Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency), Duta Al-Quds
Perjanjian gencatan senjata antara pendudukan Israel dengan Kelompok Perlawanan Jihad Islam yang ditengahi Mesir, mengakhiri serangan tiga hari militer Israel ke Jalur Gaza, berlaku mulai Ahad, 7 Agustus 2022 pukul 23.30 waktu setempat.
Sebuah pernyataan Mesir mengatakan, “Dalam konteks keinginan Mesir untuk mengakhiri ketegangan saat ini di Jalur Gaza, Mesir telah mengintensifkan kontaknya dengan semua pihak untuk menahan eskalasi saat ini, dan mengingat kontak tersebut, Mesir menyerukan gencatan senjata yang komprehensif dan timbal balik.” Demikian sumber Kantor Berita Palestina, Wafa.
“Mesir juga sedang mengerahkan upaya untuk membebaskan tahanan Khalil Awawda dan memindahkannya untuk perawatan, serta bekerja untuk membebaskan tahanan Bassam al-Saadi sesegera mungkin,” tambah pernyataan itu
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina
Semua pihak yang berkonflik telah mengumumkan penerimaan mereka atas perjanjian ini.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres segera menyambut baik pengumuman gencatan senjata tersebut.
Guterres juga memuji Mesir atas upaya yang dilakukan dalam koordinasi erat dengan PBB, untuk membantu memulihkan ketenangan.
Ia menyerukan semua pihak untuk mematuhi gencatan senjata, serta menegaskan kembali komitmen PBB untuk pencapaian solusi dua negara berdasarkan resolusi PBB yang relevan.
Baca Juga: Netanyahu Kembali Ajukan Penundaan Sidang Kasus Korupsinya
Legitimasi Jelang Pemilu
Dilihat dari catatan sebelumnya, serangan yang dilakukan militer Israel ke Jalur Gaza, biasanya dilakukan untuk memperoleh legitimasi dan suara menjelang pemilihan umum.
Demikian juga kali ini. Seperti dikemukakan Dr. Tamer Qarmout, Pengamat Timur Tengah dari Institut Studi Pascasarjana Doha yang mengatakan, serangan militer Israel ke Jalur Gaza merupakan tindakan yang disengaja untuk mendapatkan legitimasi publik menjelang pemilihan baru November mendatang.
“Gaza telah menyaksikan empat atau lima konflik besar selama 15 tahun terakhir. Kami masih berbicara tentang rekonstruksi Jalur Gaza. Gaza tidak pernah benar-benar pulih, hanya hidup dari konflik ke konflik,” katanya saat diwawancarai Al-Jazeera, Jumat, 5 Agustus 2022.
Baca Juga: Hujan Deras Rusak Tenda-Tenda Pengungsi di Gaza
Qarmout menyesalkan serangan udara mematikan di Gaza, di tengah gejolak politik dan dengan tujuan untuk pemilihan baru yang akan datang.
Bahkan menurut Gideon Levy, seorang penulis Israel untuk surat kabar Haaretz mengatakan, serangan ke Jalur Gaza sudah menjadi cara bagi politisi Israel untuk menunjukkan kekuatan mereka sebelum pemilihan.
“Setiap perdana menteri perlu membuktikan dirinya, terutama jika dia berasal dari sayap kiri dan sayap tengah di Israel. Semua itu adalah alasan yang sangat buruk,” ujarnya.
Namun langkah inipun tidak efektif. Sebab terbukti pemerintahan siapapun yang memimpin Israel, tetap saja menjadi kumpulan politisi yang rapuh. Ini karena tidak pernah meraih jumlah suara mayoritas mutlak. Yang ada malah pemerintahan negoisasi atau rapuh, yang berganti-ganti tampuk pimpinan tertinggi Perdana Menteri.
Baca Juga: Abu Obaida: Sandera Perempuan di Gaza Tewas oleh Serangan Israel
Terbukti saat ini Israel akan mengadakan pemilu baru untuk kelima kalinya dalam kurun waktu sekitar tiga tahun terakhir, setelah parlemen membubarkan diri dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengundurkan diri.
Mantan mitra koalisi Bennett, Yair Lapid, mengambil alih sebagai penjabat perdana menteri hingga pemilu tanggal 1 November 2022.
Kerusakan Infrastruktur Israel
Perang selalu menyisakan korban warga sipil dan kerusakan infrastruktur. Termasuk perang pasukan Israel menghadapi kelompok perlawanan Jihad Islam di Jalur Gaza kali ini.
Baca Juga: [POPULER MINA] Perintah Penangkapan Netanyahu dan Layanan di Semua RS Gaza Berhenti
Israel mengklaim kemenangannya dengan membunuh 44 warga Palestina, 15 di antaranya anak-anak, dan melukai 300 orang. Sebagian besar korban adalah warga sipil, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Israel juga melaporkan, telah menangkal ratusan roket balasan dari Jalur Gaza, dengan sistem pertahanan Iron Dome-nya.
Namun, justru surat kabar Ibrani, Maariv sendiri yang menyebutkan, terjadinya kerusakan infrastruktur yang parah di kota-kota utama Israel. Tercatat 135 kerusakan infrastuktur akibat serangan balasan roket-roket dari Jalur Gaza.
Surat kabar itu menunjukkan kerusakan itu meliputi 28 bangunan di Ashkelon, 19 di Sderot, dan 20 di kota-kota lain.
Baca Juga: Oposisi Israel Kritik Pemerintahan Netanyahu, Sebut Perpanjang Perang di Gaza Tanpa Alasan
Selain itu, 69 mobil rusak, termasuk 34 di Ashkelon, 20 di Sderot, 15 di kota lain, dan 9 properti lainnya rusak.
Maariv juga menyebutkan kerusakan luas lahan pertanian, tapi tidak diungkapkan seluruhnya dengan alasan pembatasan keamanan dan pencegahan masuk ke daerah pertanian.
Pada bagian lain, aksi-aksi protes pun datang dari warga Israel sendiri, yang menentang serangan ke warga sipil. Apalagi dengan dalil legitimasi menjelang pemilu mendatang.
Serangan balasan roket-roket dari Jalur Gaza, justru menurut warga Israel menjadikan mereka tidak aman dan tidak nyaman hidup. Banyak kegiatan yang terhenti, toko-toko dan kantor-kantor tutup. Sementara warga disuruh bersembunyi dan menjadi ketakutan.
Baca Juga: Hamas Ungkap Borok Israel, Gemar Serang Rumah Sakit di Gaza
Atas hak itu, beberapa kelompok warga Israel memprotes langkah militer pemerintahnya menyerang warga sipil di Jalur Gaza. Beberapa demonstran bahkan mengibarkan bendera Palestina di samping bendera Israel, dan meneriakkan slogan anti-perang.
Laporan Times of Israel, menyebutkan, pada hari-hari serangan sebelum gencatan senjata, demonstrasi protes terjadi di beberapa lokasi di beberapa kota Israel, seperti di Tel Aviv, Haifa, Umm al-Fahm, dan lainnya.
Polisi Israel pun ditempatkan di antara para demonstran pro-Palestina dan sekelompok individu yang datang sambil mengibarkan bendera Israel.
Ayman Odeh, Ketua Partai Gabungan Arab, berbicara kepada media Ibrani pada protes tersebut, menyerukan diakhirinya “siklus horor dan perlunya negosiasi nyata untuk mengakhiri pendudukan, dan untuk mendirikan negara Palestina bersama Israel secara damai.”
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Para pengunjuk rasa yang mengacungkan slogan-slogan anti-perang juga terlihat di dekat Kantor Kementerian Pertahanan di Tel Aviv.
Persatuan Nasional
Tentu tidak selesai pada gencatan senjata, yang itu menandakan kekalahan Israel, yang tak mampu membendung balasan ratusan roket-roket dari Jalur Gaza. Padahal masih ada ribuan roket lainnya yang belum diluncurkan. Itu baru dari kelompok perlawanan Jihad Islam. Belum dari Hamas, yang bisa jauh lebih hebat lagi.
Israel juga tak mampu menahan aksi-aksi protes warganya sendiri. Plus kecaman dan kutukan negara-negara di dunia, yang semakin mengucilkannya.
Baca Juga: Semua Rumah Sakit di Gaza Terpaksa Hentikan Layanan dalam 48 Jam
Dari itu semua, ada satu kata kunci dalam perjuangan bangsa Palestina, yakni pentingnya persatuan nasional internal Palestina itu sendiri. Ini seperti ditegaskan oleh Gerakan Perlawanan Islam Palestina Hamas, yang menyerukan semua faksi dan elemen perjuangan Palestina untuk mencapai persatuan guna memulihkan keadaan di Palestina dan menghadapi berbagai kejahatan Israel dan mengakhiri penjajahannya.
Hamas menyatakan, persatuan nasional harus berdasarkan program yang komprehensif dan terpadu, sesuai kesepakatan bersama. Kesepakatan bertema visi nasional yang sesuai dengan perjanjian rekonsiliasi nasional sebelumnya yang disepakati akhir September 2019 lalu.
Dalam kesepakatan itu, kelompok Palestina di antaranya Jihad Islam, Front Pembebasan Rakyat Palestina, Front Demokratis Pembebasan Palestina, Gerakan Inisiatif Nasional Palestina, Partai Rakyat, Komando Umum Front Pembebasan Rakyat Palestina, Partai FIDA dan organisasi As-Sa’iqa mengeluarkan pernyataan tertulis bersama untuk mengakhiri perpecahan internal.
Sejak 2007 Palestina mengalami krisis politik akibat perpecahan antara dua faksi terbesar, Hamas dan Fatah. Pada akhirnya meski kedua pihak telah menandatangani kesepakatan rekonsiliasi di Kairo pada 12 Oktober 2017, namun persatuan nasional yang diinginkan masih belum tercapai sepenuhnya.
Baca Juga: Hamas Kecam Penyerbuan Ben-Gvir ke Masjid Ibrahimi
Secara lebih luas, tentu persatuan umat Islam di tingkat internasional menjadi kata kunci berikutnya, untuk membebaskan Palestina dari belenggu penjajahan, dan untuk pembebasan Masjid Al-Aqsa hak milik umat Islam.
Terlepas dari itu semua, gugurnya puluhan warga, terutama warga sipil Palestina, bukanlah tanda kekalahan. Namun justru kemenangan di sisi Allah, dengan ditetapkannya mereka sebagai para syuhada.
Termasuk perjuangan pembelaan kita dari berbagai lini, mulai dari aksi-aksi solidaritas, pengiriman donasi kemanusiaan, pemberian beasiswa, perlindungan di kamp-kamp pengungsi, hingga bantuan material dan infrastruktur, termasuk untuk rumah sakit, dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya adalah dukungan moral, doa dan media untuk perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsa. Allahu Akbar ! Al-Aqsa Haqquna !! (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)