Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gelap Mengajarkan Kita Tentang Cahaya

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 20 menit yang lalu

20 menit yang lalu

16 Views

Arif Ramdan

Oleh Arif Ramdan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

 

“Alhamdulillah, sebagai bagian persiapan menghadapai kegelapan abadi yang pasti datang …”

SEBAIT pesan pendek masuk melalui jaringan Whatapps Saya berisi tentang gelap gulita akibat padamnya aliran listrik dan banjir besar di Aceh dalam beberapa hari ini.

Baca Juga: Menikah Itu Saling Menguatkan, Bukan Saling Mengalahkan

Pesan tersebut sebagai balasan dari kerabat Saya di Bogor, ketika Saya mengabarkan saat ini kondisi di Aceh terjadi pemadaman listrik akibat banjir. Saya dan kebanyakan orang terkendala termasuk dalam hal berkomunikasi, selain baterai handphone sudah ‘sekarat’ jaringan telekomunikasi juga terganggu.

Saya tersentak dengan jawaban pesan tersebut dan segera sadar bahwa ini tak seberapa ketimbang suatu saat kita akan menghadapi kegelapan itu, kelak. Pesan ini pula yang menggerakan jari tangan Saya untuk menulis renungan ini, saat listrik menyala di pagi Jumat, 28 November 2025.

Ya, sering kali ketika aliran listrik mati tiba-tiba. Listrik padam beberapa jam, kemudian membuat Saya dan banyak dari kita gelisah, kesal, dan tak sabar. Rumah terasa panas, segala aktivitas terhenti, dan baterai ponsel yang tinggal beberapa persen membuat kita semakin panik. Kita merasa kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap biasa, padahal itu adalah nikmat yang jarang disadari.

Saat direnungi lebih dalam, gelap yang seperti ini, sebenarnya adalah gelap yang penuh ‘kemewahan’. Kita masih memiliki rumah, masih bisa menyalakan lilin, masih bisa keluar mencari terang, dan yang paling penting, kita tahu bahwa gelap itu sementara. Kita masih dapat jalan keluar untuk mencari cahaya, pergi ke warung kopi numpang isi daya ponsel dengan hanya cukup membayar segelas kopi.

Baca Juga: Selingkuh Itu Bukan Khilaf, Tapi Sengaja Dipilih

Sementara di belahan dunia lain, seperti Gaza, ada saudara-saudara kita hidup dalam gelap selama bertahun-tahun. Gelap di Gaza, bukan hanya padamnya lampu, tetapi juga hilangnya rasa aman, masa depan, dan bahkan pertaruhan nyawa. Gelap mereka saudara kita di Gaza, bukan keluhan, melainkan perjuangan. Bukan gangguan sesaat, tetapi keadaan yang tak tahu kapan penderitaan itu akan berakhir.

Perenungan tentang gelap di Aceh dalam tiga hari ini, mengantarkan Saya kepada adanya gelap yang tak bisa kita hindari selamanya, yakni gelap sunyi alam kubur, tempat setiap kita manusia akan singgah, cepat atau lambat. Sekarang atau besok, kita tidak tahu.

Di sanalah kita akan benar-benar memahami apa arti gelap yang sesungguhnya. Tak ada lampu cadangan, tak ada generator, tak ada baterai ponsel, dan tak ada lagi jalan keluar untuk mencari cahaya.

Di tempat itu, satu-satunya cahaya yang bisa menemani kita hanyalah cahaya amal, kebaikan, doa, dan ketulusan yang kita kumpulkan selama hidup di dunia.

Baca Juga: 7 Cara Membuat Keluarga Harmonis dan Penuh Berkah

Betapa sering kita mengeluh karena mati listrik dua jam saja, namun jarang merenung apakah cahaya amal kita cukup menerangi gelap yang menanti. Betapa mudahnya kita marah ketika dunia memadamkan lampunya, padahal kita belum memastikan apakah lampu hati kita sendiri masih menyala.

Setiap kali gelap menyapa, mungkin itu bukan sekadar gangguan. Mungkin itu peringatan lembut, bahwa hidup ini sangat bergantung pada cahaya, cahaya yang sering kita biarkan redup karena lupa bersyukur, lupa berbuat baik, lupa menolong sesama, lupa mendekat kepada Tuhan.

Gelap itu guru yang sunyi, yang mengajarkan kita bahwa terang adalah anugerah, bahwa jiwa kita pun membutuhkan cahaya agar tidak tersesat selamanya.

Maka ketika aliran listrik kembali menyala, hati kita juga harus ikut menyala dengan rasa syukur, rasa peduli, dan kesadaran bahwa dunia bukan tempat kita selamanya. Suatu hari nanti, ketika gelap terakhir menjemput, semoga kita tidak datang tanpa cahaya. Ini bahaya!

Baca Juga: Jebakan Pujian, Ketika Hati Terlena oleh Sanjungan

Sungguh kuburan-kuburan ini penuh dengan kegelapan atas penghuninya dan sungguh Allah‘Azza wa Jalla akan meneranginya untuk mereka dengan shalatku atas mereka.” (HR. Muslim)

Ibnu ‘Alan dalam kitab Syarh Riyadhus Shalihin menerangkan makna hadits di atas bahwa, “Sesungguhnya kubur penuh kegelapan karena tidak ada jendela yang bisa dimasuki cahaya. Tidak bisa menyinari (menerangi)-nya kecuali amal-amal shalih dan syafa’at yang diterima oleh Allah Ta’ala.”

Gelap di dunia hanyalah tanda kecil. Tanda agar kita berhenti sejenak, menunduk, dan bertanya pada diri sendiri, jika gelap yang sebentar saja membuat kita tidak sabar, bagaimana dengan gelap yang tak bisa kita hindari kelak?

Semoga setiap padam listrik yang kita alami menjadi pengingat, bahwa kita masih diberi kesempatan, kesempatan untuk menyalakan cahaya, cahaya kebaikan, cahaya ibadah, cahaya hati, cahaya yang kelak setia menemani kita ketika semua cahaya dunia tak lagi bisa menyala. []

Baca Juga: Hati-hati Jebakan Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza

Rekomendasi untuk Anda