BANGSA Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki warisan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, sopan santun, toleransi, religiositas, dan cinta tanah air. Nilai-nilai ini telah lama menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat sejak zaman nenek moyang. Namun, di tengah arus globalisasi yang deras, digitalisasi tanpa batas, serta krisis identitas budaya, muncul fenomena yang memprihatinkan: generasi muda yang semakin terasing dari nilai-nilai luhur bangsanya sendiri.
Fenomena keterasingan ini bukan sekadar persoalan moral semata, melainkan menjadi krisis identitas yang bisa berdampak jangka panjang terhadap keutuhan bangsa. Artikel ini akan membahas fenomena keterasingan generasi muda dari nilai-nilai luhur bangsa secara ilmiah dan populer, dengan mengkaji penyebab, dampak, serta strategi solusinya secara komprehensif.
1. Apa yang Dimaksud dengan Nilai-Nilai Luhur Bangsa?
Nilai luhur bangsa adalah prinsip-prinsip moral, sosial, dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan menjadi ciri khas suatu bangsa. Di Indonesia, nilai-nilai ini termanifestasi dalam Pancasila, adat istiadat lokal, serta ajaran agama dan kearifan lokal (local wisdom).
Baca Juga: Berniaga dengan Niat Lillah, Fondasi Bisnis Berkah
Beberapa contoh nilai luhur bangsa Indonesia antara lain: Gotong royong: Semangat kebersamaan dan saling membantu. Toleransi: Menghargai perbedaan agama, budaya, dan suku. Adab dan sopan santun: Menjaga etika dalam berperilaku. Cinta tanah air: Memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme. Religiusitas: Menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup.
Nilai-nilai tersebut bukan hanya normatif, tapi terbukti menjadi pengikat yang memperkuat persatuan dalam kemajemukan Indonesia.
2. Potret Generasi Muda Saat Ini
Generasi muda saat ini didominasi oleh Generasi Z (kelahiran 1997-2012) dan mulai disusul oleh Generasi Alpha (kelahiran 2013 ke atas). Mereka lahir dalam era digital, di mana akses informasi sangat luas, tetapi juga sangat rentan terhadap pengaruh negatif budaya asing. Menurut berbagai penelitian, pola pikir, cara belajar, serta gaya hidup generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya.
Baca Juga: Hari Pendidikan Nasional dan Konsep Pendidikan dalam Islam
Beberapa ciri khas generasi muda saat ini adalah: pertama, digital native: Lebih akrab dengan teknologi daripada interaksi sosial nyata. Kedua, kritis namun cenderung instan: suka mempertanyakan, namun kurang sabar dalam proses panjang. Ketiga, terbuka terhadap budaya global: namun seringkali kehilangan akar budaya lokal. Keempat, kurang literasi sejarah dan budaya nasional: tidak banyak mengenal tokoh dan peristiwa penting bangsa.
Kondisi ini tidak sepenuhnya buruk, namun menjadi alarm jika tidak diimbangi dengan pendidikan nilai dan penguatan identitas nasional.
3. Penyebab Terasingnya Generasi dari Nilai Luhur Bangsa
Keterasingan generasi muda dari nilai luhur bangsa disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait:
Baca Juga: Perjuangan Buruh Melawan Kebijakan Kerdil
a. Arus Globalisasi Budaya. Budaya asing masuk tanpa filter melalui media sosial, hiburan, game online, dan internet. Generasi muda lebih mengenal tokoh K-Pop atau YouTuber luar negeri daripada pahlawan nasional atau budayawan lokal.
b. Krisis Keteladanan. Minimnya figur publik atau pemimpin yang menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai luhur menyebabkan generasi muda kehilangan panutan yang bisa ditiru.
c. Pendidikan yang Cenderung Kognitif. Kurikulum pendidikan nasional lebih menekankan pada capaian akademik daripada pembentukan karakter. Nilai-nilai luhur seringkali hanya menjadi pelajaran hafalan, bukan pembiasaan.
d. Keluarga yang Kurang Menginternalisasi Nilai. Keluarga sebagai sekolah pertama seringkali gagal menjadi teladan dalam menanamkan nilai luhur karena kesibukan orang tua atau krisis keluarga.
Baca Juga: Melepas Dunia di Tanah Suci, Pelajaran Ikhlas dari Rangkaian Ibadah Haji
e. Media Sosial dan Disinformasi. Konten negatif yang viral di media sosial seringkali lebih berpengaruh dibandingkan ajaran-ajaran kebaikan. Media sosial juga memicu budaya instan dan superficial.
4. Dampak Sosial dan Budaya
Dampak dari keterasingan ini sangat nyata dalam berbagai aspek kehidupan:
a. Degradasi Moral. Meningkatnya perilaku menyimpang di kalangan remaja seperti perundungan, kekerasan, seks bebas, narkoba, dan ujaran kebencian menjadi indikator menurunnya nilai moral.
Baca Juga: Buruh dalam Perspektif Islam: Sejarah, Hak, dan Relevansinya di Era Modern
b. Krisis Nasionalisme. Minimnya kebanggaan terhadap Indonesia membuat generasi muda mudah terprovokasi, kehilangan semangat bela negara, bahkan enggan menggunakan produk lokal.
c. Kehilangan Akar Budaya. Banyak anak muda yang tidak mengenal bahasa daerah, tarian tradisional, atau sejarah perjuangan daerahnya sendiri. Hal ini melemahkan jati diri sebagai bagian dari bangsa.
d. Ketimpangan Sosial dan Individualisme. Nilai gotong royong mulai tergeser oleh sikap individualis dan materialistis, terutama di kota-kota besar. Solidaritas sosial pun makin menipis.
5. Perspektif Ilmiah dan Sosiologis
Baca Juga: Ukhuwah, Teras Kehidupan Berjama’ah yang Membawa Berkah
Dalam ilmu sosiologi, fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori anomi dari Emile Durkheim, yaitu keadaan di mana norma sosial melemah sehingga individu merasa tidak memiliki arah hidup yang jelas. Juga bisa dikaitkan dengan teori Cultural Lag dari William Ogburn, bahwa kemajuan teknologi tidak diikuti oleh kemajuan nilai dan moral, sehingga menimbulkan kesenjangan budaya.
Psikologi perkembangan juga mencatat bahwa remaja adalah masa pencarian identitas. Jika tidak dibekali dengan identitas nasional yang kuat, mereka akan cenderung mengambil identitas dari luar yang dianggap lebih “keren”.
6. Upaya Penguatan Nilai-Nilai Luhur Bangsa
Mengatasi keterasingan ini tidak bisa hanya dengan retorika atau slogan. Diperlukan strategi sistematis dan kolaboratif antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.
Baca Juga: Muasal Ijazah dalam Tradisi Islam, Simbol Harga Diri
a. Revitalisasi Pendidikan Karakter. Sekolah harus menjadi tempat pembentukan karakter, bukan sekadar tempat belajar akademik. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal harus diperkuat, tidak hanya dalam teori, tetapi dalam praktik keseharian.
b. Peran Keluarga sebagai Madrasah Pertama. Orang tua harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai sopan santun, kejujuran, tanggung jawab, dan cinta tanah air harus dibiasakan di rumah sejak dini.
c. Optimalisasi Media Sosial untuk Edukasi. Konten kreatif bernuansa kebangsaan dan nilai luhur perlu diperbanyak. Influencer dan content creator bisa menjadi agen perubahan dengan menyisipkan nilai-nilai kebaikan dalam karya mereka.
d. Pelestarian Budaya Lokal. Kegiatan seperti lomba budaya, festival daerah, dan pembelajaran bahasa lokal harus didorong agar generasi muda tetap terhubung dengan akar budayanya.
Baca Juga: Al-Quds dalam Catatan Sejarah Islam
e. Keteladanan Tokoh Masyarakat. Pemimpin, guru, artis, dan publik figur harus menunjukkan nilai luhur dalam tindakan nyata. Keteladanan memiliki kekuatan edukatif yang jauh lebih besar daripada kata-kata.
7. Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan Islam
Sebagai bangsa yang religius, peran pesantren, madrasah, dan lembaga keagamaan sangat strategis dalam membentuk karakter generasi muda. Pesantren dan Madrasah mengajarkan adab, tanggung jawab, serta nilai-nilai kemanusiaan universal yang sesuai dengan nilai luhur bangsa. Dakwah digital melalui media sosial yang dilakukan oleh ustaz dan da’i muda bisa menjadi penyeimbang dari konten negatif di dunia maya. Masjid sebagai pusat pembinaan moral perlu dihidupkan kembali sebagai pusat pendidikan dan sosial masyarakat.
8. Membangun Generasi Berkarakter Pancasila
Baca Juga: Ka’bah di Hati, Ketika Rindu Tak Terobati, Doa Tak Pernah Henti
Proyek besar bangsa ke depan adalah membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter mulia. Generasi Pancasila bukan generasi hafalan sila, tetapi generasi yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian, seperti: Berketuhanan dengan menjalankan ajaran agama, Berkemanusiaan dengan menghormati sesama, Bersatu dalam keberagaman, Berdemokrasi dengan etika, Berkeadilan dalam berbuat dan berbagi.
9. Studi Kasus Inspiratif
Beberapa sekolah dan komunitas di Indonesia sudah memulai program penguatan nilai-nilai luhur, seperti: Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM): Mendorong pembelajaran berbasis empati dan karakter, Komunitas Guru Penggerak: Mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam pembelajaran tematik dan juga Program Kelas Budaya di Sekolah: Mengenalkan kesenian dan kearifan lokal sebagai bagian dari kurikulum.
Akhirnya, masa depan Indonesia ditentukan oleh bagaimana generasi mudanya memahami, mencintai, dan menghidupi nilai-nilai luhur bangsanya. Keterasingan mereka dari nilai-nilai ini bukan hanya persoalan kesalahan mereka, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif semua elemen bangsa: orang tua, guru, pemimpin, content creator, tokoh agama, dan tentu saja negara.
Baca Juga: Menapaki Jejak Nabi, Haji Sebagai Perjalanan Jiwa Menuju Allah
Mengembalikan generasi muda kepada jati diri bangsa bukanlah hal mudah, tapi bukan pula hal mustahil. Dibutuhkan kesungguhan, keteladanan, dan kerja sama lintas sektor. Dengan menguatkan akar, membentengi nilai, dan mengarahkan langkah, generasi muda kita bisa kembali menjadi penjaga warisan luhur dan penerus peradaban Indonesia yang mulia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)