HADITS Arbain ke-30 ini menegaskan agar kita tidak meremehkan kewajiban-kewajiban dari Allah Ta’ala. Meremehkan kewajiban merupakan tanda cacatnya aqidah dan lemahnya agama seseorang, seperti menunda-nunda shalat tanpa alasan syar’i. Berikut penjelasan lengkapnya:
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: «إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا» حِدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa–, maka janganlah engkau membahasnya.” (Hadits hasan, HR. Ad-Daruquthni no. 4316 dan selainnya) [Hadits ini dikomentari oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin, hadits ini sanadnya terputus. Namun, hadits ini kata Ibnu Rajab punya penguat].
Farodho artinya mewajibkan, Farai-dho suatu yang wajib seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, berbakti pada orang tua, dan silaturahim. Sementara Hudud adalah batasan berupa wajib dan haram. Untuk yang wajib tidak boleh melampaui batas. Untuk yang haram tidak boleh didekati.
Baca Juga: Surat Yasin: Mengungkap Hikmah dan Kandungannya
Wa harrama asy-yaa-a, Allah mengharamkan sesuatu. Fa laa tantahikuhaa, janganlah mendekatinya, artinya jangan mendekati haram seperti zina, minum khamar, qadzaf, dan perkara lainnya yang tak terhitung.
Yang Allah diamkan artinya tidak dilarang dan tidak diwajibkan. Fa laa tab-hatsu ‘anhaa: janganlah membicarakannya. Yang Allah diamkan bukan berarti Allah lupa, yang didiamkan sebagai rahmat untuk makhluk agar mereka tidak merasa menjadi beban.
Allah menjadikan yang wajib itu jelas, yang haram itu jelas, batasan Allah juga jelas. Kita tidak boleh melampaui batasan Allah. Tidak boleh melampaui batas dalam masalah hukuman. Misalnya, pezina yang masih gadis dikenakan seratus kali cambukan, tidak boleh ditambah lebih daripada itu.
Allah disifatkan dengan diam. Hal ini berarti Allah itu berbicara sekehendak Allah, dan tidak berbicara juga sekehendak-Nya. Allah mengharamkan sesuatu menunjukkan bahwa yang haram ini tidak boleh didekati. Kita bisa mengetahui sesuatu itu diharamkan dari dalil larangan, dalil yang tegas melarang, penyebutan hukuman di dalam dalil.
Baca Juga: Menjadi Suami Qawwam: Peran dan Tanggung Jawab Laki-Laki dalam Islam
Apa saja yang didiamkan oleh syariat, tidak diwajibkan, tidak disebutkan batasan, tidak dilarang, maka termasuk halal. Ini pembicaraannya dalam perkara non ibadah. Sedangkan untuk perkara ibadah tidak boleh membuat syariat selain yang Allah izinkan.
Larangan membicarakan hal-hal yang didiamkan oleh Allah sejalan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Biarkanlah aku dengan apa yang telah aku biarkan kepada kamu sekalian, karena sesungguhnya hancurnya umat sebelum kamu disebabkan mereka banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka”.
Sebagian ulama berkata : “Bani Israil dahulu banyak bertanya, lalu diberi jawaban dan mereka diberi apa yang menjadi keinginan mereka, sampai hal itu menjadi fitnah bagi mereka, karena itulah mereka menjadi binasa.
Baca Juga: Tangisan di Alam Barzakh: Ketika Amal Tidak Cukup Menolong
Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memahami hal tersebut dan menahan diri untuk tidak bertanya kecuali hal-hal yang sangat penting. Mereka heran menyaksikan orang-orang Arab gunung bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu mereka mendengarkan jawabannya dan memperhatikannya dengan seksama.
Ada suatu kaum yang sikapnya berlebih-lebihan, sampai mereka berkata: “Tidak boleh bertanya kepada ulama mengenai suatu kasus sampai kasus tersebut benar-benar terjadi”.
Ulama salaf ada juga yang berpendapat seperti itu. Mereka berkata: “Biarkanlah suatu masalah sampai benar-benar telah terjadi”. Akan tetapi, ketika para ulama merasa khawatir ilmu agama ini lenyap, maka mereka kemudian membahas masalah-masalah ushul (pokok), menguraikan masalah-masalah furu’ (cabang), memperluas dan menjelaskan berbagai hal.
Para ulama berselisih pendapat dalam banyak perkara yang agama belum menetapkan hukumnya. Apakah perkara tersebut termasuk yang haram atau mubah atau didiamkan. Ada tiga pendapat dalam hal ini, dan semuanya itu dibicarakan dalam kitab-kitab Ushul. []
Baca Juga: Anak Shalih Shalihah Rezeki Terbesar dan Investasi Abadi Dunia Akhirat
Mi’raj News Agency (MINA)