Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaza di Ambang Bencana Kelaparan

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Anak-anak Gaza kelaparan. (Palestine Online)

SEORANG warga di sudut Jalur Gaza – Amal Anwar namanya – mencoba tidur setelah seharian tidak makan. Dia lapar dan tidak bisa tidur, seperti kebanyakan penduduk Jalur Gaza yang terblokade yang membutuhkan makanan.

“Saya tidak bisa tidur karena lapar, dan hari itu berakhir tanpa satu kali pun makan,” kata Amal, warga daerah Shuja’iyya, kepada BBC sambil tersenyum sinis.

Amal merasakan betapa kelaparan adalah hal terburuk di alam semesta, dan lebih memilih kematian karena pengeboman.

“Kematian karena pengeboman lebih berbelas kasih karena Anda mati sekali dan selesai, tetapi kematian karena kelaparan jauh lebih menakutkan karena seseorang mati sejuta kali setiap kali mereka merasa lapar,” ujarnya.

Baca Juga: Bansos, Vasektomi, dan Etika Islam

Adapun Hawa – nama samaran – dia mengatakan kepada BBC bahwa dia “menjalani hari-hari terburuk dalam hidupnya, dan kami benar-benar berharap kami bisa mati saja daripada menjalani kehidupan yang melelahkan ini,” sambil mengomentari kondisi perang dan kelaparan.

Hampir 2,4 juta orang tinggal di daerah kantong kecil yang menderita kondisi bencana, 18 bulan setelah perang yang telah menewaskan lebih dari 52.500 warga Palestina, sebagian besar dari mereka warga sipil dari kalangan perempuan dan anak-anak.

Ya, Jalur Gaza telah menderita kekurangan pangan selama lebih dari dua bulan karena blokade pendudukan Israel sejak pelanggaran gencatan senjata yang sebelumnya sudah disepakati.

Penurunan kesehatan dan angka kematian pun terus meningkat tajam. Jalur Gaza saat ini sedang mengalami salah satu krisis kemanusiaan terburuk di zaman modern.

Baca Juga: Amerika, Pahlawan Palsu, Pelindung Penjajah Nyata

Tragedi kelaparan di Jalur Gaza telah melampaui batas toleransi. Tangisan mereka seolah tidak lagi terdengar. Sementara penguasa pendudukan menikmati persediaan makanan yang berlimpah, dan dunia menikmati makanan yang lezat.

Anak-anak Gaza sedang sekarat karena kelaparan. Mayoritas penduduk Jalur Gaza menghadapi kekurangan makanan dan air yang parah, di tengah blokade bantuan yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan terakhir. Belum lagi kurangnya keamanan dan tempat warga berlindung.

Sesungguhnya, kelaparan di Gaza itu sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan sebelum perang meletus pada Oktober 2023, kawasan itu sudah menderita kelaparan karena beban blokade, pengangguran, dan kemiskinan.

Menurut analisis Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 68% rumah tangga di Jalur Gaza mengalami berbagai tingkat kerawanan pangan, sangat bergantung pada bantuan pangan. Tingkat kemiskinan secara keseluruhan mencapai sekitar 61% pada akhir tahun 2022, sementara pengangguran mencapai 45%.

Baca Juga: Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia

Tingkat kelaparan global tidak lebih dari 9,2%, dan tingkat kelaparan di negara-negara Arab tidak lebih dari 14%.

Sebaliknya, negara pendudukan menikmati sumber daya pangan yang cukup dan keamanan pangan yang tinggi, bergantung pada produksi lokal dan beragam impor, tanpa tingkat kelaparan yang signifikan.

Hal ini menjadikan tingkat kelaparan di Jalur Gaza sebelum perang termasuk yang tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh blokade yang diberlakukan oleh pendudukan terhadap Jalur Gaza sejak tahun 2007, di mana pendudukan melarang banyak bahan pangan dan obat-obatan, termasuk pupuk, pakan ternak, dan perbaikan pertanian.

Target Sumber Makanan

Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045

Peringatan akan datangnya bencana kelaparan makin terasa dengan pecahnya perang pada bulan Oktober 2023. Bencana nyata terjadi pada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan di Gaza.

Analisis PBB dan satelit menunjukkan bahwa 75% lahan pertanian (11.293 hektar dari 15.053 hektar) dihancurkan oleh pasukan Zionis. Kerugian ternak mencapai lebih dari 96%, terutama sapi dan unggas.

Serangan Zionis juga telah menghancurkan lebih dari tiga perempat kebun zaitun dan ladang buah-buahan.

Sabotase besar-besaran tersebut memusnahkan produksi lokal, yang memenuhi 40% permintaan pangan sebelum perang, yang kini hampir tidak ada lagi.

Baca Juga: Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya

Prasarana air dan irigasi juga dirusak, dengan pemadaman listrik yang terus-menerus akibat kekurangan bahan bakar dan pemutusan aliran.

Sektor pertanian tak kalah tragisnya, berada di ambang kehancuran. Pupuk dan benih terkubur di antara reruntuhan.

Penduduk Gaza pun bergantung pada 37 pusat distribusi bantuan pangan, dan sejumlah truk bantuan yang membawa pasokan pangan. Dan kini, sudah dua bulan lebih tak satupun truk bantuan kemanusiaan, yang biasanya membawa bahan makanan, obat-obatan, pakaian, bahan bakar dan lainnya, tak bisa masuk lagi oleh blokade pasukan Zionis di seluruh pintu masuk Gaza.

Selain kerusakan langsung akibat serangan, perang telah menyebabkan penutupan toko roti dan gudang.

Baca Juga: Bertahan Hidup di Negeri Seribu Janji

Pada akhir Maret 2025, Program Pangan Dunia (WFP) mengumumkan bahwa semua toko roti yang bersubsidi tidak lagi beroperasi karena kekurangan gas dan tepung.

Harga pun mencapai tingkat yang sangat tinggi, dengan harga tepung naik antara 500% hingga 700% di atas harga sebelum perang.

Kelaparan sebagai Senjata

Surat kabar Inggris, The Guardian, pada editorial edisi Senin, 5 Mei 2025, menyebutkan bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dengan memberlakukan blokade terhadap masuknya bantuan ke Jalur Gaza.

Baca Juga: Mau Sukses Instan, Tapi Takut Proses Panjang?

Dalam tajuk rencana surat kabar itu menghimbau Inggris dan negara-negara lain untuk mendorong keras dimulainya kembali bantuan ke Gaza, di mana situasinya semakin memburuk.

Disebutkan bahwa Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar menuduh Mahkamah Internasional sebagai “lembaga yang memalukan” minggu lalu setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta pengadilan tersebut untuk menentukan apakah Israel harus mengizinkan bantuan ke Gaza, dua bulan setelah negara itu menghentikannya lagi tepat sebelum gencatan senjata berakhir.

Persediaan hampir habis dan UNICEF mengatakan ribuan anak sudah menderita kekurangan gizi parah.

Kasus terpisah yang diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga berfokus pada tuduhan membuat warga sipil kelaparan.

Baca Juga: Tetap Istiqamah Meski Luka Tak Jua Reda

Menurut surat kabar itu, menahan makanan merupakan senjata perang yang umum, tetapi jarang menjadi subjek kasus hukum internasional, sebagian karena sulitnya membuktikan rencana.

The Guardian melaporkan bahwa laporan menunjukkan bahwa Israel berencana untuk melanjutkan pengiriman bantuan “dalam beberapa pekan mendatang,” tetapi melalui mekanisme baru.

Israel mengklaim bahwa Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), badan utama untuk upaya kemanusiaan, telah disusupi secara luas oleh orang-orang Hamas. Klaim yang dibantah keras oleh PBB dan pihak lain.

Pihak berwenang Israel juga telah mencegah masuknya bantuan apa pun sejak 2 Maret 2025. Israel menuduh Hamas mengendalikan bantuan ke Jalur Gaza, tuduhan yang dibantah oleh gerakan Palestina tersebut.

Baca Juga: Gaza, Kebebasan Pers, dan Tanggung Jawab Dunia

Surat kabar itu menjelaskan bahwa sementara Israel dan Amerika Serikat menyerang pengadilan internasional, negara-negara lain, termasuk Inggris, harus melakukan segala daya mereka untuk membela dan mendukung mereka, dan harus menekan keras agar bantuan segera dimulai kembali ke Jalur Gaza.

Dalam penutup tajuk rencananya, surat kabar Inggris itu menekankan bahwa kata “memalukan” yang digunakan oleh menteri luar negeri Israel harus dikaitkan dengan hasil sebuah studi yang menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak-anak Gaza yang disurvei mengatakan bahwa mereka menginginkan kematian, karena telah membunuh begitu banyak warga sipil di sana dan mendorong begitu banyak orang lain ke ambang kelaparan, dan hal yang memalukan bahwa semua ini telah dibiarkan terjadi.

Editorial itu dibenarkan oleh Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, yang mengatakan bahwa Israel telah menggunakan kelaparan sebagai senjata di Jalur Gaza, dan menekankan bahwa penduduk di sana kehilangan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.

Pernyataan ini bertepatan dengan peringatan mendesak yang dikeluarkan oleh panel ahli yang didukung PBB, yang menyerukan tindakan segera “dalam hitungan hari,” bukan pekan, untuk mencegah bencana kelaparan di Jalur Gaza, khususnya di wilayah utara.

Baca Juga: Palestina dalam Kitab-Kitab Suci: Perspektif Islam, Yahudi, dan Kristen

Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza juga memperingatkan adanya peningkatan kasus kekurangan gizi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mempengaruhi semua kelompok umur, termasuk anak-anak, remaja, orang tua, wanita, dan pria.

Inas Hamdan, Direktur Media Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Jalur Gaza, mengonfirmasi bahwa situasi kemanusiaan di Jalur Gaza “semakin berbahaya dan benar-benar bencana.”

Solusi “Putus Asa”

Di tengah teriakan kelaparan, “solusi putus asa”, dunia gagal menyelamatkan anak-anak Gaza. Anak-anak Gaza hidup dalam tragedi yang tak berujung.

Di antara kisah yang menggemparkan dunia adalah kisah bayi Suwar Ashour yang usianya belum genap lima bulan, namun lahir dengan wajah polos dan kurus. Blokade, kelaparan, dan kekurangan gizi merenggut masa kecilnya dalam hitungan hari.

Dadanya yang kurus menonjol seperti sangkar tulang, dan wajahnya menghilang di bawah rasa sakit.

Pengguna Twitter mengatakan dengan rasa tragis, “Kejahatan apa yang dilakukan anak ini sehingga harus dihukum seperti ini?”

Para blogger menambahkan bahwa anak-anak Gaza berteriak dengan wajah kurus kering dan tubuh kelelahan karena kehausan dan kelaparan.

“Mata kecil mereka menceritakan tragedi yang tak tertahankan, dan lidah mereka mencari sepotong makanan untuk memuaskan rasa lapar mereka di bawah blokade yang kejam. Napas anak-anak Gaza semakin menipis di depan mata kita, dan di depan kemanusiaan yang tidak mengedipkan mata,”

lanjut blogger.

Sementara, orang-orang terlantar di Gaza, yang berlindung di halaman sekolah di Rafah, terpaksa menempuh solusi “putus asa” seperti mengencerkan susu bubuk bayi dengan air dalam jumlah besar atau memberi makan anak-anak hanya satu kali sehari karena tidak cukup makanan yang tersedia.

Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan bahwa Rafah, yang terletak di Jalur Gaza selatan di perbatasan dengan Mesir, adalah satu-satunya daerah di seluruh wilayah kantong Palestina yang menerima bantuan terbatas selama empat hari terakhir.

Namun, belum ada cukup makanan untuk semua orang. Para orang tua mengatakan anak-anak mereka jatuh sakit dan berat badannya turun.

Zakaria Rayhan duduk di atas tikar di depan tenda keluarganya di kamp darurat untuk para pengungsi, menggendong putranya yang masih kecil Yazan dan botol susu berisi sedikit cairan.

“Pada dasarnya itu air yang dicampur dengan sesendok susu bubuk, mungkin kurang dari sesendok, sesuatu yang baunya seperti susu, hanya supaya saya bisa mengelabui dia agar berpikir itu susu, supaya dia mau meminumnya, tapi itu tidak sehat, tidak memberinya nutrisi apa pun,” kata Rayhan.

Rayhan menambahkan bahwa semua keluarga di kamp berjuang setiap hari untuk menemukan makanan dan cara memasaknya.

Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa dia memakan kacang-kacangan mentah dari kaleng yang disertakan dalam kiriman bantuan karena tidak ada bahan bakar untuk menyalakan api.

“Ya, sesekali bantuan memang datang, tetapi tidak akan pernah cukup. Bantuan tidak akan cukup untuk semua keluarga. Anda bisa membeli sekaleng kacang-kacangan atau sekaleng daging untuk sepuluh orang. Bahkan jika hanya satu orang yang memakannya, mereka tidak akan merasa kenyang,” lanjutnya.

Umumny, anak-anak Gaza hanya makan satu kali sehari, itupun kalau ada makanan, atau bahan yang dimasak.

Di tenda kamp, ​​yang terletak di sebuah sekolah di Rafah, tiga anak sedang makan nasi dari satu mangkuk.

Ibu mereka, Yasra El-Deeb, mengatakan mereka tidak akan makan apa pun lagi sepanjang sisa hari itu, hanya satu kali.

“Anak-anak tidur dalam keadaan lapar dan bangun dalam keadaan lapar,” tambahnya, sambil tampak lelah.

“Anak-anak mulai sakit, hampir setiap hari mereka sakit perut, menahan lapar,” imbuhnya.

Di bagian lain kamp, ​​Naji Shallah memotong beberapa tomat dan paprika hijau dan bersiap memasaknya dalam panci kecil. Ia juga mengatakan bahwa ini akan menjadi satu-satunya makanan anak-anaknya pada siang hari.

“Jika saya bisa menemukan roti untuk anak-anak saya, itu seperti menerima satu pon emas,” ujar Naji, seraya mengatakan bahwa mereka menderita dehidrasi akibat kekurangan makanan dan air, sementara salah satu putranya telah kehilangan banyak berat badan.

“Jika saya mendapat sepotong roti, saya hanya bisa memberikan anak saya setengah roti saja, karena jika ia menghabiskan seluruh roti, ia tidak akan makan apa pun keesokan harinya,” lanjutnya.

Sementara dalam keadaan mencemaskan seperti itu, pasukan Zionis masih terus membombardir Jalur Gaza. Kehancuran besar pun kembali terjadi di Jalur Gaza utara akibat pengeboman Israel.

Dunia yang Diam Tak Bergerak

Dunia yang diam tak bergerak, dunia yang timpang, di mana sebagian besar tetangganya di negeri kaya minyak Timur Tengah makan lezat dan kenyang. Sementara di sebelahnya anak-anak Gaza menderita kelaparan.

Dunia Barat yang menunjung hak-hak asasi manusia, tapi membiarkan hak-hak asasi manusia, hak makan dan minum, yang paling dasar untuk sekedar bertahan hidup.

Negara-negara besar, super power, dan katanya mendukung perdamaian dunia, ternyata tak juga kuasa hanya sekedar membuka bantuan ke Jalur Gaza.

Pernyataan demi pernyataan, kecaman dan kutukan, diplomasi-diplomasi di tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), tak bisa membongkar blokade Zionis.

Manusia yang masih memiliki jiwa kemanusiaan, tentu memberikan apresiasi dan menitipkan donasi, untuk lembaga kemanusiaan yang masih dengan berbagai cara untuk menyalurkan bantuan ke Jalur Gaza, walau harus lewat terowongan bawah tanah.

Bantuan lewat udara seperti pernah dikerjakan Kerajaan Yordania, terlepas dari kurangnya tepat sasaran atau ada yang menjadi korban, masih sangat diperlukan untuk dilanjutkan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Artikel
Palestina
Dunia Islam
Internasional