SETIAP tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia memenuhi panggilan suci menuju tanah haram. Di antara mereka, ada yang untuk pertama kali menginjakkan kaki di Arafah, menitikkan air mata di hadapan Ka’bah, dan bergetar hatinya saat melantunkan talbiyah.
Namun, ada pula yang sudah kesekian kali menunaikan ibadah haji. Titel “Haji” bahkan sudah menjadi gelar resmi yang dibanggakan di depan nama. Tapi ironisnya, tak sedikit di antara mereka yang berkali-kali berhaji, namun tetap tak berubah—sombong tetap melekat, kikir tak pernah luruh.
Haji bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan ruhani yang mendalam. Haji adalah saat seorang Muslim memutar kembali catatan hidupnya, meletakkan semua kesombongan dan ego di bawah terik matahari Arafah, mencuci hati dengan air zamzam, dan mengubur keangkuhan di lemparan jumrah. Maka jika setelah semua itu seseorang masih sombong, barangkali yang berangkat hanya tubuhnya, bukan jiwanya.
Gelar “Haji” Bukan Tiket Menuju Surga
Banyak orang yang terjebak dalam romantika status sosial. Pulang dari Makkah, nama diganti: “Pak Haji” atau “Bu Hajjah.” Baju pun berubah lebih panjang, namun sayangnya, hati tidak ikut panjang kesabarannya. Bicara menjadi penuh keangkuhan, sedekah menjadi langka, dan derma tak pernah singgah.
Baca Juga: Topeng Demokrasi Amerika Roboh di Tepi Gaza
Padahal, Allah tak pernah menilai jumlah haji kita, melainkan kualitas ketakwaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi apakah kita yakin bahwa haji kita mabrur, jika sekembalinya dari tanah suci, kita masih suka merendahkan orang lain, enggan membantu tetangga miskin, atau kikir terhadap anak yatim?
Kesombongan adalah penyakit hati yang paling dibenci Allah. Bahkan Iblis dilaknat karena merasa lebih baik dari Adam. Maka orang yang merasa dirinya lebih suci hanya karena pernah berhaji berkali-kali, sebetulnya sedang menempuh jalan berbahaya. Sombong karena merasa paling rajin ibadah? Paling sering ke tanah suci? Paling tahu soal agama?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Tarian Tanpa Hijab di Depan Trump: Potret Jahiliyah Modern di Negeri Muslim
Jadi, untuk apa berhaji berkali-kali jika ternyata di hati masih tumbuh benih kesombongan? Untuk apa mencium Hajar Aswad jika tangan masih enggan bersedekah kepada fakir miskin?
Lihatlah para sahabat. Mereka berhaji hanya sekali, tapi bekasnya mengubah hidup selamanya. Setelah haji, mereka lebih lembut dalam berbicara, lebih ringan tangan dalam membantu, dan lebih tajam mata hatinya melihat kesulitan orang lain.
Sedangkan hari ini, sebagian dari kita malah menjadi keras hati setelah haji. Pakaian dan penampilan memang lebih Islami, tapi lisan tetap menyakitkan. Malu menengadahkan tangan ke langit, tapi tak malu menyakiti saudara seiman dengan kata-kata tajam.
Apakah ini tanda bahwa hajinya gagal? Wallahu a’lam. Tapi jelas, jika perubahan diri tak tampak, maka evaluasi diri sangat diperlukan.
Baca Juga: Masjid Al-Aqsa, Doa dan Harapan
Apa arti berkali-kali menunaikan ibadah haji jika hati tetap sempit terhadap rezeki? Ada yang sanggup mengeluarkan ratusan juta untuk biaya haji plus, tapi tak pernah menyumbang seribu rupiah pun untuk pembangunan masjid di kampungnya. Ada yang bangga bisa haji sekeluarga, tapi pura-pura tak tahu saat tetangganya kelaparan.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Orang yang tidak peduli terhadap nasib sesama Muslim, bukan termasuk golongan kami.” (HR. Thabrani)
Sedekah, perhatian, dan kepedulian sosial seharusnya menjadi buah dari perjalanan spiritual. Jika setelah haji, seseorang malah makin pelit, bisa jadi yang dibawa pulang hanyalah oleh-oleh fisik, bukan oleh-oleh ruhani.
Haji Itu Transformasi Diri, Bukan Ajang Pamer
Sayangnya, ada juga yang menjadikan haji sebagai ajang status. Media sosial penuh dengan unggahan foto di depan Ka’bah, video thawaf, hingga koleksi oleh-oleh mewah dari Timur Tengah. Padahal ibadah adalah soal keikhlasan. Semakin banyak pamer, semakin sedikit nilainya di sisi Allah.
Baca Juga: Peringatan Nakba: Simbol Perlawanan dan Hak Kembali Bangsa Palestina
Transformasi diri yang sejati pasca-haji justru tampak dalam kerendahan hati, pelayanan kepada masyarakat, dan kepedulian terhadap sesama. Seorang haji sejati tak butuh pengakuan manusia. Cukup Allah yang tahu bahwa ia telah berubah menjadi lebih baik.
Tidak semua orang dipanggil ke tanah suci. Maka jika kita termasuk yang sudah diberi kesempatan berhaji, bersyukurlah. Tapi jangan berhenti di sana. Pilihan berikutnya adalah: apakah kita mau berubah menjadi lebih baik atau tidak?
Haji bukan akhir perjalanan, tapi awal dari hijrah besar. Hijrah dari ego menuju ketawadhuan. Dari cinta dunia menuju cinta akhirat. Dari kikir menuju dermawan. Dari sombong menuju rendah hati.
Berkali-kali pergi ke Makkah bukanlah jaminan kemuliaan. Satu kali haji yang mabrur, disertai perubahan akhlak dan kepedulian sosial, lebih bermakna daripada sepuluh kali haji yang hanya untuk status.
Baca Juga: Kunjungan Trump ke Saudi, antara Normalisasi, Investasi dan Pemetaan Kawasan
Haji sejatinya bukan sekadar perjalanan ke Baitullah, tapi juga perjalanan pulang ke hati yang bersih. Maka, mari kita periksa kembali: apakah haji yang kita lakukan sudah menjadikan kita hamba yang semakin lembut, dermawan, dan tawadhu?
Jika belum, masih ada waktu untuk memperbaiki niat, merendahkan diri, dan membuka hati.
Karena Allah tidak melihat berapa kali kita ke Baitullah. Allah hanya melihat seberapa besar Baitullah sudah tumbuh dalam hati kita.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang berhaji dengan hati, bukan hanya dengan kaki. Aamiin.[]
Baca Juga: 77 Tahun Hari Nakbah, Genosida Harus Dihentikan
Mi’raj News Agency (MINA)