Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Gampong Keberagaman” Potret Toleransi di Kota Syariat

Arif Ramdan - Rabu, 26 Juni 2024 - 08:29 WIB

Rabu, 26 Juni 2024 - 08:29 WIB

7 Views

 

Melalui cerita teman saya yang dulu pernah tinggal di Peunayong bahkan ketika Idul Fitri mereka juga turut menghargai seperti menerima parsel dari masyarakat Tionghoa, dan ketika mereka Imlek, dia juga menerima Angpau.

 

Oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Antroplog Menetap di Banda Aceh

Baca Juga: Mengapa Ada Orang Pintar Tapi Kelakuannya Tidak Baik?

MINA – Jika awalnya islamophobia hanya kita dapati pada negara-negara yang memang minoritas muslim, namun nyatanya hal satu ini kian merambat cepat bak virus yang menyerang negeri kita sekarang.

Miris, jika kita mengingat, Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Faktanya, sekarang ormas-ormas Islam dianggap anti terhadap Pancasila, dianggap radikal padahal hanya menyebarkan dakwah.

Saat umat ingin membela agamanya, kini dianggap rasis terhadap non-muslim dan dianggap fundamental, yang lebih menakutkan lagi beberapa kejadian terorisme kerap dituduhkan terhadap Islam, padahal sangat jelas terorisme berbeda dengan konsep Islam yang berbicara mengenai jihad.

Media yang mengambil andil mungkin boleh saja menyudutkan Islam, namun nyatanya Islam tak seperti apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang anti terhadapnya, bahkan Islam sangat mengajarkan toleransi umat beragama, jauh sebelum modern mencetusnya, Rasulullah sudah berhasil mencetus Piagam Madinah sebagai konstitusi yang luar biasa, dan hidup saling berdampingan dengan umat beragama non-muslim.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian II)

Agama ini datang sebagai Rahmatan lil Alamin, rahmat bagi seluruh alam dan ini yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas, sehingga pikiran mereka terus terpedaya oleh isu-isu aksi terorisme dan radikalisme.

Saya hanya ingin menulis bagaimana potret toleransi yang nyata bahkan di sebuah kota yang memiliki identitas “Syari’at Islam” sekalipun, yang penegakan hukum Islam di daerah ini selalu mendapat kecaman dari berbagai pihak luar yang katanya tidak sesuai dengan HAM, karena isu tersebut masyarakat luar pasti “ngeri” akan daerah ini.

Banda Aceh, merupakan ibukota dari Provinsi Aceh yang membuktikan bahwa di daerah paling Islami sekalipun di Indonesia ini, nyatanya mampu hidup dengan ajaran toleransi dalam Islam.

Gampong (kampung-red) Keberagaman, merupakan salah satu Gampong yang ada di Peunayong, Banda Aceh yang warganya adalah Tionghoa, menganut agama mulai dari Muslim, Kristiani hingga Budha. Gampong ini, dihias atau didominasi dengan pernak pernik khas Tionghoa, dan di sini beberapa langkah pun kita juga dapat menemukan Vihara Dharma Bhakti/Klenteng tempat mereka beribadah.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian I)

Pada hari biasanya, beberapa toko yang ada dalam kampong ini yang pemiliknya merupakan orang Tionghoa buka, dan seperti biasa yang menjadi pembeli tentu saja mayoritas muslim, namun wujud toleransi yang luar biasa, ketika pada Bulan Ramadhan ini, mereka menutup tokonya yang menjual makanan saat waktu masih dalam puasa.

Bahkan, mereka tinggal di sini sudah turun-temurun, dan sangat mudah bergaul dengan muslim, walaupun minoritas mereka tak merasakan diskriminasi apapun, karena ketika dagangan mereka dijual, tetap banyak yang membelinya.

Ketika Saya mengunjungi Gampong Keberagaman ini pada bulan Ramadhan, walau mereka tak sedang berjualan, namun mereka tetap saling mengobrol satu sama lain dengan pedagang muslim yang sedang berjualan.

Tak heran, walau bukan muslim mereka turut juga menjual takjil, bahkan restoran yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa di sini juga ikut berpartisipasi dalam menerima orderan buka puasa bersama, seperti di salah satu Restoran Gunung Salju.

Baca Juga: Yuk Miliki Tujuh Amalan Hati

Toleransi juga diberikan oleh umat muslim kepada mereka, buktinya saja pada setiap tahun mereka merayakan hari besar agamanya seperti Imlek, umat Islam tetap melakukan silaturahmi terhadap mereka bahkan juga ikut meramaikan arak-arakan barongsai.

Melalui cerita teman saya yang dulu pernah tinggal di Peunayong bahkan ketika Idul Fitri mereka juga turut menghargai seperti menerima parsel dari masyarakat Tionghoa, dan ketika mereka Imlek, dia juga menerima Angpau.

Beginilah potret toleransi nyata yang ada di Aceh, dapat dibuktikan penegakan Syari’at Islam bukan suatu hal yang menyeramkan seperti yang digembar-gemborkan selama ini. Namun ketika kita hidup berdampingan, saling menghargai maka kedamaian akan diperoleh, karena Islam merupakan agama yang melindungi non-Muslim, jika non-muslim tersebut tidak saling mengusik satu sama lain.

“Barang siapa yang menyakiti Kafir Dzimmi, Maka aku (Rasulullah) akan menjadi lawannya di Hari Kiamat” (HR.  Muslim)

Baca Juga: Perang Mu’tah, Aksi Militer Pertama Rasulullah SAW untuk Pembebasan Al-Aqsa

Bukti Islam tidak menyakiti non-Muslim juga dapat kita peroleh dari sejarah yang diukir oleh umat Islam terdahulu. Semoga kita dapat hidup dengan saling damai dan tentram… MasyaAllah. []

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Kiat Agar Selamat dari Empat Keburukan

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Khadijah
Khutbah Jumat
Indonesia
Feature
Indonesia
MINA Sport
MINA Sport
MINA Sport
Indonesia