Tindakan seseorang terhadap orang lain sangat erat kaitannya dengan tingkat keimanannya. Imam Muslim mencantumkan hadits ini dalam Kitab Iman, yang menegaskan bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amal perbuatan.
Seseorang yang memiliki iman yang sempurna, pasti akan menjaga perkataan, memuliakan tetangga, dan menghormati tamu. Berikut penjelasan hadits Arbain ke-15.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seperti halnya hadits Arbain Nawawi yang ke-11, hadits ke-15 ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang memang merupakan perawi hadits terbanyak. Hadits ini mencakup ajaran tentang akhlak mulia seorang Muslim terhadap sesama, khususnya kepada tetangga dan tamu.
Tindakan seseorang terhadap orang lain sangat erat kaitannya dengan tingkat keimanannya. Imam Muslim mencantumkan hadits ini dalam Kitab Iman, yang menegaskan bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amal perbuatan. Seseorang yang memiliki iman yang sempurna, pasti akan menjaga perkataan, memuliakan tetangga, dan menghormati tamu.
Kata liyashmut (ليصمت) terambil dari kata shamata (صمت) yang artinya diam.
Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina
Kata jaar (جار) artinya adalah tetangga. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan, batasan tetangga adalah semua orang yang menempati 40 rumah dari rumah kita. Baik ke kanan, ke kiri, ke belakang, maupun ke depan.
Sebagian ulama bahkan berpendapat tetangga adalah semua orang yang tinggal satu kampung dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang mengisyaratkan seluruh penduduk Madinah sebagai tetangga.
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) tidak menghentikan aksinya, niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS. Al-Ahzab: 60)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim
Kata dlaif (ضيف) artinya adalah tamu. Yakni orang yang datang ke rumah kita, terutama yang berasal dari luar kota atau luar daerah. Sedangkan orang sekampung yang datang ke rumah kita memiliki istilah tersendiri yakni zaa-ir (زائر). Meskipun demikian keduanya tetap harus dimuliakan.
Hadits ini menunjukkan adab yang sangat mulia sama dengan hadits keduabelas sebelumnya, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits keduabelas dari Arbain An-Nawawiyyah mengajarkan adab yang sifatnya umum. Sedangkan hadits mengajarkan tiga adab khusus yaitu berkata baik, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa kewajiban itu ada dua macam: (1) kewajiban kepada Allah dan (2) kewajiban kepada sesama. Kewajiban yang terkait dengan hak Allah adalah menjaga lisan. Artinya kalau kita beriman dengan benar kepada Allah dan hari akhir, maka disuruh untuk menjaga lisan. Bentuknya adalah (1) berkata yang baik, atau jika tidak bisa (2) diperintahkan untuk diam.
Baca Juga: Tahun 1930 Tiga Pelajar Indonesia Syahid di Palestina
Dalam ayat disebutkan,
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisaa’: 114)
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang
مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Siapa yang menjamin (menjaga) di antara dua janggutnya (lisannya) dan di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan jaminkan baginya surga.” (HR. Bukhari, no. 6474).
Artinya diperintahkan untuk menjaga lisan, tidak berkata jelek yang nanti dicatat oleh malaikat pencatat amal jelek. Juga tidak menggunakan kemaluan untuk sesuatu yang diharamkan. Hadits ini menunjukkan bahwa berbagai maksiat itu terjadi karena lisan dan kemaluan. Siapa yang selamat dari kejelekan keduanya, maka ia akan selamat dari kejelekan yang besar. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Batthol dalam Syarh Al-Bukhari.
Ikram dalam hadits yang dimaksudkan adalah memuliakan dengan sebaik-baiknya, yaitu memuliakan dengan sempurna pada tetangga dan tamu.
Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda
Memuliakan tetangga juga merupakan perhatian dalam hadits ini. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, tetangga adalah 40 rumah yang terletak di segala arah (depan, belakang, kanan, dan kiri). Mereka mendasarkan pendapat ini pada hadits yang mengatakan, “Hak tetangga adalah 40 rumah di segala arah.” Namun, hadits ini dianggap dha’if (lemah).
Sementara itu, ulama Malikiyah berpendapat bahwa seseorang disebut tetangga jika rumahnya berdampingan dari berbagai penjuru atau jika antara rumah tersebut hanya dipisah oleh jalan sempit, bukan pasar besar atau sungai lebar.
Mereka juga berpendapat bahwa dua rumah yang berada di sekitar satu masjid atau terletak antara dua masjid yang berdekatan dapat disebut tetangga. Di sisi lain, definisi tetangga menurut masyarakat (‘urf) juga bisa diterima, meskipun tanpa batasan tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tetangga adalah yang rumahnya berdampingan atau sangat dekat. Sedangkan ulama Hanafiyah lainnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad, menyebutkan bahwa tetangga adalah yang berdampingan atau yang berdekatan karena adanya satu masjid di antara mereka. Definisi ini mencakup pandangan syar’i dan juga pandangan masyarakat.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri
Secara ringkas, tetangga adalah siapa saja yang tinggal berdekatan dengan rumah kita dan berhak mendapatkan hak sebagai tetangga, salah satunya adalah hak untuk tidak diganggu. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam