Gerakan Yerusalem AS adalah “Resmi Narasi Israel”

Kota Yerusalem/Al-Quds (Foto: File)

Pengakuan Presiden (AS) Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel menandakan “adopsi narasi Israel secara resmi”. Pandangan itu dinyatakan oleh seorang anggota terkemuka Knesset dari etnis Arab Palestina, Ahmad Tibi.

Tibi mengatakannya sepekan setelah Washington membenarkan bahwa mereka akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Al Quds Kota Suci (Yerusalem) pada pertengahan Mei 2018.

“Unsur paling berbahaya dari keputusan Trump terkait kedutaan adalah bahwa mereka mengatakan, Israel memiliki hak untuk memutuskan di mana ibukotanya, hanya karena parlemen dan Mahkamah Agung ada di sana. Ini adalah adopsi resmi narasi Israel,” kata Tibi pada sebuah konferensi hari Sabtu, 3 Maret 2018, di London dengan tema “Apakah Presiden Trump Melegalisasi Pendudukan?”.

Trump mengirim gelombang kejut ke seluruh dunia setelah mengumumkan pada 6 Desember  2017, dia mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Ia juga berjanji untuk memindahkan kedutaan AS ke kota tersebut.

Padahal sebelumnya, Wakil Presiden AS Mike Pence mengklaim bahwa pemindahan kedutaan tersebut akan dilakukan pada 2019, tapi Departemen Luar Negeri AS mengatakan tanggal 23 Februari lalu, relokasi tersebut akan terjadi pada 14 Mei 2018, bertepatan dengan peringatan 70 tahun deklarasi kemerdekaan Israel.

Pengumuman itu dilihat sebagai provokasi.

Orang-orang Palestina menandai 15 Mei sebagai Hari Nakba, atau “malapetaka”, saat mereka memperingati pemindahan massa orang-orang Palestina yang memberi jalan bagi terbentuknya negara Israel.

Departemen Luar Negeri AS menambahkan, perluasan kedutaan besar akan berlangsung pada akhir 2019. Langkah ini membalikkan dekade kebijakan luar negeri AS.

AS tidak bisa jadi mediator dalam konflik

Pada konferensi London yang diselenggarakan oleh Middle East Monitor (MEMO), politisi, aktivis dan akademisi itu, berulang kali mencatat tentang konsekuensi tragis dari pergerakan Trump.

Keputusan AS telah mendorong demonstrasi mematikan di Palestina dan demonstrasi solidaritas di seluruh dunia.

Tibi menolak klaim Trump untuk menyusun “kesepakatan akhir” dalam konflik yang telah berlangsung lama, dengan mengatakan bahwa sudah jelas AS tidak dapat lagi dianggap sebagai mediator yang tepat.

“Dikatakan kepada orang-orang Israel, ‘Anda dapat memiliki semuanya’, dan dikatakan kepada orang-orang Palestina, ‘Anda tidak dapat memiliki apa pun’, berarti tidak akan ada kesepakatan. Ada standar ganda yang berarti AS tidak dapat menjadi perantara dalam konflik,” kata Tibi.

Keputusan Trump juga gagal menyelesaikan masalah yang menonjol dalam konflik tersebut, seperti kembalinya pengungsi Palestina.

Pembicara lainnya menggemakan sentimen Tibi dengan mengatakan, langkah tersebut menyoroti dinamika kekuatan yang tidak setara antara Israel dan Palestina.

“Kami tidak pernah melakukan negosiasi yang nyata (dengan Israel), karena perundingan tidak dapat dilakukan dalam hubungan kekuasaan yang tidak simetris,” kata Manuel Hassassian, perwakilan diplomatik Otoritas Palestina untuk Inggris Raya.

Profesor Nicolas Boeglin, perwira proyek di Institut Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia, menyarankan agar masih ada jalan hukum bagi masyarakat internasional untuk menantang keputusan Trump tersebut, dengan mendorong pengakuan Palestina sebagai sebuah negara, dan meminta tanggapan hukum atas tindakan Trump di Pengadilan Internasional.

“Waktunya telah tiba untuk melakukan lebih dari sekedar menulis satu komunike yang mengutuk keputusan tersebut. Kami berutang kepada rakyat Palestina, terlalu banyak waktu yang berlalu tanpa sebuah resolusi,” kata Profesor.

Kunjungan Pangeran Inggris ke Israel dikecam

Para pembicara sepakat bahwa perkembangan itu berawal dari kegagalan proses perdamaian Oslo.

Sementara itu, pengumuman 1 Maret dari Pemerintah Inggris menyebutkan, Pangeran William akan melakukan kunjungan Kerajaan pertama ke Israel pada musim panas. Rencana itu membuat delegasi Palestina mengungkapkan kemarahannya dalam acara di London tersebut.

Ghada Karmi, seorang aktivis, akademisi dan penulis terkemuka Palestina mengatakan di acara itu, “terasa seperti persetujuan dari Deklarasi Balfour 1917”, terutama karena kunjungan Pangeran akan berlangsung tak lama setelah pemindahan .

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut baik kabar kunjungan tersebut. Ia menulis di Twitter bahwa Pangeran William akan disambut dengan “kasih sayang yang besar”.

Warisan peran Inggris di Palestina juga disorot oleh Sami Abu Shehadeh, Kepala Eksekutif Gerakan Pemuda Yaffa.

“Pernyataan Trump di Yerusalem tidak akan sepenting itu tanpa konteks historis kolonialisme Inggris di Palestina dan Deklarasi Balfour,” katanya. (AT/RI-1/RS1)

 

Sumber: tulisan Aliya Al Ghussain di Al Jazeera.

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.