GURU adalah pelita bangsa, cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan. Dari merekalah lahir generasi yang mampu berdiri tegak menghadapi masa depan. Namun, sungguh ironis, di balik cahaya yang mereka pancarkan, hidup mereka masih terkungkung dalam gelap penderitaan. Negeri ini menyebut dirinya merdeka, tetapi guru belum benar-benar merdeka.
Delapan puluh tahun lebih negeri ini berteriak lantang tentang kemerdekaan. Lagu kebangsaan dinyanyikan, bendera dikibarkan, dan pidato kemerdekaan dibacakan setiap tahun. Namun di balik euforia itu, masih banyak guru yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemerdekaan bagi mereka hanya kata-kata indah tanpa makna nyata.
Guru rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan demi mencerdaskan bangsa. Dua puluh empat jam sehari, pikiran mereka dipenuhi nasib anak-anak bangsa. Mereka mendidik, mengarahkan, dan mencetak generasi agar kelak menjadi orang sukses. Namun, ironisnya, guru sendiri tidak diberi ruang untuk hidup layak.
Banyak guru yang gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ada yang harus mencari pekerjaan sampingan, bahkan ada yang rela meninggalkan waktu bersama anak demi mengajar anak bangsa. Sungguh sebuah pengorbanan yang tak ternilai. Tapi, apakah negara pernah benar-benar menghargai itu semua?
Baca Juga: Santriwati Ponpes Tahfiz Al-Fatah Pekalongan Ikuti Jalan Sehat HUT RI ke-80
Dimanakah nurani para pejabat negeri ini? Mereka duduk nyaman di kursi empuk, gaji besar mengalir setiap hari. Sementara guru yang mencetak masa depan bangsa, hanya mendapatkan remah-remah kesejahteraan. Di manakah letak keadilan yang selalu didengungkan itu?
Jika anggota DPR bisa menerima gaji 3 juta per hari, lalu berapakah gaji seorang guru dalam sebulan? Pertanyaan ini seakan menjadi tamparan keras bagi negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan. Bagaimana bisa masa depan bangsa dititipkan pada mereka yang diperlakukan tanpa kemuliaan? Apakah benar keadilan sudah mati di negeri ini?
Guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, gelar itu kini terdengar seperti ironi yang menyakitkan. Mereka yang seharusnya dimuliakan, justru dipandang sebagai beban negara. Apakah bangsa ini sudah lupa siapa yang mengajarkan mereka membaca dan menulis?
Sungguh miris, ketika guru harus menanggung beban berat sementara jerih payah mereka dianggap biasa saja. Padahal tanpa guru, tak ada pejabat, pengusaha, dokter, atau insinyur. Semua orang besar lahir dari bimbingan guru. Tetapi mengapa guru justru tidak pernah mendapat tempat mulia?
Baca Juga: KKN UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan Gelar Sosialisasi Stop Bullying di Pesantren Al-Fatah
Ketidakadilan ini membuat hati siapa pun yang masih punya nurani merasa perih. Negeri ini seakan kejam kepada para gurunya sendiri. Mereka menuntut guru agar profesional, berkualitas, dan berdedikasi. Tapi, apakah negara sudah berlaku adil dalam memberikan hak mereka?
Guru adalah ujung tombak peradaban, pondasi utama bangsa. Tanpa guru, pembangunan tidak akan pernah berjalan. Namun pondasi itu kini rapuh karena kurangnya perhatian. Sampai kapan kita akan membiarkan guru berdiri di atas penderitaan?
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai gurunya. Lalu bagaimana dengan bangsa yang menelantarkan gurunya? Jangan-jangan inilah sebab mengapa negeri ini terus terjebak dalam lingkaran masalah. Karena guru yang menjadi cahaya, justru dipadamkan sinarnya oleh ketidakadilan.
Kita harus jujur, bahwa negeri ini sedang salah arah dalam memperlakukan guru. Bukan bonus tahunan atau seremoni Hari Guru yang mereka butuhkan. Yang mereka dambakan hanyalah keadilan dan kesejahteraan yang nyata. Bukankah sudah seharusnya pelita bangsa diberi bahan bakar yang cukup untuk tetap menyala?
Baca Juga: Sekolah Boleh Sederhana, Tapi Mimpimu Harus Luar Biasa
Sampai kapan nasib para guru negeri ini akan berubah menjadi lebih baik? Sampai kapan negara akan sadar bahwa guru adalah tiang kemerdekaan yang sesungguhnya? Negeri ini tidak akan benar-benar merdeka jika gurunya masih hidup dalam belenggu kemiskinan. Dan kemerdekaan sejati hanya akan hadir ketika guru dimuliakan sebagaimana mestinya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pendidikan adalah Nafas Peradaban: Mengapa Setiap Anak Harus Belajar