Oleh: Ali Farkhan Tsani*
Marianne adalah nama sebuah kapal pukat milik aktivis Swedia dan Norwegia, yang merupakan kapal pertama dalam Freedom Flotilla terbaru Jilid III.
Kapal layar tersebut membawa persediaan bantuan, para aktivis dan pejabat internasional penting, dengan tujuan mengakhiri blokade mematikan Israel di Pelabuhan Gaza.
Blokade Pelabuhan Gaza, dijaga oleh Angkatan Laut Israel dengan bantuan dari Mesir, merupakan bagian dari cengkeraman keseluruhan Israel, yang terus menjajah bumi Palestina secara ketat dan di luar batas kemanusiaan. Itu jelas terlihat dari pembatasan masuknya makanan, obat-obatan dan peralatan yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur Gaza yang hancur akibat serangan pasukan Israel.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Menurut catatan Global Research, misi perjalanan laut Marianne telah berlayar, berangkat sejak Rabu (13/5) lalu dari Gothenburg, Swedia. Kapal tersebut singgah di Kopenhagen, Denmark pada Sabtu (16/5).
Pejabat dan wartawan Belanda bergabung dengan tim Swedia setelah diadakan konser perayaan Save Gaza. Para penumpang saat ini, termasuk Trine Pertou Mach, anggota parlemen Denmark, dan Jonas Rolsted seorang penulis.
Sebuah upaya bersama dari aktivis kemanusiaan dunia dengan kapal laut menembus blokade Gaza. Kapal Marianne akan bergabung dalam perjalanan dengan kapal laut dari negara lain, dengan tujuan sama mencapai Pelabuhan Gaza.
Aktivis dari Kanada, Italia, Spanyol, Yunani dan Afrika Selatan diharapkan terlibat ikut di dalamnya. Dr. Moncef Marzouki, mantan presiden Tunisia, dikabarkan bermaksud untuk bergabung armada kapal lain.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Jamal Khoudary, seorang penulis pada situs Intifada Elektronik, menyebutkan efek palayaran adalah membuka blokade Israel dengan membawa bantuan kemanusiaa ke Jalur Gaza.
“Satu juta penduduk Gaza dari 1,8 juta tergantung pada bantuan,” tulisnya.
Ekspor telah turun sangat jauh menjadi hanya 4,5 persen dari sebelum blokade dimulai pada 2007.
Khoudary menambahkan laporannya, tingkat pengangguran di Jalur Gaza mencapai lebih dari 50 persen. Ratusan pabrik telah hancur atau berhenti berfungsi karena bahan bakunya yang berasal dari luar tidak diizinkan masuk ke Gaza. Sementara banyak pasien telah meninggal karena keterbatasan pengobatan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Blokade laut juga diberlakukan pasukan Israel dengan kekuatan mematikan. Kapal milik nelayan Palestina sering dibakar, dan penumpangnya ditembaki hingga tewas.
Lanjutan Freedom Flotilla
Sebelumnya, media banyak mengungkapkan, ketika pasukan Israel menanggapi Freedom Flotilla I dengan kekerasan tahun 2010. Aksi yang diluncurkan lima tahun lalu oleh Gerakan Free Gaza dan Yayasan Turki untuk Hak Asasi Manusia, Kebebasan dan Bantuan Kemanusiaan (IHH), dicegat militer Israel. Pasukan Israel pun menaiki kapal dan menewaskan sembilan aktivis di dalamnya.
Salah satu aktivis yang selamat dan kini memimpin pembangunan Rumah Sakit Indonesis di Gaza, bernama Nur Ikhwan Abadi, asal Indonesia.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Tindak lanjut dari tindakan barbar pasukan khusus Israel pada kapal kemanusiaan Mavi Marmara di lautan internasional, pemerintah Turki merasa keberatan dan mengajukan penyelidikan pada Pengadilan Kriminal Internasional.
Namun pengadilan menyebutkan, tidak menemukan alasan untuk membawa tuduhan kejahatan perang selama serangan armada laut itu, dan mengklaim itu bukan insiden dan tidak cukup kuat untuk diajukan ke yurisdiksi mereka.
Tapi Ali Abunimah, pendiri Electronic Intifada, menuduh panel investigasi terlihat bias dan mengkritik PBB untuk ikut bertanggung jawab.
Lanjutannya, sebuah Freedom Flotilla Jilid II, pun berusaha mengarungi samudera menuju Jalur Gaza, tahun 2011. Namun usaha kali ini gagal karena berbagai faktor, termasuk jumlah peserta yang sedikit, gangguan Angkatan Laut Yunani, serta mendadaknya kerusakan dua kapal. Aktivis terkemuka menuduh Israel melakukan sabotase rencana pelayaran itu.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Kini, Freedom Flotilla Jilid III, dengan kekuatan kelompok aktivis lebih banyak dan dari berbagai negara, menandatangani koalisi dan berharap untuk sukses pada pelayaran ketiga ini.
Menurut siaran pers Koalisi Freedom Flotilla, Marianne adalah simbol dari tujuan dari seluruh gerakan, yakni untuk membebaskan Palestina dari blokade Israel.
Koalisi Freedom Flotilla beranggotakan beberapa organisasi kemanusiaan pro-Palestina dari berbagai negara, antara lain: Canadian Boat to Gaza, European Campaign to End the Siege on Gaza
Freedom Flotilla Italia, Gaza’s Ark, IHH Turki, International Committee for Breaking the Siege on Gaza (ICBSG), Rumbo a Gaza, Ship to Gaza Greece, Ship to Gaza Norway, Ship to Gaza Sweden, Palestine Solidarity Alliance – South Africa, Miles of Smiles dan Life Line Gaza-Jordan.
Kita semua para aktivis kemanusiaan, para manusia yang masih memiliki visi manusiawi, tentu berharap aksi pelayaran tersebut sukses membuka blokade warga tertindas di Jalur Gaza.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sambil berharap para aktivis Muslim, khususnya dari kawasan Malaysia dan Indonesia, ikut serta dalam Freedom Flotilla Jilid III tersebut. Ya, semoga saja ada yang mengkoordinir aksi kemanusiaan bersejarah tersebut, dengan izin dan pertolongan Allah tentu saja. (P4/R05).
*Ali Farkhan Tsani, Penulis Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Aktivis Aqsa Working Group (AWG) Jakarta, dan Duta Internasional Al-Quds.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)