Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Genosida terhadap Pendidikan dan Kebudayaan di Gaza

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 12 jam yang lalu

12 jam yang lalu

1 Views

Kondisi Universitas Al-Aqsa Gaza. (Anadolu Agency)

“Bagi rakyat Palestina, pendidikan bukan sekadar hak, tetapi bentuk perlawanan, sarana untuk menegaskan identitas, melestarikan budaya, dan memperjuangkan kebebasan,” demikian kata Hanan Ashrawi, legislator, aktivis, dan cendekiawan Palestina.

Tujuan genosida bukan hanya untuk memusnahkan populasi, tetapi juga untuk menghancurkan masa depannya, merobohkan generasi demi generasi untuk menghapus budaya, tradisi, dan identitas mereka.

Karena itu, pendidikan merupakan salah satu bentuk perlawanan tertinggi terhadap penghancuran masa depan generasi.Sebab, pendidikan itu memberdayakan, menginspirasi, dan memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan martabat, masa lalu, dan masa depan mereka.

Meskipun menghadapi tantangan ekstrem berupa pendudukan, blokade, dan pembersihan etnis selama puluhan tahun, warga Palestina sangat menghargai pendidikan.

Baca Juga: Refleksi Hari Santri 2024, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan

Menurut Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS), tingkat literasi orang dewasa secara keseluruhan di Palestina (untuk orang berusia 15 tahun ke atas) lebih dari 97%.

Dan dalam hal pendidikan tinggi, sebagian besar penduduk menempuh pendidikan universitas, dengan sekitar 30-35% warga Palestina berusia 18-24 tahun mendaftar di pendidikan tinggi.

Sebagai perbandingan, tingkat pendaftaran universitas untuk kelompok usia yang sama di Amerika Serikat adalah 39% pada tahun 2022.

Penghancuran Infrastruktur Pendidikan

Baca Juga: Mengapa Pengadilan Kriminal Internasional Belum Tangkap Netanyahu?

Menurut laporan Badan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Children’s Fund/UNICEF), sebanyak 80% bangunan sekolah di Jalur Gaza hancur. Selain itu, lebih dari 500 siswa dan guru gugur sebagai syuhada, dan lebih dari 650.000 anak-anak usia sekolah, tidak dapat belajar lagi di sekolah.

Pakar PBB memperingatkan adanya “pendidikan/">genosida pendidikan(educational genocide) di Jalur Gaza.

“Serangan kejam yang terus-menerus terhadap infrastruktur pendidikan di Jalur Gaza memiliki dampak jangka panjang yang menghancurkan hak-hak dasar warga untuk belajar dan mengekspresikan diri secara bebas. Sehingga merampas masa depan generasi Palestina,” kata para pakar PBB.

“Dengan lebih dari 80% sekolah di Gaza rusak atau hancur, masuk akal untuk bertanya apakah ada upaya yang disengaja untuk menghancurkan sistem pendidikan Palestina secara komprehensif. Sebuah tindakan yang dikenal sebagai pendidikan/">genosida pendidikan,” kata para pakar independen.

Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Jangan Pernah Berhenti Menuntut Ilmu

pendidikan/">Genosida pendidikan” mengacu pada penghapusan pendidikan secara sistematis melalui penangkapan, penahanan, atau pembunuhan guru, siswa dan staf, serta penghancuran infrastruktur pendidikan, menurut PBB.

Selain itu, sejumlah 195 situs warisan budaya juga telah dihancurkan atau dirusak oleh pasukan Zionis Israel, termasuk Arsip Pusat Gaza, yang berisi file-file bernilai 150 tahun sejarah.

Militer Zionis Israel dalam klaimnya menyebutkan, bahwa kelompok bersenjata Hamas “menggunakan konferensi universitas untuk mengumpulkan dana bagi terorisme” dan bahwa universitas tersebut “mempertahankan hubungan dekat dengan pimpinan senior Hamas”.

Militer juga menuduh, “Universitas digunakan sebagai kamp pelatihan Hamas untuk operasi intelijen militer, serta untuk pengembangan dan produksi senjata.”

Baca Juga: Lima Kader Muhammadiyah Perkuat Kabinet Merah Putih

Korban lainnya, 13 perpustakaan umum dirusak atau dihancurkan, dan Universitas Al-Isra, universitas terakhir yang tersisa di Gaza, diledakkan pada tanggal 17 Januari 2024.  Belum lagi sebanyak 227 masjid dan 3 gereja diterjang bom.

Sekolah-sekolah PBB yang dipandang sebagai tempat teraman bagi warga sipil, kini pun harus menampung warga sipil yang terpaksa mengungsi. Sehingga tidak bisa lagi dugunakan untuk tempat belajar mengajar. Termasuk di daerah-daerah yang dikatakan aman oleh tentara Israel. Namun “zona aman: itu sudah tidak aman lagi karena mengalami serangan membabi buta juga dari pasukan Zionis Israel.

Pakar independen menekankan bahwa serangan-serangan Israel memang mewakili pola kekerasan sistematis yang bertujuan untuk meruntuhkan fondasi masyarakat Palestina.

“Ketika sekolah dihancurkan, harapan dan impian juga hancur,” ujar pakar pendidikan.

Baca Juga: Di Manakah Jenazah Yahya Al-Sinwar?

Para pakar juga mengatakan, mereka sama-sama merasa ngeri dengan hancurnya sektor budaya di Jalur Gaza, melalui penghancuran perpustakaan dan situs warisan budaya lainnya.

“Pondasi masyarakat Palestina sedang direduksi menjadi puing-puing, dan sejarahnya sedang terhapus. Serangan terhadap pendidikan tidak bisa ditoleransi. Komunitas internasional harus mengirimkan pesan yang jelas bahwa mereka yang menargetkan sekolah dan universitas akan dimintai pertanggungjawabannya,” lanjut para pakar.

Hancurnya Pendidikan Tinggi

Laporan Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med menambahkan, serangan militer Zionis Israel ke Jalur Gaza telah menewaskan 3 rektor universitas, bersama dengan lebih dari 95 dosen (68 di antaranya menyandang gelar profesor).

Baca Juga: Pembunuhan Sinwar “Secara Tidak Sengaja”

Sementara itu, 88.000 mahasiswa tidak dapat menerima pendidikan perguruan tinggi mereka, dan 555 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa internasional tertunda melakukan studinya ke luar negeri karena dampak perang tersebut.

Sementara itu, beberapa perguruan tinggi di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat ditutup sementara, dan beralih ke pendidikan jarak jauh (online).

Organisasi hak asasi manusia Euro-Med menambahkan laporan, 5 dari 6 universitas di Jalur Gaza telah hancur seluruhnya atau sebagian.

Bahkan pasukan Israel sempat menjadikan universitas Al-Isra menjadi barak militer dan pusat penahanan.

Baca Juga: Bullying dan Peran Komite Sekolah

Gedung, perpustakaan, dan laboratorium Universitas Al-Isra semuanya hancur oleh serangan Israel pada tanggal 17 Januari 2024. Termasuk masjid internal kampus, dan seluruh isinya dijarah.

Museum Nasional yang terletak di Kompleks Kampus Al-Isra dan menyimpan lebih dari 3.000 barang antik langka di bawah lisensi Kementerian Purbakala Palestina, juga hancur, rata dengan tanah.

Menurut pihak administrasi kampus, barang-barang antik tersebut diyakini telah dicuri oleh tentara Israel.

Markas utama Universitas Al-Azhar di Kota Gaza dan cabangnya di kawasan Al-Mughraqa, juga hancur total, oleh serangan udara Israel yang berulang kali pada 11 Oktober, 4 November, dan 21 November 2023.

Baca Juga: Yahya Sinwar “Tidak Mati”

Universitas Al-Quds juga mengalami kehancuran besar, setelah tentara Israel menyerbu kampus tersebut pada tanggal 15 November 2023.

Universitas Islam Gaza (UIG) juga termasuk hancur total oleh serangan udara Israel yang intens pada tanggal 11 Oktober 2023. Kerusakan signifikan di UIG terjadi pada gedung Fakultas Sains Universitas, gedung Dekan Pengabdian Masyarakat dan Pendidikan Berkelanjutan, serta gedung Fakultas Teknologi Informasi.

Termasuk kerusakan pada perabotan gedung, laboratorium, dan peralatan. Termasuk masjid kampus juga dihancurkan. Sungguh pendidikan/">genosida pendidikan yang nyata di hadapan mata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional, yang katanya menjunjung hak-hak asasi manusia.

Tentara Israel juga melancarkan beberapa serangan udara terhadap Universitas Al-Rabat di Kota Gaza pada tanggal 9 Oktober 2023.

Baca Juga: Selamat Datang Implementasi Wajib Sertifikat Halal

Menurut perkiraan Dana Moneter Internasional, 70% perguruan tinggi di Jalur Gaza telah hancur, dengan kerugian ditaksir mencapai $720 juta USD (lebih dari Rp 11,6 triliun).

Kejahatan Perang yang Harus Diakhiri

Menurut Konvensi Jenewa dan Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional, Israel telah melakukan kejahatan perang yang merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Kejahatan-kejahatan ini mencakup penghancuran secara luas dan disengaja terhadap bangunan-bangunan yang diperuntukkan bagi tujuan pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, dan keagamaan, serta monumen bersejarah.

Baca Juga: Zionis Terus Nodai Masjidil Aqsa di Tengah Perang

Ini jelas melanggar aturan hukum internasional yang melarang serangan terhadap tempat ibadah.

Euro-Med Human Rights Monitor menekankan bahwa tindakan Israel telah membuat Jalur Gaza tidak bisa dihuni oleh warganya. Bahkan pasukan Zionis Israel secara paksa dan bertahap mengusir warga Palestina.

Tragedi Nakbah yang kembali terulang, sebuah peristiwa pengusiran dan pembunuhan warga Palestina oleh pendudukan Israel pada tanggal 15 Mei 1948, persis satu hari setelah zionis mengumumkan pendirian ‘Negara Israel’ di wilayah pendudukan Palestina, pada 14 Mei 1948.

Bagi warga Palestina, tentu pengalaman traumatis Nakba Day yang dialami nenek moyang mereka pada tahun 1948, tentu tak kan terlupakan, dan berharap jangan terulang lagi.

Peristiwa tragis ketika milisi dan tentara Israel yang baru dibentuk saat itu menghancurkan lebih dari 500 desa dan kota di Palestina. Ribuan orang terbunuh, dan lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari tanah airnya sendiri, dan terpaksa mengungsi ke berbagai tempat di kamp pengungsian di wilayah Palestina dan diaspora ke mancanegara.

Warga Palestina yang mengungsi pada tahun 1948, hingga kini tidak pernah bisa kembali lagi ke kampung atau kota kelahirannya.

Kini tentu menjadi tanggung jawab keagamaan dan kemanusiaan bagi seluruh warga dunia untuk terus meningkatkan komitmennya mendanai dan membangun kembali sistem pendidikan dan warisan budaya di Gaza dari kehancuran pendidikan/">genosida pendidikan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan dari pimpinan Universitas Islam Gaza, yang meminta semua lembaga, organisasi, dan badan internasional “untuk segera campur tangan, dan bekerja keras melindungi lembaga yang melayani semua orang Palestina dari serangan” dan “bekerja segera untuk menjamin hak mahasiswa atas pendidikan yang aman”.

Universitas Islam Gaza merupakan anggota dari beberapa asosiasi dan jaringan pendidikan tinggi regional dan internasional, termasuk Asosiasi Universitas Internasional, Persatuan Universitas Mediterania, Asosiasi Universitas Arab, Federasi Universitas Dunia Islam, dan Jaringan Universitas Global untuk Inovasi.

Namun demikian, dalam kondisi hancur, Universitas Islam Gaza, lembaga pendidikan tertua di Gaza, didirikan pada tahun 1978, tetap menyelenggarakan kelasnya di tenda-tenda. Pada tahun 2023, universitas ini telah memiliki lebih dari 17.000 mahasiswa.

Tentu yang lebih besar lagi adalah untuk terus mendukung perjuangan Palestina sampai bebas dari belenggu penjajahan Zionis Israel, dan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat sejajar dengan negara-negara lainnya.

Wabil khusus merdeka dalam menjalankan roda pendidikan bagi warganya, yang akan mendongkrak secara langsung atau tidak langsung pendidikan secara global. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Internasional
Palestina
Palestina