Oleh Dr. Legisan Samtafsir, Pendiri Rumah Al-Balad
Kejayaan suatu bangsa karena kekayaan alamnya? Tidak. Bahkan banyak bangsa kaya sumber daya alam tetapi terkena kutukan sumber daya alam. Alamnya kaya tapi rakyatnya miskin, penuh ketidakadilan dan konflik. Bahkan banyak negara miskin sumber alam, menjadi maju, modern dan sejahtera melampaui negara-negara yang kaya sumber alam.
Atau karena sumber daya manusianya? Tidak. Karena tidak ada rakyat banyak yang tiba-tiba cerdas, kreatif, inovatif, kerja keras dan sempurna kapabilitasnya. SDM selalu berproses dan bertansfrormasi. Maka bukan pada SDM nya tapi pada proses transformasinya.
Lalu karena apanya? Apakah karena agama yang dianutnya ? Tidak juga. Karena kemajuan materi dunia modern saat ini, dipisahkan dari anasir keagamaan. Agama dipandang sebagai urusan pribadi, dan bukan modal pembangunan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Hal yang paling mendekati sebab utama kejayaan dan ketertinggalan suatu bangsa dan negara, tidak lain adalah kepemimpinan nasional dan politik pembangunannya.
Kepemimpinan Nasional
Lihatlah Kaisar Meiji dalam melakukan restorasi, mengubah Jepang yang tertutup dan konflik saudara, menjadi negara yang mampu sejajar dengan Eropa dan Amerika.
Lihatlah Park Chung He mengubah Korea Selatan yang miskin setelah dijajah Jepang, menjadi bangsa yang penuh percaya diri, menjadi eksportir baja, mobil, elektronik, berkelas dunia.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Lihatlah Mahathir, lihatlah Lee Kuan Yu, Deng Xiaoping, yang mengubah negerinya dan memobilisasi rakyatnya untuk mampu tumbuh menjadi bangsa yang semakin sejahtera.
Indonesia sudah 7 presiden selama 76 tahun. Perkapita memang meningkat dari US$80 tahun 1960 menjadi US$4000 tahun 2021. Tetapi jauh tertinggal dibanding China yang sudah mencapai US$10000, padahal 28 tahun sebelumnya 2 kali lebih miskin. Atau dari Korea Selatan yang sudah US$35000.
Ketujuh presiden Indonesia belum juga mampu memobilisasi potensi kekayaan alam Indonesia untuk menjadi bangsa yang hebat, damai dan sejahtera, sejajar dengan bangsa yang maju lainnya.
Kepemimpinan adalah kemampuan mengorkestrasi potensi bangsa, yaitu dengan membangun MISI dan VISI bersama seluruh rakyat, lalu MEMOBILISASInya menjadi kekuatan yang transformatif dan PARTISIPATIF, sehingga tercipta pertumbuhan yang BERKEADILAN bagi seluruh rakyat.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Kepemimpinan yang efektif adalah kemampuan menghasilkan pertumbuhan yang tinggi, secara berkelanjutan, sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan meningkat pesat.
Otokritik terhadap pemimpin nasional Indonesia sejauh ini menunjukkan kapasitas dan integritas yang belum mencukupi.
Dalam berbagai lobby dengan kekuatan global, tampak pemimpin Indonesia belum mampu menunjukkan kedaulatannya untuk melindungi domestiknya dari kekuatan asing yang destruktif. Intervensi dan tekanan kekuatan global selalu menghasilkan keputusan yang melemahkan fondasi kekuatan Indonesia, baik terkait perdagangan internasional, penanaman modal asing dan pinjaman luar negeri, maupun terkait keamanan dan ketertiban dunia.
Ke depan kita mesti dan harus memiliki pemimpin nasional yang mampu dan berdaulat untuk melindungi domestik kita dari kekuatan asing yang destruktif.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Pemimpin yang kita harapkan itu juga mestilah yang mampu menegakkan keadilan di dalam negeri, baik keadilan distributif maupun keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah amanah negara untuk menciptakan kehidupan yang adil, makmur, sejahtera, bagi sebanyak2nya rakyat, bukan segolongan kecil elit dengan kekayaan yang berlimpah.
Sedangkan keadilan komutatif adalah amanah negara untuk menegakkan hukum yang adil, sehingga tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah, tetapi berkeadilan bagi semua.
Politik Pembangunan
Integrasi suatu bangsa kepada pasar global, bisa menjadi malapetaka jika tidak dalam posisi dan strategi yang tepat.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Indonesia adalah negara yang mendapat malapetaka dalam integrasi tersebut, bahkan sudah berlangsung sejak VOC dan Belanda datang, mengobok-obok kekayaan Indonesia, dan merampasnya untuk kepentingan mereka.
Anehnya, hal tersebut masih terus berlanjut hingga 2022 ini. Ekstraksi surplus dari proses produksi dalam skala agregat, justru mengalir ke negara-negara maju. Kekayaan alam Indonesia tidak dapat mensejahterakan rakyat, malah sebaliknya mensejahterakan rakyat di negara lain.
Rezim pemerintah Indonesia lebih memilih jalur sempit berasosiasi dengan pasar global, sebagai supplier bahan mentah dan sekaligus pasar bagi produk jadi negara lain. Akibatnya Indonesia tidak memiliki industri mandiri yang berkelanjutan, karena ketergantungannya pada teknologi asing.
Dengan perdagangan internasional yang asosiatif, menyebabkan Indonesia cukup puas dengan mengekspor bahan baku dan menikmati hasil jadi produk luar. Industri alat berat, teknologi canggih, elektronik, perkakas rumah tangga, otomotif, sangat tergantung pada pihak asing, dan tidak memiliki produk sendiri.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Ancaman deindustrialisasi, pengangguran, kelangkaan bahan alam dan ketidakmampuan untuk melakukan riset pada semua sektor industri, membuat Indonesia rentan dan lamban.
Penanaman modal asing di Indonesia yang tidak diikuti oleh atau minimnya spill over effect, atau efek limpahan teknologi dan pengetahuan, menyebabkan PMA tersebut berpotensi menggerus surplus mengalir keluar dan masyarakat semakin terjajah secara terus menerus (terus menjadi kuli/jongos) di negeri sendiri.
Mobilisasi utang luar negeri yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan, akan dan telah bahkan terus menyedot surplus dalam negeri untuk membayar bunga ke kreditur asing. Dan ini akan menyedot anggaran pemerintah, yang seharusnya dialokasikan untuk menolong rakyat miskin yang marginal, pendidikan, untuk berinvestasi pada industri yang memiliki multiplier effect bagi penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat.
Kepemimpinan nasional yang efektif dan politik pembangunan yang lebih bersifat disosiatif (terbuka secara selektif) adalah kunci kejayaan Indonesia masa depan. indonesia/">GREATNESS INDONESIA adalah blue print untuk kepemimpinan nasional dan politik pembangunan disosiatif tersebut. Wallahu a’lam.(AK/R1/P2)
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim