Yerusalem, MINA – Para pemimpin gereja Kristen di Yerusalem menyuarakan keprihatinan atas kemungkinan rencana Inggris untuk memindahkan Kedutaan Besarnya di ‘Israel’ dari Tel Aviv ke kota suci Yerusalem.
Dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Qudsn pada Selasa (11/10), Dewan Leluhur dan Kepala Gereja di Yerusalem mengatakan, pihaknya mencatat dengan keprihatinan serius atas seruan Perdana Menteri baru Inggris Liz Truss untuk meninjau lokasi kedutaan.
Kepala gereja Yerusalem memperingatkan pemindahan kedutaan Inggris “akan sangat merusak prinsip kunci inti, dan negosiasi politik yang ingin dicapai.”
Dewan Leluhur dan Kepala Gereja di Yerusalem mewakili semua denominasi di kota itu, yang merupakan rumah bagi situs tersuci dalam agama Kristen.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Dewan memperingatkan bahwa kemungkinan relokasi kedutaan akan merusak status khusus Yerusalem dan menggagalkan setiap negosiasi politik yang bertujuan untuk memajukan perdamaian.
“Status Quo religius di Yerusalem sangat penting untuk menjaga keharmonisan Kota Suci kita dan hubungan baik antara komunitas agama di seluruh dunia,” kata dewan tersebut.
Sekitar dua minggu yang lalu, Truss dan menteri kabinet lainnya menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh CFI pada konferensi tahunan partai yang berkuasa di Birmingham.
Ia mengatakan kepada hadirin bahwa dia adalah “Seorang Zionis dan pendukung besar Israel”, dan berjanji dia akan mengambil keputusan dalam Hubungan Inggris-Israel.
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Perdana Menteri Inggris Liz Truss juga bulan lalu mengatakan kepada mitranya dari Israel Yair Lapid “tentang ulasannya terkait lokasi kedutaan Inggris saat ini di Israel”.
Pengumuman itu meningkatkan prospek London mengikuti langkah Washington di bawah mantan presiden Donald Trump, yang pada 2018 memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. (T/R6/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon