Khartoum, MINA- Menteri Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Sudan, Ibrahim Badawi menyampaikan permintaan maaf resmi kepada warga negaranya tentang ketidakmampuan dirinya mengendalikan inflasi dan nilai tukar mata uang Sudan, Pound yang tinggi.
Ibrahim Badawi mengatakan, ia tidak tertarik untuk melanjutkan jabatannya sebagai menteri setelah beberapa suara yang menyerukan untuk mengundurkan diri, katanya seperti dikutip Kantor Berita Pemerintah, (SUNA), di Khartoum, Jumat (6/3).
Pernyaatan tersebut disampaikan dalam konferensi pers bersama dengan pejabat sudan/">Bank Central Sudan dan para pejabat terkait. “Masalah politik adalah poin utama kitasebelum mengatasi permasalahan ekonomi, “katanya.
Badan Pusat Statistik Nasional Sudan mengumumkan pada awal tahun, tingkat inflasi di negara itu meningkat menjadi 64,28% dibandingkan tingkat sebulan sebelumnya pada akhir tahun 2019 sebesar 57,01%, sehingga terjadi peningkatan inflasi sebesar 7,27%.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS) Sudan menyatakan, inflasi itu sebagai akibat kenaikan harga berbagai makanan dan minuman, terutama harga roti, sereal, susu, keju, telur dan gula, di samping harga mobil, suku cadang, dan layanan ongkos transportasi mengalami kenaikan tinggi.
Tingkat inflasi di perkotaan mencapai 56,71 persen, sedangkan inflasi di pedesaan mencapai 69,96 persen.
Kenaikan inflasi juga ditandai dengan terus menurunnya nilai tukar mata uang lokal (pound Sudan) terhadap dollar Amerika Serikat di pasar yang hingga mencapai 115 (Pound) per 1 USD. Sedangkan kurs resmi untuk harga yang dikeluarkan sudan/">Bank Central Sudan 55 (Pound Sudan) dan beli 54 (Pound Sudan) per 1 USD.
Masalah lain yang mempengaruhi inflasi adalah tidak berimbangnya antara sektor-sektor jasa di dalam negeri, terutama kaitan dengan barang-barang Impor yang memasuki pasar Sudan.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Perekonomian Sudan dalam beberapa tahun terakhir mengalami berbagai masalah besar, terutama setelah negara itu pecah menjadi dua, Sudan dan Sudan Selatan pada 2011 lalu. Krisis semakin buruk dengan semakin maraknya pasar gelap dan tidak ada control dari pemerintah. (L/B02/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon