PENDIDIKAN adalah fondasi masa depan bangsa. Namun, apa yang terjadi ketika fondasi itu dikuasai oleh pemimpin rakus yang memikirkan uang dan kekuasaan semata? Anak-anak Indonesia, generasi penerus, bukan tumbuh dalam lingkungan yang memerdekakan potensi, tetapi dalam sistem yang serba dikomersialkan.
Sekolah seolah menjadi toko pendidikan, di mana nilai dan kualitas dibeli, bukan dibentuk. Buku, fasilitas, dan bahkan kesempatan belajar yang seharusnya menjadi hak semua anak kini terikat oleh kemampuan finansial orang tua.
Pemimpin yang rakus, dalam konteks ini, bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga kepala lembaga pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai ladang uang. Mereka lupa bahwa investasi terbaik sebuah bangsa adalah pendidikan, bukan rekening pribadi yang menumpuk.
Dampaknya nyata: anak-anak yang seharusnya berpotensi besar, justru terbentur oleh biaya tinggi, fasilitas terbatas, dan ketidakadilan. Generasi ini terpaksa menunda mimpi atau bahkan menyerah pada sistem yang korup dan serakah.
Baca Juga: Guru Membawa Cahaya, DPR Membawa Wacana
Dunia pendidikan Indonesia kini menjadi panggung kepentingan pribadi dan kelompok, bukan ruang yang menumbuhkan akhlak, ilmu, dan kreativitas. Anak-anak bukan lagi prioritas; prioritasnya adalah apa yang bisa diperoleh dari mereka secara finansial.
Bayangkan seorang guru berdedikasi, ingin membimbing murid dengan sepenuh hati, namun sistem mengekangnya. Ia dipaksa mengikuti birokrasi yang lebih menghargai uang daripada kualitas pendidikan. Mereka menjadi saksi bagaimana generasi terjual oleh keserakahan.
Saat nilai akademik diukur dari biaya yang dikeluarkan, bukan usaha dan potensi siswa, maka lahirlah ketidakadilan yang melemahkan bangsa. Anak pintar dari keluarga sederhana dipinggirkan, sementara mereka yang mampu membayar mahal mendapatkan fasilitas berlebih.
Pendidikan seharusnya menjadi alat pemberdayaan dan kebebasan berpikir, bukan sarana memperkaya segelintir orang. Namun, ketika rakus memimpin, kreativitas dan moral generasi muda tersekat dalam sistem yang mementingkan uang.
Baca Juga: Anak Asuh FDP Diterima di Madrasah Mustafawiyah Kedah Malaysia
Lebih menyedihkan lagi, generasi yang terjual ini seringkali tidak menyadari bahwa haknya dicurangi. Mereka tumbuh dengan rasa frustrasi, menganggap dunia pendidikan memang seperti itu, tanpa menaruh harapan besar pada perubahan.
Media sosial pun menjadi saksi bagaimana kesenjangan ini diperlebar. Anak-anak dari keluarga mampu memamerkan prestasi dan fasilitas, sementara mereka yang berbakat tapi miskin tersembunyi di balik statistik yang tidak terlihat.
Namun ada harapan: kesadaran kolektif bisa menjadi senjata perlawanan terhadap kepemimpinan rakus. Orang tua, guru, dan aktivis pendidikan dapat menuntut transparansi, memperjuangkan akses pendidikan adil, dan membangun sistem berbasis nilai, bukan uang.
Generasi ini masih bisa diselamatkan jika setiap elemen masyarakat berani menolak praktik komersialisasi pendidikan. Pendidikan adalah hak, bukan komoditas; anak-anak adalah investasi bangsa, bukan sumber keuntungan.
Baca Juga: Membesarkan Anak Saleh di Tengah Kiamat Moral
Provokasi positif diperlukan: mari kita menyadarkan pemimpin dan masyarakat bahwa setiap rupiah yang dipakai untuk memperkaya diri sendiri di dunia pendidikan adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Anak-anak Indonesia bukan untuk dijual, tapi untuk dibimbing, dicerdaskan, dan dibebaskan potensinya.
Generasi yang terjual hari ini bisa menjadi generasi pembebas esok hari, asalkan ada keberanian, kesadaran, dan aksi nyata. Pendidikan Indonesia harus kembali menjadi ladang ilmu dan moral, bukan ladang keserakahan. Masa depan bangsa bergantung pada siapa yang memegang kendali pendidikan—bukan yang rakus, tetapi yang peduli.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Guru: Pelita Bangsa yang Belum Merdeka dari Gelap Perjuangan