GURU adalah pelita bangsa. Dari tangan merekalah lahir para pemimpin, ilmuwan, pengusaha, ulama, hingga pejabat yang duduk di kursi empuk parlemen. Namun mirisnya, guru yang sejatinya adalah pondasi bangsa justru dibiarkan hidup dengan gaji yang minim, jauh dari layak untuk pengorbanan mereka.
Sementara itu, anggota DPR dengan santainya menikmati gaji hingga Rp 3 juta per hari. Belum lagi tunjangan yang fantastis, bahkan ada tunjangan beras yang mencapai Rp 12 juta sebulan. Rakyat kecil menatap dengan getir, membandingkan bagaimana peluh keringat guru yang mendidik dengan ikhlas, ternyata dihargai jauh di bawah mereka yang kerap makan gaji buta.
Seorang guru menghabiskan hidupnya di ruang kelas, mengajar anak-anak bangsa dengan penuh kesabaran. Ia bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk akhlak, mendidik karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral. Namun berapa gaji mereka? Tak cukup untuk membeli rumah, bahkan tak jarang untuk sekadar hidup layak pun sulit.
Bandingkan dengan para anggota DPR yang sering kali lebih sibuk jalan-jalan ke luar negeri, studi banding tanpa juntrungan, dan rapat-rapat yang sering kosong kursinya. Mereka duduk di kursi terhormat, tetapi sayangnya lebih sering melahirkan wacana daripada solusi.
Baca Juga: Anak Asuh FDP Diterima di Madrasah Mustafawiyah Kedah Malaysia
Guru membawa cahaya. Mereka menyulut api semangat di hati murid-muridnya, mengajari membaca, menulis, berhitung, hingga memahami arti kehidupan. Tanpa guru, tak ada seorang pun yang mampu berdiri di podium kekuasaan. Namun ironi terjadi: guru yang membawa cahaya justru dibiarkan meredup dalam kesulitan hidup.
DPR membawa wacana. Hampir setiap hari rakyat disuguhi janji-janji, debat panjang, serta rencana yang tak pernah jelas ujung pangkalnya. Jika dibandingkan dengan jerih payah guru, sungguh tidak adil. Guru menghasilkan generasi, DPR sering kali hanya menghasilkan peraturan yang kering makna.
Bukankah seharusnya negara ini lebih berterima kasih kepada guru daripada DPR? Bukankah seharusnya guru digaji setara bahkan lebih tinggi dari anggota dewan, karena mereka berjuang langsung mencerdaskan kehidupan bangsa? Namun yang terjadi justru sebaliknya: guru dibiarkan terengah-engah, DPR dimanjakan dengan berbagai fasilitas mewah.
Bayangkan seorang guru honorer yang gajinya hanya ratusan ribu rupiah per bulan, padahal ia mengajar anak-anak calon pemimpin masa depan. Lalu bandingkan dengan anggota DPR yang dengan entengnya menerima miliaran rupiah per tahun, meski kontribusi nyata mereka sering kali dipertanyakan.
Baca Juga: Membesarkan Anak Saleh di Tengah Kiamat Moral
Seharusnya para wakil rakyat malu. Malu karena hidup dari pajak rakyat, sementara masih banyak rakyat yang lapar. Malu karena menikmati tunjangan berlimpah, sementara guru yang mengajar anak-anak mereka sendiri tidak mampu hidup layak. Malu karena duduk di kursi kekuasaan, tetapi sering abai terhadap amanah rakyat.
Guru tidak pernah meminta lebih. Mereka hanya ingin dihargai sesuai dengan perjuangan. Mereka ingin gaji yang layak agar bisa hidup dengan tenang, agar bisa fokus mendidik anak-anak tanpa dihantui kebutuhan harian yang tak terpenuhi. Apakah itu terlalu sulit bagi negara yang katanya berdaulat?
Jika bangsa ini ingin maju, maka hormatilah guru. Angkatlah derajat mereka lebih tinggi dari para politisi. Karena guru membawa cahaya peradaban, sementara DPR hanya membawa wacana yang sering kali hilang ditelan angin. Jangan biarkan guru yang mencetak para pemimpin justru hidup lebih menderita daripada para pemimpin yang mereka ciptakan.
Kini saatnya rakyat membuka mata. Kita harus bersuara lantang membela guru, karena tanpa mereka bangsa ini akan gelap gulita. DPR boleh punya gaji besar, tetapi guru punya jasa yang jauh lebih abadi. Ingatlah, guru sejati mencetak peradaban, sementara DPR hanya mencetak peraturan. Dan sejarah akan mencatat, cahaya guru akan selalu lebih terang daripada wacana para wakil rakyat.[]
Baca Juga: Guru: Pelita Bangsa yang Belum Merdeka dari Gelap Perjuangan
Mi’raj News Agency (MINA)