Oleh: Khuloud Rabah Sulaiman dan Salma Yaseen
Menemukan udara bersih di Gaza menjadi hampir mustahil.
Para orangtua khawatir zat beracun yang dikeluarkan senjata Israel menyebabkan peningkatan keluhan pernafasan pada anak-anak.
Baca Juga: Puluhan Ekstremis Yahudi Serang Komandan IDF di Tepi Barat
Seperti Alaa, seorang ibu, yang baru-baru ini dibangunkan di tengah malam oleh putrinya Hala, 8 tahun.
Hala mengalami demam dan kesulitan bernapas.
Dia dibawa ke rumah sakit Kamal Adwan di Gaza utara, yang beroperasi dengan kapasitas yang dikurangi setelah diserang oleh pasukan Israel pada bulan Desember. Stafnya memastikan bahwa paru-paru Hala telah rusak.
Awalnya, Hala diberi resep antibiotik dan inhaler.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Beberapa hari kemudian, kondisinya memburuk dan dia dipindahkan ke unit perawatan intensif rumah sakit. Upaya menyelamatkannya dengan memberikan oksigen tidak berhasil.
Tragisnya, Hala meninggal.
Alaa menyalahkan Israel atas kematian putrinya. Setelah menjadi pengungsi pada tahap awal perang genosida Israel, keluarga mereka tinggal bersama orangtua Alaa di kamp pengungsi Jabaliya, Gaza utara.
Lima belas orang telah berbagi ruang terbatas.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
“Israel sengaja membunuh anak saya,” kata Alaa. “Israel memaksa kami menghirup udara beracun.”
“Lingkungan sudah diracuni,” tambahnya. “Bau mesiu dan fosfor putih menyesakkan.”
Oksigen habis
Selain polusi yang disebabkan oleh senjata Israel, udara di Gaza juga tercemar oleh meluasnya pembakaran kayu dan material lainnya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Dengan kelangkaan listrik dan bahan bakar, masyarakat tidak punya pilihan selain menyalakan api agar mereka bisa mendapatkan sedikit kehangatan dan memasak makanan yang masih tersedia dalam jumlah sedikit.
Rabah Shehada, kini berusia 69 tahun, didiagnosis menderita asma ketika ia masih kecil.
Kesehatannya memburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Dia mengalami batuk darah dan mengalami detak jantung yang cepat dan sakit perut, serta sesak napas. Gejalanya menjadi akut setiap kali ia berada di dekat api.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Setelah diperiksa oleh dokter yang bekerja di sekolah yang kini menjadi klinik pengungsi, ia didiagnosis mengidap penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Stok tabung oksigen dan inhalernya yang sedikit akan segera habis. Dan pemadaman listrik yang terus-menerus membuat dia kesulitan mengisi daya peralatan medis yang dia butuhkan.
“Saya sering terbangun karena batuknya yang parah,” kata Siham, istri Rabah. “Saya khawatir saya akan kehilangan dia suatu hari nanti.”
Seorang wanita bernama Shurouq baru-baru ini melahirkan seorang bayi perempuan di rumah sakit al-Helal al-Emirati di Rafah, kota paling selatan Gaza.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Bayi tersebut – yang diberi nama Samar – mengalami suhu tubuh yang sangat tinggi ketika ia baru berusia satu pekan.
“Saya bergegas menemui tetangga saya sambil menggendong Samar,” kata Shurouq. “Saya memohon padanya [tetangga] untuk membawa kami ke rumah sakit dengan taksinya.”
Samar kehilangan kesadaran dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia telah menerima perawatan oksigen sejak itu.
Dia menderita infeksi paru-paru dan hidupnya dalam bahaya serius.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Shurouq meyakini, kondisi kesehatan putrinya akibat terpapar polusi udara saat hamil.
Setelah diusir dari rumahnya, dia tinggal di tenda di sebelah barat kota Khan Younis. Banyak sampah yang dibuang di kawasan sekitar, terutama setelah tempat pembuangan sampah resmi dirusak.
“Saya selalu menghirup udara yang terkontaminasi zat berbahaya saat sampah dibakar,” kata Shurouq. “Langit dipenuhi asap kelabu sepanjang hari.” (AT/RI-1/P1)
Sumber: The Electronic Intifada
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
1) Khuloud Rabah Sulaiman adalah seorang jurnalis yang tinggal di Gaza.
2) Salma Yaseen adalah mahasiswa sastra Inggris di Universitas Islam Gaza.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat