Oleh Moehammad Amar Ma’ruf, Penulis Buku Katulistiwa, Diplomat Karier Kementerian Luar Negeri RI
PEMBERLAKUAN gencatan senjata antara Israel dan Palestina merupakan keputusan yang diharapkan dapat berjalan efektif hingga bangsa Palestina mendapatkan kembali haknya tanahnya dan dapat melakukan rekonstruksi sarana fisiknya yg dihancurleburkan militer Zionis Israel.
Efektifitas gencatan senjata ini nampak masih menjadi pertanyaan yang harus dibuktikan oleh pihak Israel mengingat pihak Israel belum lama ini mendeklarasikan tentang larangan beroperasinya UNRWA di Gaza, Januari 2025. Hal ini senada dengan kebijakan dan tindakan penarikan bantuan luar negeri AS apabila tidak sesuai dengan kebijakan Presiden barunya, Donald Trump. Sementara itu AS pun telah menarik bantuannya untuk UNRWA.
Pada dasarnya keputusan gencatan senjata ini patut disambut positif. Namun efektifitasnya patut dipertanyakan oleh masyarakat internasional. Bisa jadi keputusan gencatan senjata yang dicapai saat ini bersifat pencitraan dan hanya menarik simpatik masyarakat internasional dan pimpinan dunia.
Baca Juga: Hijab Simbol Kemerdekaan Muslimah
Secara geopolitik, kebijakan gencatan senjata ini dipandang untuk memperkuat kebijakan Luar Negeri Presiden AS terpilih Donald Trump terkait inisiatifnya berupa Abraham Accord sebagai upayanya untuk menormalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel. Keberhasilan cara ini dipandang hanya sebagai strategi menciptakan proxy bagi kepentingan AS di kawasan Timur Tengah.
Selain itu, besar kemungkinan gencatan senjata di atas hanya didasarkan kepentingan sesaat pihak AS dan Israel untuk mengatur strategi pemulihan atas kerugian materi yang telah diderita oleh keduanya selama melakukan agresi yang ditentang oleh keputusan internasional. Agresi Israel yang didukung AS atas Palestina serta negara di kawasan telah menguras anggaran Israel dan AS yang besar mencapai triliunan dollar AS.
Banyak pula yang mengaitkan gencatan senjata ini sebagai efek dari balasan buruk (karma) atas kebijakan AS yang berat sebelah mendukung dan melakukan pembiaran atas tindakan genosida Israel terhadap bangsa Palestina berupa peristiwa terbakarnya wilayah Los Angeles oleh Angin Santa Ana yang bertiup sangat kencang dan menghembuskan hawa panas, sehingga AS harus menarik diri dahulu dari kebijakannya mendukung agresi Israel.
Secara geo-ekonomi, kebijakan gencatan senjata ini dijadikan sebagai momen bagi AS dan Israel untuk mengevaluasi kekuatan ekonomi dan bisnisnya di dunia, khususnya untuk pembangunan wilayah dan warganya.
Baca Juga: Jurnalis atau Penyebar Dusta? Fikih Jurnalistik Menjawab Tantangan Berita Hoaks
Hingga dekade kini, ekonomi Israel ditopang oleh AS yang sumber devisanya masih berbasis perdagangan energi minyak fosil dengan basis eksplorasinya di negara2 kawasan Timur Tengah. Kegiatan penjualan minyak dunia pun sedang menurun akibat konflik yang berimbas pada rantai pasok minyak dunia dan harga cenderung tidak stabil.
Kekhawatiran gagalnya gencatan senjata itu pun terlihat ketika pimpinan AS tidak nyaman dengan kebijakan pemimpin negara-negara di wilayah Timur Tengah yang mulai memikirkan perubahan paradigma ke arah ekonomi dan energi hijau. Situasi ini akan menyebabkan aksi balasan terhadap negara-negara yang dipandang berseberangan dan memihak pada pesaingnya.
Ironisnya memang sejak awal revolusi industri yang terjadi di Eropa dan merambah ke dataran Amerika membuat kedua bangsa ini mencari bahan baku energi dan komoditi bernilai dari wilayah Timur Tengah, Afrika dan wilayah Timur Jauh, termasuk Indonesia (Nusantara).
Wilayah-wilayah menjadi obyek eksploitasi sumber daya alamnya sebagai penopang pembangunan wilayah mereka. Dalam perkembangannya tekanan tersebut menimbulkan gerakan Konferensi Asia Afrika/KAA 1955, yang dihadiri oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik yang mengalami penjajahan.
Baca Juga: 10 Cara Ampuh Membuat Hubungan Suami Istri Makin Harmonis
Dalam konteks ini, kekhawatiran akan terjadi defisit ekonomi negara AS yang tentunya akan berimbas pada berkurangnya bantuan luar negeri AS pada sekutunya, maka momen gencatan senjata ini dipergunakan untuk menyelamatkan kebijakan dan program penguatan dan peredaran mata uang dollar AS.
Kekhawatiran tersebut semakin terlihat dengan adanya perkembangan kawasan dan dunia yang mengarah pada kebijakan proteksionisme (perlindungan pasar nasional) dan berkomitmen pada kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Sebut saja kebijakan hijau Eropa dan negara-negara yang tergabung pada BRICS yang cenderung akan mengutamakan berbisnis antar sesama anggota.
Bagi Israel, gencatan senjata ini sendiri merupakan langkah muslihat pimpinan pemerintahan Israel untuk menutupi kekhawatiran berkurangnya suplai dukungan sekutunya seraya melonggarkan tekanan dan ketidakpercayaan warga Israel sendiri yang selama berabad-abad dijadikan tameng oleh rezim pemerintahannya.
Kondisi-kondisi di atas yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemimpin dunia, khususnya pemimpin Palestina dan Israel serta dunia, khususnya Amerika dan Eropa serta Timur Tengah untuk segera membuka lembaran baru di dalam menjaga perdamaian di kawasan ini dengan menerapkan transisi kebijakan politik dan ekonomi pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan pada kebutuhan wilayah dan warga yang terdampak secara bertahap ataupun simultan.
Baca Juga: 10 Ciri Pemimpin yang Buruk
Langkah awal yang menjadi prioritas agar gencatan senjata ini efektif adalah menghormati kesepakatan yang telah diambil dan secara legowo, mengembalikan dan melepaskan wilayah pendudukan seraya menarik kembali pasukan Israel sesuai tuntutan internasional.
Hal ini juga telah digaungkan dan dilakukan oleh Indonesia dan dunia internasional seraya berkolaborasi dengan badan internasional (PBB) dan negara di kawasan konflik berupa pemberian bantuan internasional bagi kebutuhan pangan dan kesehatan warga Palestina yang terdampak dan terjebak dalam ancaman kelaparan dan penyakit.
Langkah selanjutnya juga yang harus segera dilakukan adalah rekonstruksi pembangunan infrastruktur serta segera membentuk dan memberikan akses kepada Pasukan Perdamaian Dunia untuk menjaga perdamaian di wilayah konflik tersebut.
Dengan kata lain, gencatan senjata tanpa tindakan pengembalian hak-hak bangsa Palestina dan mengajak warganya masing-masing untuk kembali ke wilayahnya masing-masing dan pembangunan infrastruktur, rehabilitasi warga terdampak serta pembentukan pasukan perdamaian di wilayah konflik, akan menjadi permasalahan kemanusiaan yang berkepanjangan. []
Baca Juga: Menjadi Da’i Beradab: Membangun Dakwah yang Berkah
Mi’raj News Agency (MINA)