Bogor, MINA – South East Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), IPB University bekerjasama dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University dan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) menggelar Food Ingredient Asia Conference (FiAC) ke-6 secara daring pada Rabu – Jumat (14-16/10).
Dr Azis Boing Sitanggang dalam sambutannya mengatakan, FiAC merupakan wadah untuk mendiseminasikan dan mendiskusikan hasil penelitian dan isu terkini terkait pangan di Indonesia dan dunia.
Sementara itu Kepala LPPM IPB University, Dr Ernan Rustiadi mengungkapkan, populasi dunia yang terus bertambah seiring dengan terbatasnya lahan produktif merupakan tantangan bagi ketahanan pangan dunia, demikian keterangan resmi IPB yang diterima MINA, Jumat (16/10).
“Ini harus diatasi dengan meningkatkan produktivitas lahan yang tersedia, meminimalkan food loss, serta mengelola konsumsi pangan substansial yang berkelanjutan,” ujarnya.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Sementara, Prof Dr Purwiyatno Hariyadi, Guru Besar IPB University dalam paparannya menerangkan tentang potensi kelapa sawit nasional. Menurutnya, kelapa sawit memiliki potensi dalam mendukung terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs). Terlebih Indonesia merupakan tempat produsen kelapa sawit.
“Produktivitas kelapa sawit sangat tinggi, dapat menghasilkan minyak nabati mencapai delapan ton per hektar per tahun. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan minyak dari kedelai dan biji bunga matahari yang hanya mampu menghasilkan 0,4 ton dan 0,5 ton minyak per hektarnya,” jelas Prof Purwiyatno.
Kelapa sawit juga memiliki umur produktif mencapai 25 tahun dengan biaya produksi relatif lebih murah. Prof Hariyadi melanjutkan, berdasarkan data yang dihimpun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sepanjang tahun 2019 produksi minyak sawit Indonesia mencapai 51,8 ton Crude palm oil (CPO). Jumlah ini 9 persen lebih tinggi dari produksi tahun 2018.
Hal tersebut, katanya, menjadikan Indonesia layak disebut sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Dengan pertumbuhan populasi dan ekonomi dunia, permintaan terhadap minyak nabati selama satu dekade ke depan akan terus meningkat.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
“Komoditas minyak kelapa sawit telah bertumbuh secara kuat menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 1,5 sampai 2,5 persen. Ini yang menjadikan pemerintah Indonesia menjadikan kelapa sawit sebagai faktor kunci perekonomian,” tambahnya.
Tidak hanya sebagai penghasil devisa, kelapa sawit juga berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat, termasuk kualitas pendidikan dan kesehatan. Karenanya, tak bisa dipungkiri bahwa minyak kelapa sawit memainkan peran yang signifikan dalam mencapai target SDGs.
Namun demikian, perlu beberapa strategi untuk menjawab berbagai tantangan seperti aspek keamanan pangan dan risiko kesehatan. Faktanya, sebanyak 85 persen minyak kelapa sawit digunakan untuk memasak makanan. Oleh karena itu, perlu dipastikan keamanan secara keseluruhan rantai pasoknya sejak tahapan produksi hingga akhir.
Prof Hariadi juga menegaskan, Indonesia perlu membangun kegiatan riset dan pengembangan agar menghasilkan nilai komposisi kelapa sawit yang lebih tinggi dan berkualitas. Termasuk minyak yang bebas lemak trans dan kaya akan fitonutrien.
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Dalam kegiatan ini juga turut hadir sebagai pembicara Dr Emmanuel Hatzakis, (Ohio State University, USA), Prof Dr Michael Murkovic (Graz University of Technology, Austria). Di hari kedua, kegiatan diisi oleh Dr Dede Adawiyah (IPB University), Dr-Ing Dase Hunaefi (IPB University), Prof Dr Lilis Nuraida (SEAFAST Center IPB University), Prof Dr Chin-Kun Wang (Chung Shan Medical University, Taiwan) dan ditutup oleh Prof Dr Umar Santoso (President of IAFT/PATPI). (R/R1/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September