Den Haag, MINA – Pengacara untuk Gambia mendesak Mahkamah Kriminil Internasional (IJC) membatalkan upaya hukum Myanmar untuk mengakhiri kasus yang menuduh negara itu melakukan genosida terhadap minoritas Rohingya, Rabu (23/2).
“Pengadilan ini harus menolak keberatan awal Myanmar yang tidak berdasar dan melanjutkan untuk mengadili manfaat dari perselisihan ini,” kata Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia Dawda Jallow kepada hakim di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ), Greater Kashmir melaporkan.
Pengacara Paul S. Reichler mengatakan, pengambilalihan kekuasaan militer di Myanmar tahun lalu membuat kasus ini semakin penting karena penguasa baru negara itu diduga berada di balik kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya.
“Jika mereka dapat melarikan diri dari yurisdiksi pengadilan, mereka tidak akan bertanggung jawab kepada siapa pun dan tidak akan ada kendala dalam penganiayaan dan penghancuran terakhir terhadap Rohingya,” katanya memperingatkan.
Baca Juga: Bentrokan Perbatasan Jadi Tantangan Berkelanjutan Hubungan Afghanistan-Pakistan
Ia menambahkan bahwa “Rohingya tetap berada dalam risiko besar kejahatan kekejaman massal.”
Kasus ini bermula dari operasi militer pembersihan yang diluncurkan di Negara Bagian Rakhine pada 2017, setelah serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya. Pasukan keamanan dituduh melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan dan pembakaran ribuan rumah saat lebih dari 700.000 orang Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Negara Afrika, Gambia, berpendapat bahwa tindakan keras tahun 2017 merupakan genosida dan meminta pengadilan dunia untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar.
Pada hari Senin (21/2), pengacara yang mewakili pemerintah militer Myanmar mendesak hakim di mahkamah internasional untuk menghapus kasus tersebut, dengan alasan mereka tidak memiliki yurisdiksi, sebagian karena mereka mengatakan Gambia bertindak sebagai corong untuk sebuah organisasi negara-negara Muslim.
Baca Juga: Lateefah Simon jadi Warga Muslim Amerika Keempat Terpilih di Kongres AS
Tim hukum Myanmar dipimpin oleh Ko Ko Hlaing, Menteri Kerja Sama Internasional. Dia menggantikan ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi, yang memimpin tim hukum negara itu pada sidang sebelumnya dalam kasus tersebut pada tahun 2019.
Ketua tim hukum Gambia menegaskan kasus tersebut dibawa oleh Gambia dan bukan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
“Kami bukan proksi siapa pun,” kata Jallow di pengadilan.
“Ini sangat banyak perselisihan antara Gambia dan Myanmar,” tambahnya yang membantah langsung tudingan Myanmar bahwa kasus Gambia benar-benar dibawa oleh organisasi Muslim (OKI) dan bahwa pengadilan hanya dapat mendengar kasus antarnegara. (T/RI-1/P1)
Baca Juga: Parlemen Arab Sambut Baik Pengumuman Gencatan Senjata di Gaza
Mi’raj News Agency (MINA)