Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaza “Game of Thrones”

Rudi Hendrik - Senin, 10 Juli 2017 - 17:59 WIB

Senin, 10 Juli 2017 - 17:59 WIB

258 Views

Hamas menjadi simbol perlawanan perjuangan rakyat Palestina. (Foto: dok. EIPA)

Presiden Palestina mahmoud Abbas (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan). (Foto: AFP)

Dilihat dari ukurannya, Jalur Gaza mungkin terlihat terlalu kecil untuk diperhatikan dalam intrik regional yang sedang berlangsung dan melibatkan Israel, Amerika Serikat, Turki, Mesir dan negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Namun, jalur pantai seluas 365 km persegi yang berada di bawah pengepungan Israel-Mesir selama lebih dari 10 tahun itu, pengaruhnya melebihi ukurannya berkali-kali lipat dalam pertaruhan politik yang sedang berlangsung yang melibatkan pemain paling kuat di kawasan.

“Permainan” memiliki banyak pemain, semua dimotivasi oleh kepentingan pribadi dan pelestarian diri. Israel telah mempertahankan keunggulan sejauh ini. Ia melihat aliansi muncul dan lainnya tergulung. Ia memanipulasi berbagai variabel yang sesuai dan memastikan hasilnya selalu menguntungkannya.

Tapi apa sebenarnya yang diinginkan Israel?

Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina

Tak lama setelah gerakan Hamas memenangkan pemilu Palestina tahun 2006, Israel memberlakukan pengepungan di Gaza hingga kini.

Dov Weisglass, seorang penasihat utama Israel untuk mantan Perdana Menteri Ehud Olmert, menggambarkan motif Israel di balik pengepungan 10 tahun tersebut.

“Idenya adalah membuat orang-orang Palestina melakukan diet, tapi tidak membuat mereka mati kelaparan,” katanya.

Sedikitnya ada tiga motif dari pengepungan menurut Weisglass, yaitu:

Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah

Pertama, diet kelaparan telah berlaku sejak 2006, dengan sedikit upaya untuk memperbaiki penderitaan rakyat Palestina di Gaza.

Kedua, seiring berjalannya waktu, pengepungan Israel juga menjadi blokadenya Mesir, sehingga membuat negara Arab yang terpadat itu menjadi kaki tangan rencana Israel untuk mengendalikan orang-orang Palestina.

Ketiga, Otoritas Palestina di Ramallah belajar tidak hanya untuk hidup berdampingan dengan pengepungan Israel di Gaza, tapi juga untuk dimanfaatkan oleh Israel.

Otoritas Tepi Barat dikendalikan oleh Gerakan Fatah, gerakan yang meluncurkan pemberontakan Palestina beberapa dekade yang lalu.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Tetapi waktu telah berubah. Pergerakan tersebut sekarang didominasi oleh seorang “pemimpin pengkhianat” yang mengalami penuaan, seperti Mahmoud Abbas.

Abbas sedang menjalani perebutan kekuasaan di dalam jajarannya, sementara ia juga berjuang keras untuk menjaga saingannya tetap lemah, tetap terisolasi dan didiskreditkan, yaitu Hamas di Jalur Gaza.

Pangsa pengepungan Mesir tidak dapat diremehkan. Sejak kemunculannya setelah sebuah kudeta militer terhadap pemerintah terpilih pada 3 Juli 2013, Jenderal – sekarang Presiden – Abdul Fatah Al-Sisi bergerak cepat untuk lebih jauh mengisolasi Jalur Gaza dengan sasaran utama yaitu mengisolasi Hamas.

Kudeta Sisi berhasil, tegas dan keras, menggulingkan pemerintahan yang didominasi Ikhwanul Muslimin di Kairo.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

Hamas yang secara luas dilihat sebagai perpanjangan masa depan Ikhwanul Muslimin di Palestina, masih memerintah di Jalur Gaza yang terkepung, meskipun telah ada usaha keras untuk menghancurkan kelompok kuat itu.

Tiga perang besar (2008-9, 2012 dan 2014) membunuh ribuan orang Palestina, termasuk ratusan pejuang dan pemimpin Hamas, tapi keseimbangan politik tetap ada di tangan Hamas.

Dengan berjalannya waktu, dalam pengepungan Israel, ada persetujuan diam-diam dari kepemimpinan Palestina di Tepi Barat, termasuk persetujuan Arab juga. Beberapa pemerintah Teluk Arab yang ingin memastikan kematian gerakan Ikhwanul Muslimin secara menyeluruh, melihat Hamas sebagai ancaman.

HAMAS.jpg" alt="" width="690" height="388" /> Hamas menjadi simbol perlawanan perjuangan rakyat Palestina. (Foto: dok. EIPA)

Sekarang memasuki tahun ke-11, pengepungan tersebut telah menjadi investasi jangka panjang bersama antara pemerintah Israel-Palestina-Arab.

Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan  

Namun, ini bukan masalah politik atau ideologi semata.

Setelah berbagai pemberontakan menjadi populer di beberapa negara Arab, penguasa Arab yang tidak menganut paham demokrasi, bertindak cepat untuk menekan perbedaan pendapat.

Tidak peduli betapa tidak berbahayanya perbedaan pendapat yang muncul. Blogger
diseret ke penjara, penyair dipenjara, aktivis damai ditembak, ribuan orang hilang dalam pembersihan massal untuk memastikan pemberontakan yang gagal tidak muncul kembali mengganggu kursi kekuasaan.

Sementara itu di negeri Palestina, Israel terus bergerak melakukan pengambilalihan lahan rakyat Palestina secara ilegal dan melakukan ekspansi kolonial Yahudi, tanpa hambatan.

Baca Juga: Media Ibrani: Netanyahu Hadir di Pengadilan Atas Tuduhan Korupsi

Dengan “koordinasi keamanan” antara Israel dan Otoritas Palestina untuk menindak pembangkangan orang-orang Palestina yang sedang terjadi, rencana Israel untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat dan seluruh Yerusalem Timur (Al-Quds) terbentuk tanpa banyak hambatan.

Kecuali Gaza, wilayah ini melambangkan perlawanan dan tidak dapat dieliminasi, baik dengan kelaparan, penahanan atau senjata.

Hampir 5.000 warga Palestina terbunuh di Gaza selama tiga serangan utama Israel terhadap Jalur Gaza. Namun, meski sebagian besar Jalur Gaza hancur akibat perang mematikan Israel, semangat perlawanan di sana tetap kuat, dan pada akhirnya, semangat itu menghidupkan kembali perlawanan orang-orang Palestina di Tepi Barat juga.

Namun, bagaimanapun Israel tetap berhasil. Meskipun tidak bisa mengalahkan Gaza, ia berhasil mengubah blokade Gaza menjadi urusan Arab juga.

Baca Juga: Hamas Sayangkan Terbunuhnya Pejuang Perlawanan di Tepi Barat, Serukan Faksi Palestina Bersatu

Wilayah Arab telah mengalami perubahan yang cepat dalam beberapa tahun terakhir. Tiga perang saudara terjadi di Suriah, Libya dan Yaman serta penyebaran militansi dan “teror” telah menjangkau hampir semua negara Arab.

Di tangga klasemen, Israel bertengger di puncak piramida. Saat itu sebuah aliansi yang melibatkan Mesir, Uni Emirat Arab (UAE), Arab Saudi dan Bahrain mulai bergerak ke dalam formasi yang jelas untuk mencapai dominasi. Mereka menghancurkan beberapa musuh, mengisolasi orang lain dan mengalahkan manuver sisanya.

Aliansi yang tampil dengan kejam mengisolasi Qatar pada 5 Juni 2015 itu, ternyata salah satu isunya juga terkait dengan Hamas di Jalur Gaza. (RI-1/RS1)

 

Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi

Sumber: tulisan Ramzy Baroud di Al Jazeera. Baroud adalah kolumnis sindikasi internasional, konsultan media, dan seorang penulis.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Desa Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah terendam banjir pada Februari 2024. (Istimewa)
Indonesia
Indonesia
Internasional
Khutbah Jumat