Jakarta, MINA – Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dyah Kumalasari, mengungkapkan pentingnya memahami sejarah sebagai kunci dalam melihat persoalan Palestina dan Israel. Hal ini disampaikannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Aqsa Working Group (AWG) yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Al Jamaah TV, Ahad (4/5).
Dalam pemaparannya, Dyah Kumalasari menjelaskan bahwa keberhasilan Zionis mendirikan negara Israel pada 1948 merupakan hasil strategi panjang dan sistematis yang dijalankan sejak akhir abad ke-19.
“Banyak orang saat ini tidak tahu bahwa semua ini berawal dari gerakan politik yang sangat terorganisir, bukan hanya karena konflik,” jelasnya.
Zionisme modern dipelopori oleh Theodor Herzl sebagai respon terhadap maraknya antisemitisme di Eropa. Herzl menggagas pendirian negara Yahudi melalui konferensi dan diplomasi internasional. Zionis melakukan berbagai langkah, mulai dari diplomasi, penggalangan dana internasional, pembangunan infrastruktur sosial di Palestina, hingga kebangkitan bahasa Ibrani sebagai identitas nasional.
Baca Juga: Jamaah Haji Indonesia Diminta Simpan Alamat Hotel dan Manfaatkan Waktu di Masjid Nabawi
Dukungan Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917, serta simpati global setelah tragedi Holocaust menjadi faktor kunci eksternal yang membantu berdirinya Israel. Setelah Perang Dunia II, PBB mengeluarkan Resolusi 181 tahun 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi dua negara: Yahudi dan Arab.
“Sayangnya, Palestina tidak memiliki dukungan internasional yang kuat seperti Zionis. Selain itu, bangsa Arab terpecah dan tidak siap secara diplomatik maupun militer,” imbuhnya.
Dyah menekankan bahwa kegagalan Palestina merdeka tidak hanya karena agresi militer, tetapi juga karena kurangnya persiapan politik dan strategi panjang. Ia mengajak generasi muda untuk belajar sejarah agar memahami konteks perjuangan Palestina secara utuh.[]
Baca Juga: Presiden Resmikan Terminal Baru Khusus Haji dan Umroh di Bandara Soekarno-Hatta
Mi’raj News Agency (MINA)