Perkara bid’ah telah menjadi pembahasan cukup panjang hingga hari ini. Tulisan ini mengupas lebih luas berkaitan dengan bid’ah. Ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.
Berikut penjelasan lebih rinci tentang Bahaya Bid’ah:
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Baca Juga: Bukan Sekadar Pencari Nafkah: Inilah Peran Besar Ayah dalam Islam yang Sering Terlupakan!
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengadakan hal baru dalam urusan kami ini (agama) yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari perintah kami, maka ia tertolak.”
Shahabiyah yang meriwayatkan hadits Arbain Nawawi 5 ini adalah Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat gelar ummul mukminin, ibunda orang-orang beriman.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Ummu Abdullah adalah nama kunyah Aisyah. Mengapa Aisyah memiliki nama kunyah Ummu Abdullah padahal beliau tidak memiliki anak?
Suatu hari, Aisyah sedih karena hampir semua shahabiyah memiliki nama kunyah yang umumnya terambil dari nama anak laki-laki pertama. Sedangkan beliau tidak memiliki anak. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya Ummu Abdullah.
Abdullah yang melekat pada nama kunyah ini adalah Abdullah bin Zubair yang ibunya tak lain adalah Asma’ binti Abu Bakar, kakak dari Aisyah. Jadi, Abdullah adalah keponakan Aisyah. Beliau senang dengan nama kunyah yang Rasulullah berikan itu.
Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi saat masih gadis. Pernikahan beliau merupakan perintah dari Allah melalui mimpi datangnya malaikat Jibril yang mengabarkan sosok istri dunia akhirat. Ketika Rasulullah melihat gambar tersebut, ternyata adalah Aisyah binti Abu Bakar.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Aisyah adalah wanita yang sangat cerdas lagi kuat hafalannya. Beliau menjadi guru dari para sahabat dan tabi’in. Terutama dalam hal fikih wanita, keluarga, dan rumah tangga. Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits. Menempati peringkat keempat dari seluruh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dan merupakan shahabiyah peringkat pertama yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Hadits tentang bid’ah ini merupakan salah satu hadits yang beliau riwayatkan.
Kata Ahdatsa (أحدث) artinya membuat hal baru. Satu akar kata dengan hadits yang artinya baru, lawan dari qadim yang artinya lama. Fi amrina (في أمرنا) artinya dalam urusan kami. Yakni agama dan syariat.
Ma laisa minhu (ما ليس منه) artinya tidak berasal darinya. Maksudnya, bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri atau tidak berdasarkan dalil-dalil syar’i. Radd (رد) artinya tertolak. Fa huwa radd (فهو رد) artinya maka amalan baru tersebut tertotak.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Pelajaran Penting
Hadits ke-5 Arbain Nawawi ini memiliki kedudukan yang sangat penting. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran.”
Sedangkan Ibnu Hajar Al-Haitsami mengatakan, “Hadits ini merupakan salah satu dasar Islam. Secara tekstual, memiliki manfaat yang sangat luas, karena ia merupakan dasar global dari semua dalil.”
Berikut ini empat poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-5:
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
- Islam itu ittiba‘ bukan ibtida‘ |Hadits Arbain Nawawi 5 ini menjaga kemurnian Islam dari orang-orang yang melampaui batas. Islam itu ittiba’ (mengikuti Rasulullah), bukan ibtida’ (membuat bid’ah). Ittiba’ adalah kunci keselamatan sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 31:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)
Ittiba’ merupakan bukti cinta kepada Allah. Dengan ittiba’, kita akan mendapatkan cinta Allah dan ampunan-Nya.
Ittiba’ juga membuat kita terjaga di jalan-Nya, tidak menyimpang dan tidak tersesat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)
- Amalan yang tidak didasari perintah syar‘i adalah tertolak | Poin kedua dari Hadits Arbain ke-5 ini adalah tertolaknya amalan baru yang tidak memiliki landasan sya’ri atau tidak sesuai dengan syariat.
Syekh Musthafa Dieb Al-Bugha dan Syekh Muhyidin Mistu dalam Al-Wafi menjelaskan, seluruh amalan yang keluar dari koridor sya’ri adalah tertolak, baik itu amalan ibadah maupun muamalah.
Contoh dalam ibadah, misalnya mendekatkan diri kepada Allah dengan siulan, nyanyian, dan tarian. Sebagaimana Allah peringatkan dalam firman-Nya:
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal: 35)
Sedangkan contoh dalam muamalah mengubah hukuman hudud. Misalnya apa yang kita dapati dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Bahwa ada seorang pemuda yang berzina dengan istri tuannya. Lalu, ia dijatuhi hukuman berupa menyerahkan 100 ekor kambing untuk diberikan kepada tuannya sebagai denda.
Mengetahui hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskannya. Beliau memerintahkan bos tersebut mengembalikan 100 ekor kambing kepada pemuda tadi. Lalu memerintahkan hukuman had atas pemuda yakni cambuk seratus kali.
Baca Juga: BSP 2024, Solidaritas dan Penghormatan Bagi Pahlawan di Tengah Genosida
- Amalan yang Diterima | Selain menunjukkan amalan yang tertolak, hadits Arbain ke-5 ini juga menunjukkan amalan yang Allah terima. Yakni harus ittiba’ (mencontoh Rasulullah) jika itu adalah ibadah mahdlah. Sedangkan untuk selain ibadah, amalan itu haruslah baik (amal shalih).
Kaidahnya, hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Sedangkan hukum asal muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ
Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil yang memerintahkannya).
الْأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاةِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ دَلِيْلٌ
Baca Juga: Catatan 107 Tahun Balfour dan Setahun Perjuangan Thufanul Aqsa
Hukum asal muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya.
Tentu, syarat lain agar Allah menerima amalan kita adalah ikhlas. Sebagaimana hadits Arba’in ke-1:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Memaknai Iqra
- Bid‘ah terpuji dan bid‘ah tercela
Hadits Arbain Nawawi ke-5 ini menyebutkan dua sebab suatu perkara baru tertolak. Pertama, fi amrina hadza (في أمرنا هذا) artinya dalam urusan kami ini. Yakni agama dan syariat. Kedua, Ma laisa minhu (ما ليس منه) artinya tidak berasal darinya.
Jadi, yang tertolak adalah jika perkara baru itu adalah perkara agama yang tidak berdasarkan dalil-dalil syar’i alias bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga, tidak semua perkara baru tertolak.
Misal, HP dan internet. Keduanya tidak tertolak karena bukan perkara agama. Atau perkara agama tetapi tidak bertentangan dengan dalil syar’i, misalnya sholat tarawih dan sholat witir berjamaah.
Imam Syafi’i rahimahullah membagi perkara baru (bid’ah) menjadi dua. Ada yang terpuji (bid’ah mahmudah) dan ada yang tercela (bid’ah madzmumah). Dalam istilah lain, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ. فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ: فَهُوَ مَحْمُودٌ. وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ: فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”
Imam Syafi’i berhujjah dengan perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tentang sholat tarawih berjamaah:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Ini adalah sebaik-baik bi’dah.”
Contoh bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah: Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, Tarawih berjamaah pada masa Umar bin Khattab, Penyeragaman bacaan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan, Penulisan hadits.
Contoh bid’ah madzmumah atau bid’ah sayyi’ah: Bid’ah khawarij, antara lain mengkafirkan pelaku dosa besar dan menghalalkan darah kaum muslimin, Bid’ah syiah, antara lain mencaci dan mengkafirkan sahabat Nabi, Bid’ah muktazilah, antara lain meyakini pelaku dosa besar berada antara surga dan neraka (manzilah baina manzilatain) dan meyakini Al-Qur’an adalah makhluk.
Bid’ah qadiriyah, antara lain meyakini manusia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk melakukan perbuatan tanpa campur tangan Allah, Bid’ah jabariyah, antara lain meyakini manusia tidak memiliki kebebasan dan kehendak dalam melakukan perbuatan karena semuanya terpaksakan oleh takdir, Bid’ah jahmiyah, antara lain menafikan semua sifat Allah. []