Oleh: Ann Wright, Aktivis kemanusiaan, pensiunan kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat dan pensiunan pejabat Departemen Luar Negeri AS*
Dua tahun yang lalu pada 7 Juli 2014, Otoritas Pendudukan Israel meluncurkan agresi yang mengerikan selama 51 hari, menggencarkan serangan udara, darat dan laut terhadap rakyat Gaza. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bertubi-tubi menembakkan rudal, roket, dan peluru artileri tanpa henti menargetkan sekitar 1,8 juta warga Palestina yang terkepung blokade darat dan laut Israel di kawasan sempit dengan panjang 25 mil dan lebar lima mil, salah satu tempat yang paling padat penduduknya di dunia.
Hampir 500 warga Palestina tewas oleh pesawat pembunuh Israel ini.
Peperangan pesawat tanpa awak (Drone) telah menjadi norma bagi Amerika Serikat dan Israel. Drone terbang di atas Gaza 24 jam setiap hari mengamati pergerakan setiap warga Palestina dan siap untuk menembakkan roket mereka yang siap membunuh oleh IDF.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan mendokumentasikan bahwa dari 2008 sampai Oktober 2013, sejumlah 2.269 warga Palestina dibunuh oleh penjajah Israel, 911 gugur akibat serangan pesawat tempur (termasuk drone), sebagian besar selama agresi “Operasi Cast Lead” 2008-2009. Pada “Operasi Pilar Pertahanan” 2012, sebanyak 143 dari 171 warga Palestina dibunuh oleh Israel dengan serangan pesawat tak berawak.
Dalam serangan Israel 2014 di Gaza, Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan juga mendokumentasikan 497 warga Palestina tewas oleh pesawat tempur, mewakili 32 persen total kematian warga Palestina akibat agresi Israel di Gaza itu.
Pada akhir 51 hari agresi Israel ke Gaza, sebanyak 2.310 warga Palestina tewas, 10.600 terluka, termasuk 3.300 anak-anak; 872 rumah hancur total atau rusak parah, dan rumah bagi 5.005 keluarga rusak tapi masih dapat ditempati; 138 sekolah rusak atau hancur, 26 rumah sakit dan fasilitas kesehatan rusak.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), lebih dari 273.000 warga Palestina di Jalur Gaza telah mengungsi di antaranya 236.375 (lebih dari 11 persen dari populasi Gaza) yang berlindung di 88 sekolah PBB.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pejuang Palestina menembakkan roket buatan sendiri berhasil membunuh 66 tentara Israel, lima warga sipil Israel, termasuk satu anak, dan satu warga negara Thailand di Israel.
Serangan Israel 51 hari di Gaza tidak harus ditandai sebagai perang antara antar pasukan berlawanan melainkan sebagai sebuah serangan sepihak yang masif pada Rakyat Palestina yang dilakukan Israel dengan dukungan pasukan militer darat, laut, dan udara serta persediaan dan peralatan militer yang tak ada habisnya dari Amerika Serikat, termasuk sistem rudal yang disebut “Iron Dome.”
Saat ini dua tahun setelah serangan Israel di Gaza, ketegangan di Tepi Barat yang meledak. Awal Oktober 2015, para pemuda Palestina di beberapa wilayah Tepi Barat melakukan perlawanan non-kekerasan dengan militer Israel dan menggunakan pisau bukannya batu pada intifadhah terbaru –Intifadhah Ketiga- terhadap pendudukan dan penindasan Israel, menentang pembangunan terus menerus permukiman ilegal Yahudi di tanah Palestina dan melawan pemenjaraan ratusan pemuda Palestina.
Penggunaan pisau terhadap tentara IDF telah diperluas untuk kematian warga sipil Israel juga, termasuk seorang gadis berusia 13 tahun di rumahnya. Tiga puluh empat warga Israel, dua warga Amerika Serikat, seorang warga Yahudi Eritrea dan Sudan telah tewas dalam pisau, senjata atau serangan gilasan mobil, dan 214 warga Palestina tewas oleh tentara IDF selama periode ini.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Potensi respon atau balas dendam Israel terhadap serangan pisau ini besar dan mungkin tidak akan diarahkan hanya untuk Tepi Barat, tetapi juga menuju Gaza.
Seperti konflik lainnya, kisah-kisah kematian dan kelangsungan hidup warga sipil yang terperangkap dalam pemboman tanpa ampun dan pertempuran harus memaksa para pemimpin untuk bekerja mengakhiri konflik, tapi jarang dilakukan.
Sebuah buku baru yang diterbitkan baru-baru ini pada 5 Juli 2016 kisah IDF serangan 2014 di Gaza serta berfokus pada kerusakan psikologis dan fisik yang diderita penduduk dari Gaza oleh satu sistem senjata tertentu – drone pembunuh yang menewaskan 497 selama agresi 2014.
Sang Penulis asal Palestina Atef Abu Saif memberikan gambaran kehidupan sehari-hari dari keluarga dan masyarakat di bawah serangan dari musuh di langit –berawal pada 7 Juli 2014- dua tahun yang lalu.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Santapan-santapan Drone Bersamaku: Sebuah Diari Gaza ” adalah deskripsi gambaran dari kehidupan di bawah serangan dan khususnya dengan drone pembunuh yang bersembunyi di langit 24 jam setiap hari menunggu korban berikutnya.
“Drone tersebut membuat kami berjaga sepanjang malam. Mereka berputar, berputar, berputar, berputar tiada hentinya. Jika ingin mengingatkan kita itu ada di sana, itu tidak akan berhasil. Ia masih bertahan hanya sedikit cara untuk dapat berada di atas kepala kami,”
Atef menulis suara drone sangat dekat: “Suara ledakan baru ini mereda; digantikan oleh desingan tak terelakkan dari drone, terdengar begitu dekat bisa tepat di samping kami. Rasanya (Drone) itu ingin bergabung dengan kami untuk mengisi malam dan telah menarik kursi yang tak tampak.”
Atef menjelaskan masa depannya selama serangan 51 hari: “Nasib kami semua di tangan operator drone di sebuah pangkalan militer di suatu tempat dari perbatasan Israel. Para operator drone [Israel] melihat Gaza bagaikan cara seorang anak nakal melihat layar video game. Dia menekan sebuah tombol dan mungkin menghancurkan seluruh jalan. Dia mungkin memutuskan untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang berjalan di sepanjang trotoar, atau ia mungkin mencabut pohon di kebun yang belum berbuah. Tindakan para operator targetnya atas kebijakannya sendiri, dengan energi kepercayaan dan kekuatan yang telah dimasukkan ke dalam tangannya oleh para atasannya.” (R05/P4)
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*Ann Wright (29), seorang Veteran Tentara Cadangan Amerika Serikat (AS), pensiunan kolonel Angkatan Darat AS dan pensiunan pejabat Departemen Luar Negeri AS, dikenal dengan suaranya menentang Perang Irak. Dia menerima Penghargaan Departemen Luar Negeri AS untuk Kepahlawanan pada tahun 1997, setelah membantu untuk mengevakuasi beberapa ribu orang selama perang saudara di Sierra Leone. Dia paling terkenal karena salah satu dari tiga pejabat Departemen Luar Negeri yang mengundurkan diri secara terbuka sebagai bentuk protes langsung atas Invasi Irak 2003. Wright juga merupakan salah satu penumpang di Kapal Challenger 1, bersama dengan Kapal Mavi Marmara, bagian dari armada Freedom Flotilla Gaza. Selama karirnya, dia pernah bertugas di Nikaragua, Grenada, Somalia, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Sierra Leone, Mikronesia dan Mongolia. Pada Desember 2001, ia berada di tim kecil yang membuka kembali Kedutaan Besar AS di Kabul, Afghanistan.
Tulisan ini diambil dari terjemahan tulisan Ann Wright yang dimuat di OpEdNews 7 Juli 2016
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel