DALAM kesibukan dunia yang kian berputar cepat, sering kali kita tidak menyadari bahwa sesuatu yang sangat berharga tengah hilang perlahan dari peradaban manusia: kehadiran sosok ayah dan ibu dalam kehidupan anak-anak mereka. Kehadiran yang dimaksud bukan sekadar wujud fisik di dalam rumah, melainkan pelukan hangat, pandangan penuh kasih, bimbingan yang sabar, dan teladan yang hidup.
Fenomena generasi fatherless dan motherless kini tak lagi menjadi sekadar istilah sosiologis, tetapi telah menjelma menjadi luka sosial yang menganga di berbagai penjuru dunia—termasuk di negeri kita sendiri.
Anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan tanpa kehadiran ayah atau ibu sering kali memikul beban yang tak terlihat oleh mata. Di balik tawa mereka yang kadang dipaksakan, tersimpan sunyi yang dalam, perasaan kehilangan yang bahkan tak bisa mereka jelaskan dengan kata.
Sebagian dari mereka mungkin tak pernah merasakan belaian tangan seorang ibu yang menyeka air mata mereka, atau pelukan ayah yang menenangkan saat takut dan bingung. Mereka besar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, dan luka-luka yang tak sembuh karena tak pernah betul-betul diobati.
Baca Juga: Refleksi HTTS 2025: Indonesia Darurat Konsumsi Rokok
Ketiadaan figur ayah atau ibu bisa terjadi karena berbagai sebab. Perceraian, kesibukan pekerjaan, gaya hidup modern, hingga pola asuh yang keliru. Namun yang paling menyedihkan adalah ketika ayah dan ibu sebenarnya ada, tetapi tidak benar-benar hadir. Mereka sibuk mengejar dunia di luar rumah, sementara anak-anak mereka merangkak mencari arti kasih sayang seorang diri.
Di era digital ini, rumah-rumah dipenuhi cahaya dari layar gadget, tetapi kosong dari cahaya cinta. Anak-anak tumbuh bersama suara YouTube dan TikTok, bukan bersama suara doa dan nasihat dari orang tua mereka.
Kita tak bisa menutup mata bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa figur orang tua yang utuh sangat rentan kehilangan arah. Mereka kesulitan memahami siapa diri mereka, untuk apa mereka hidup, dan ke mana mereka harus melangkah. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mencari pelarian di jalanan, dalam pergaulan bebas, narkoba, atau bahkan kekerasan.
Yang lain mungkin memilih membungkam diri, menarik diri dari dunia karena merasa tidak pernah cukup layak untuk dicintai. Mereka seperti bunga yang tumbuh di tanah tandus, mencoba mekar tetapi kekurangan air kehidupan bernama kasih sayang.
Baca Juga: Wisuda STISA Abdullah Bin Mas’ud, Spirit Regenerasi Kepemimpinan Berbasis Al-Qur’an
Peradaban besar tidak dibangun dari gedung tinggi dan teknologi canggih, melainkan dari keluarga-keluarga yang kuat dan penuh cinta. Ketika ayah dan ibu menghilang dari kehidupan anak-anak mereka, sesungguhnya yang hilang bukan hanya satu figur, tetapi satu generasi utuh yang kehilangan pondasi.
Di sinilah ancaman besar itu bermula. Sebab dari generasi yang retak emosinya, rusak moralnya, dan hampa jiwanya, bagaimana mungkin lahir pemimpin yang bijak, guru yang tulus, atau manusia yang peduli pada sesama?
Islam telah menegaskan betapa mulianya peran ayah dan ibu. Ayah adalah pemimpin dalam keluarga, pelindung dan pencari nafkah, tetapi juga pembimbing akhlak dan iman. Ibu adalah madrasah pertama, tempat di mana hati anak dibentuk, dan cinta pertama yang mengajarkan kelembutan serta ketabahan.
Jika keduanya absen, maka hilanglah dua mata air yang mengaliri kehidupan seorang anak sejak dini. Dan jika air itu kering, maka tak ada yang bisa menyuburkan akarnya agar tumbuh menjadi pohon kehidupan yang rindang dan bermanfaat.
Baca Juga: Inilah Siksaan Bagi Orang Yang Selingkuh: Peringatan Keras Dari Allah dan Rasul-Nya
Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa materi bisa menggantikan peran kehadiran. Kita memberikan anak fasilitas terbaik: sekolah mahal, mainan canggih, pakaian bermerek, dan liburan ke tempat mewah.
Namun sesungguhnya, anak tidak butuh semua itu jika tidak ada kebersamaan yang hangat, obrolan sederhana sebelum tidur, pelukan hangat di pagi hari, dan nasihat penuh cinta di setiap langkah hidupnya. Anak butuh kehadiran, bukan sekadar hadiah. Butuh perhatian, bukan sekadar pengawasan.
Mungkin saat ini kita tidak menyadari bahwa diam-diam, kita telah mendidik generasi yang terbiasa tanpa pelukan orang tua. Generasi yang lebih banyak belajar dari algoritma media sosial daripada dari kata-kata bijak ayah dan ibu.
Generasi yang tidak mengenal makna tanggung jawab, kasih sayang, dan pengorbanan karena tak pernah melihatnya dicontohkan di rumah sendiri. Kita sedang menciptakan anak-anak yang besar secara fisik, tetapi kerdil dalam jiwanya. Mereka tampak dewasa di luar, tetapi rapuh di dalam.
Baca Juga: Gaza, 601 Hari Genosida, Hancurnya Nurani Dunia
Adakah yang lebih menyedihkan dari melihat seorang anak menangis di ruang sunyi karena merindukan ayah yang tak pernah punya waktu, atau seorang remaja yang menatap kosong karena tak tahu bagaimana cara mencintai dirinya sendiri, sebab ia tak pernah dicintai sebagaimana mestinya?
Dunia kita sedang dipenuhi oleh anak-anak seperti itu. Mereka hidup di sekitar kita. Mereka adalah tetangga kita, murid-murid kita, bahkan mungkin anak kita sendiri. Dan mereka sedang menunggu seseorang untuk hadir, bukan untuk menggurui, tetapi untuk menemani mereka tumbuh dengan penuh cinta.
Ini bukan sekadar tangisan sosial. Ini adalah seruan hati nurani. Jika kita ingin melihat masa depan bangsa yang cerah, kita harus kembali memperbaiki keluarga. Bukan dengan slogan dan seminar, tetapi dengan kesadaran pribadi untuk hadir sebagai ayah dan ibu yang utuh.
Mari kita turunkan gawai kita saat di rumah, matikan televisi sebentar, dan mulailah berbicara dari hati ke hati dengan anak-anak kita. Tatap mata mereka, dengarkan cerita mereka, peluk mereka tanpa syarat. Jadilah orang tua yang diingat bukan karena kemarahan, tetapi karena kasih yang tak terhingga.
Baca Juga: Media Asing Ramai Bicarakan Pernyataan Presiden Prabowo Akan Akui Israel
Setiap pelukan yang kita berikan hari ini bisa menjadi perisai bagi mereka di masa depan. Setiap waktu yang kita luangkan akan menjadi kenangan yang membentuk karakter mereka. Dan setiap nasihat yang kita tanamkan dengan cinta akan tumbuh menjadi nilai yang mereka pegang seumur hidup. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi generasi tanpa ayah dan ibu, sebab jika itu terjadi, bukan hanya rumah tangga yang roboh, tapi seluruh peradaban akan runtuh bersama mereka.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia Siap Akui Israel?