Tanggal 3 Mei bukan sekadar angka yang tertera di kalender. Bagi jurnalis, akademisi, dan pegiat kebebasan berekspresi di seluruh dunia, Hari Kebebasan Pers Sedunia merupakan momen reflektif, saat kita meninjau kembali peran media dalam menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan. Namun pada 2025 ini, peringatan itu terasa getir dan penuh luka, terutama bila kita menengok Gaza.
Di wilayah kecil Palestina yang diblokade ketat itu, para jurnalis bukan hanya kehilangan ruang untuk bekerja. Mereka kehilangan nyawa. Mikrofon, kamera, dan rompi bertuliskan “PRESS” bukan lagi perlindungan, melainkan menjadi target. Gaza tidak lagi hanya menjadi ladang liputan, tapi ladang kematian.
Hari Kebebasan Pers sejatinya adalah momen untuk merayakan keberanian menyuarakan kebenaran. Tapi di Gaza, kebenaran telah menjadi target, dan jurnalis menjadi martirnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, suara-suara kebenaran di Gaza dibungkam satu per satu. Teranyar, dua jurnalis Palestina, Helmi Al-Faqaawi dan Saeed Amin Abu Hasanein dari Radio Suara Al-Aqsa, meninggal dunia akibat serangan udara Israel yang menghantam kawasan tenda wartawan di sekitar Rumah Sakit Nasser, Khan Younis.
Baca Juga: Palestina dalam Kitab-Kitab Suci: Perspektif Islam, Yahudi, dan Kristen
Dua nama ini menambah panjang daftar jurnalis yang gugur dalam tugasnya. Sejak awal agresi Israel pada 7 Oktober 2023 hingga awal Mei 2025, sebanyak 212 jurnalis Palestina dilaporkan tewas saat menjalankan tugas jurnalistik mereka. Banyak dari mereka tewas saat meliput, merekam, atau bahkan saat sedang tidur bersama keluarga.
Ini bukan sekadar pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah kejahatan perang yang disengaja. Karena membunuh jurnalis, sejatinya, adalah upaya membunuh kebenaran itu sendiri.
Jurnalis Jadi Sasaran dan Saksi
Para jurnalis di Gaza tidak hanya kehilangan nyawa saat meliput. Mereka juga menjadi target langsung serangan. Serangan udara Israel telah menargetkan kantor-kantor media, rumah wartawan, hingga lokasi pengungsian tempat jurnalis berlindung bersama keluarga. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum humaniter internasional, tapi juga kejahatan perang yang disengaja.
Baca Juga: Jangan Jadi Generasi Rebahan
Laporan dari Al Jazeera menyebutkan bahwa jurnalis veteran, Wael Al-Dahdouh, kehilangan istri, anak, dan cucunya dalam serangan brutal Israel. Meski diliputi duka mendalam, ia tetap berdiri di depan kamera, menyampaikan realitas dari Gaza. “Kami tidak akan diam,” katanya lirih namun penuh keteguhan.
Dalam era digital yang penuh konektivitas ini, kita menyaksikan ironi, pembantaian disiarkan langsung, tapi dunia tetap masih bungkam.
Data dari Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan bahwa sejak 7 Oktober 2023 hingga 1 Mei 2025, sedikitnya 52.418 warga Palestina gugur dan 118.091 lainnya luka-luka. Dalam 45 hari terakhir saja, sejak 18 Maret 2025, sebanyak 2.326 jiwa kembali syahid dan 6.050 lainnya luka-luka.
Namun, di balik angka-angka ini terdapat realitas tragis yang lebih dalam. Di sana, para jurnalis menjadi saksi dan korban dari kekejaman yang mereka laporkan. Mereka menunjukkan wajah anak-anak yang kelaparan, menyuarakan penderitaan di dapur umum yang kehabisan makanan, dan merekam ladang-ladang yang dibakar serta sumur air yang dihancurkan. Tapi dunia memilih untuk tidak melihat.
Baca Juga: Generasi yang Terasing dari Nilai-Nilai Luhur Bangsa: Tantangan dan Solusi
Selain serangan fisik, Israel juga menggunakan teknologi tinggi untuk membungkam suara jurnalis. Pemadaman internet, pelacakan GPS, hingga penggunaan spyware untuk memata-matai ponsel jurnalis telah didokumentasikan oleh berbagai lembaga HAM internasional.
Laporan dari Front Line Defenders dan Citizen Lab mengungkapkan bahwa spyware Pegasus digunakan untuk memantau jurnalis dan aktivis HAM Palestina. Taktik ini bukan hanya merusak privasi, tapi juga mengancam kehidupan mereka secara langsung.
Mengapa jurnalis menjadi target? Karena mereka membawa senjata paling ditakuti penjajah: kebenaran. Dalam dunia di mana propaganda menjadi alat utama penjajahan, informasi faktual adalah bentuk perlawanan paling ampuh. Israel menyadari bahwa dokumentasi visual dan narasi dari lapangan mampu meruntuhkan legitimasi narasi mereka di hadapan opini publik global.
Di sinilah jurnalisme kemanusiaan berperan. Bukan jurnalisme netral yang membiarkan kebenaran dan kebohongan duduk berdampingan, tapi jurnalisme yang memihak pada korban, pada kemanusiaan, dan pada keadilan. Islam mengajarkan bahwa menyampaikan kebenaran adalah kewajiban, bahkan jika itu pahit dan berisiko nyawa
Baca Juga: Niat Lillah, Sumber Keberkahan dalam Setiap Transaksi
Bahkan media global pun tampak enggan memberitakan secara utuh dan lantang. Banyak yang masih terbelenggu pada frasa “konflik dua pihak” seolah mengabaikan bahwa ini adalah kolonialisme yang dibarengi genosida dan blokade total.
Diam adalah Pengkhianatan
Dalam suasana ini, diamnya media-media arus utama Barat menjadi bentuk pembiaran. Sementara jurnalis Palestina syahid demi menyuarakan kebenaran, sebagian besar media internasional justru mengadopsi narasi bias, menyamakan penjajah dengan yang dijajah, dan memutarbalikkan fakta menjadi opini.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk “menolong saudaramu yang dizalimi dan yang menzalimi” dengan menghentikan kezaliman. Dukungan terhadap jurnalis Palestina adalah bagian dari perintah tersebut. Kita wajib menyuarakan penderitaan mereka, menyebarluaskan karya-karya mereka, dan menolak segala bentuk normalisasi terhadap penjajah yang membungkam pers.
Baca Juga: Berniaga dengan Niat Lillah, Fondasi Bisnis Berkah
Sementara Kantor Berita MINA percaya bahwa jurnalis Muslim memikul amanah suci, yakni menjadi lisan kebenaran di tengah gelombang kebohongan. Dalam konteks ini, tugas jurnalis bukan hanya menyampaikan informasi, tapi juga membela hak hidup saudara seiman dan sesama manusia yang ditindas.
Kebebasan pers sejati adalah yang berpihak pada yang lemah, menentang kezaliman, dan memperjuangkan keadilan. Di era genosida ini, jurnalisme tidak bisa netral. Ia harus menjadi alat perlawanan bagi yang tidak bersenjata, dan menjadi tameng bagi yang tak berdaya.
Seruan dari Gaza
Para jurnalis Gaza telah mengorbankan segalanya demi menyuarakan suara rakyat yang terblokade. Mereka meminta dunia untuk tidak diam. Mereka meminta kita untuk bersuara. Maka suara itu harus kita teruskan, di media sosial, mimbar khutbah, ruang redaksi, dan meja diplomasi.
Baca Juga: Hari Pendidikan Nasional dan Konsep Pendidikan dalam Islam
Sebuah dunia yang membiarkan jurnalis dibunuh hanya karena memberitakan kebenaran adalah dunia yang sedang menuju kegelapan. Maka terangilah dengan suara kebenaran. Karena kebebasan pers bukan hanya hak, tapi kewajiban untuk menegakkan keadilan.
Gaza hari ini adalah ujian bagi dunia pers. Apakah kita hanya akan menjadi penonton pasif, atau akan ikut menjaga nyala kebenaran dengan segala yang kita punya?
Jurnalis Palestina telah menunjukkan bahwa keberanian tidak harus dilahirkan dari senjata. Ia bisa tumbuh dari keberanian melaporkan. Dari keberanian untuk tetap hidup, saat semua ingin mereka mati. Dari keberanian untuk bersuara, saat semua ingin mereka bungkam.
Gaza hari ini adalah ujian moral terbesar bagi jurnalisme global. Kita tidak hanya menghadapi keheningan senjata yang menakutkan, tetapi juga keheningan narasi yang menghancurkan. Setiap jurnalis yang gugur adalah kehilangan untuk seluruh dunia, karena ketika satu suara dibungkam, dunia kehilangan satu jendela menuju kebenaran.
Baca Juga: Perjuangan Buruh Melawan Kebijakan Kerdil
Keberanian para jurnalis Palestina adalah pengabdian tertinggi untuk kemanusiaan. Mereka bekerja di bawah teror tanpa perlindungan, hanya demi memastikan dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kita tidak boleh mengecewakan pengabdian itu. Kita tidak boleh membiarkan darah mereka mengering tanpa makna. Dunia harus segera bertindak, bukan karena mereka jurnalis, tetapi karena mereka adalah manusia yang memilih mempertahankan kebenaran, ketika mayoritas memilih diam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Melepas Dunia di Tanah Suci, Pelajaran Ikhlas dari Rangkaian Ibadah Haji