorang tidak memiliki lingkungan yang mengingatkan dan menegur dalam kebaikan, ia rentan terhadap godaan dunia dan syaitan.
Jama’ah juga merupakan sarana pendidikan terbaik. Dalam jama’ah, setiap anggota dibina untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terdapat proses saling belajar, saling menasihati, dan saling memperbaiki. Dalam konteks tarbiyah Islamiyah, jama’ah adalah wadah yang menggembleng kader-kader umat yang tangguh secara ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah.
Baca Juga: Wajah Kota Syariat di Balik Tirai Hotel
Dalam aspek dakwah, hidup berjama’ah membuat kerja dakwah menjadi lebih efektif. Allah tidak membebani individu untuk memikul beban perubahan umat sendirian. Karena itu, dakwah butuh tim, strategi, dan sinergi. Data menunjukkan bahwa gerakan dakwah yang memiliki struktur organisasi yang rapi dan berjama’ah lebih mampu bertahan dan berkembang dibanding gerakan yang bersifat sporadis dan individu.
Hidup berjama’ah juga penting untuk penguatan ekonomi umat. Konsep jama’ah ekonomi seperti koperasi syariah, baitul maal wat tamwil, dan pengelolaan wakaf produktif lahir dari semangat berjama’ah. Dengan bersatu, umat Islam memiliki kekuatan tawar menawar yang lebih tinggi dalam sistem ekonomi global. Inilah bentuk ‘izzah (kemuliaan) umat yang bersumber dari kebersamaan.
Kepedulian sosial pun tumbuh dalam jama’ah. Ketika satu anggota mengalami kesulitan, yang lain hadir membantu. Seperti tubuh yang satu, jika satu bagian sakit, bagian lain turut merasakannya. Fenomena ini nyata terlihat dalam komunitas-komunitas Islam yang saling gotong royong saat terjadi musibah. Ini adalah perwujudan dari ruh berjama’ah yang penuh kasih sayang.
Peran pemimpin dalam jama’ah juga sangat vital. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang mengatur arah gerak dan visi umat. Tanpa pemimpin, jama’ah akan tercerai-berai dan tidak memiliki arah. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian bepergian tiga orang, maka angkatlah salah satunya sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud). Artinya, hidup bersama tanpa kepemimpinan adalah kekacauan.
Baca Juga: Perlawanan Palestina di Era Digital, Suara yang Tak Bisa Dibungkam
Namun, hidup berjama’ah juga membutuhkan sikap lapang dada, sabar, dan saling memahami. Dalam surah Ali Imran ayat 103, Allah menyuruh umat Islam untuk “berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan jangan bercerai-berai.”
Ini menegaskan bahwa menjaga jama’ah adalah perintah langsung dari Allah, dan memecah belahnya adalah bentuk kemaksiatan.
Lebih dari itu, jama’ah adalah benteng akidah. Dalam era digital ini, fitnah dan penyimpangan tersebar luas. Tanpa bimbingan jama’ah, banyak individu tersesat dalam ideologi menyimpang. Jama’ah hadir sebagai pelindung agar setiap Muslim tetap dalam rel Islam yang benar, sesuai pemahaman salafus shalih.
Anak-anak pun tumbuh lebih baik dalam lingkungan jama’ah yang sehat. Mereka belajar meniru akhlak orang dewasa yang mulia, belajar kerja sama, dan menghindari egoisme. Dalam jangka panjang, jama’ah membentuk karakter masyarakat yang penuh empati dan kuat dalam solidaritas.
Baca Juga: Jejak Para Nabi di Tanah Palestina
Akhirnya, hidup berjama’ah bukan pilihan opsional, tetapi kebutuhan hakiki yang harus dipenuhi setiap Muslim. Dari sisi agama, sosial, psikologis, ekonomi, hingga politik, semua menunjuk pada satu kesimpulan: bahwa berjama’ah adalah fitrah dan rahmat. Mari kita kembali kepada fitrah ini, karena di sanalah terdapat keberkahan dan kekuatan umat. []
Mi’raj News Agency (MINA)