PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump pada hari Senin (20/1/2025) menyelipkan secara singkat dalam pidatonya, mengatakan bahwa dirinya menginginkan normalisasi Israel-Arab Saudi dapat dicapai.
“Saya pikir Arab Saudi akan masuk dalam Kesepakatan Abraham. Sebentar lagi. Tidak lama lagi,” kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval Gedung Putih Washington DC, saat menandatangani beberapa perintah eksekutif pada hari pelantikannya.
Kesepakatan Abraham (Abraham Accords) adalah perjanjian yang diusung AS yang ditandatangani saat masa jabatan pertama Trump pada tahun 2020 yang menormalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab dan Afrika, yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko dan Sudan.
Adapun Arab Saudi, disebut-sebut telah menunda rencana yang didukung AS bagi Kerajaan itu untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Hal itu terjadi setelah meletusnya Perang Gaza pada Oktober 2023. Arab Saudi menegaskan tidak akan mengakui Israel tanpa negara Palestina.
Baca Juga: Tarbiyah dan Ukhuwah: Jantungnya Dakwah
Menurut para pengamat geopolitik kawasan, bukanlah suatu kebetulan bahwa pengumuman Qatar tentang gencatan senjata datang pada saat yang sangat sensitif bagi Kerajaan Saudi. Ini karena Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) sedang berupaya keras untuk memperkuat pengaruh negaranya di panggung regional Timur Tengah.
Terlebih saat ini dengan memanfaatkan kemunduran Iran yang didukung Rusia, dan memudarnya pengaruh Iran di kawasan tersebut. Terutama usai penggulingan mitra utamanya, Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, 8 Desember 2024.
Lebih jauh, Arab Saudi diharapkan memainkan peran penting dalam rekonstruksi Gaza, yang berpotensi memberinya pengaruh politik dan ekonomi yang lebih besar di kawasan Timur Tengah.
Jauh sebelumnya, pada tahun 2020, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan tidak akan mengikuti langkah UEA dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, sampai negara Yahudi itu menandatangani perjanjian perdamaian yang diakui secara internasional dengan Palestina.
Baca Juga: Gencatan Senjata, Kemenangan Palestina dan Warga Dunia
Apakah kemudian perjanjian gencatan senjata Hamas-Israel yang dimediasi Qatar, Mesir dan AS, bisa dijadikan alasan bagi AS untuk menekan Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel? Sebab Israel telah menandatangani salah satu dari perjanjian internasional?
Arab Saudi sendiri menjadi cukup berkepentingan dengan adanya perjanjian pertahanan AS-Saudi dan bantuan untuk program nuklir sipil Saudi.
Menteri Luar Negeri AS era Biden, Antony Blinken juga pernah mengatakan bahwa mencapai kesepakatan normalisasi antara Israel dan Arab Saudi merupakan “cara terbaik untuk mendorong perdamaian Israel-Palestina.”
“Prospek normalisasi antara Israel dan Arab Saudi merupakan peluang terbaik untuk mencapai tujuan yang telah lama dicari, yakni memperluas integrasi Israel ke dalam kawasan,” katanya dalam pidato di Atlantic Council, lembaga pemikir yang berpusat di Washington.
Baca Juga: Malu dalam Perspektif Islam: Pilar Akhlak Mulia
Sementara di pihak Israel, Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer membantah adanya janji dari Tel Aviv untuk mendirikan negara Palestina dengan imbalan normalisasi dengan Arab Saudi.
Hal ini disampaikan dalam pidatonya di hadapan Parlemen Israel (Knesset), sementara Dermer dianggap sebagai tangan kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan bertanggung jawab atas komunikasi dengan Amerika Serikat. Kemunculannya di hadapan Knesset jarang terjadi, karena ia bukan anggotanya.
Dalam konteks yang sama, Dermer mengindikasikan bahwa pemerintah Israel sedang berupaya mengembangkan rencana mengenai “hari setelah perang” di Jalur Gaza.
Sebelumnya, ia berkomentar tentang perjanjian gencatan senjata di Lebanon, “Israel mempunyai kemampuan untuk melakukan pelanggaran apa pun, dan akan melakukan apa yang diperlukan untuk menjaga keamanan penduduk di wilayah utara.”
Baca Juga: Tanda “Kiamat” Bagi Zionis Israel
Ini artinya, jika Arab Saudi mau mengekor Trump dengan menjalin normalisasi dengan Israel, mengingat AS telah membuka jalan bagi pengaruh Regional MBS setelah meredupnya, maka Arab Saudi yang justru dirugikan. Sebab Israel nyata-nyata tetap tidak akan mengakui adanya Negara Palestina, walaupun nanti menjalin normalisasi dengan Saudi sekalipun.
Fakta lainnya juga membuktikan, aneksasi yang dijanjikan akan dihentikan usai normalisasi dengan Negara Arab Uni Emirat Arab dan Bahrain, serangan itu tetap saja masih terus berlangsung di Tepi Barat. Bahkan akhir-akhir ini semakin meningkat.
Selain itu, Arab Saudi akan mendapat kecaman dan tekanan kuat dari sesama negara Arab dan dunia Islam. Itu berarti pengaruh regional Saudi justru akan semakin lemah. Bersandar pada AS pun saat ini tidak akan memberi pengaruh kuat, sebab di level internasional PBB saja AS dan Israel selalu menjadi negara yang dipojokkan dalam votting soal Palestina dalam beberapa kali sidang.
Ekonomi AS juga tidak sedang baik-baik saja, dengan hutang per tahun 2024 melampaui angka US$34 triliun (Rp533.630 triliun). Situasi politik dalam dan luar negeri AS juga sedang terpuruk. AS di bawah Trump dengan gaya ‘cowboy’-nya akan semakin mendapat pertentangan dari negara-negara lain, mulai dari Rusia, China, dan negara-negara di kawasan Amerika Latin, seperti Kanada, Kuba, dsb.
Baca Juga: Melihat Mona Lisa Di Musée Du Louvre Paris
Bargaining position Israel? Tentu tak sebanding dengan Arab Saudi. Israel telah mengalami kerugian total dari segi ekonomi, militer, infrastuktur, sumber daya alam, dan pengaruh politik global.
Jadi, tak pantas dan tak layak untuk normalisasi dengan negara penjajah itu, baik oleh Arab Saudi maupun Negara manapun. Termasuk oleh UEA, Bahrain, Maroko dan Sudan, yang perlumencatat ulang untuk melepas normalisasi seperti demo-demo rakyatnya sendiri.
Kepada Turkiye, Mesir dan Yordania perlu berpikir ulang juga untuk melepas normalisasi dengan Israel, yang cenderung selalu melanggar janjinya. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pagar Laut Tangerang Dibongkar, Tapi Siapa Aktor Pembuatnya?