Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haji, dari Ibadah Ritual menuju Transformasi Kehidupan

Redaksi Editor : Ali Farkhan Tsani - 39 detik yang lalu

39 detik yang lalu

0 Views

Kedatangan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi.(Foto: BP Haji)

Oleh Legisan Samtafsir, Founder Gerakan Indonesia Mabrur

Syariat-syariat Islam sejatinya bukan sekadar ibadah ritual saja, tetapi di dalamnya memiliki makna yang dapat dieksplorasi lebih luas dan diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk profesi dan pekerjaan. Salah satu ritual yang memiliki makna mendalam adalah haji. Namun, sudahkah kita memahami haji bukan sekadar sebagai ritual, tetapi juga membentuk pola pikir, karakter, dan perubahan sosial?

Dalam praktiknya, haji sering dipahami hanya sebagai serangkaian prosesi ibadah yang harus diselesaikan sesuai syariat. Padahal, jika dicermati, setiap elemen dalam ibadah haji mengandung makna filosofis yang dapat diintegrasikan dengan kehidupan profesional dan organisasi. Misalnya, mengenakan pakaian ihram bukan hanya sekadar memakai kain putih di Tanah Suci, lalu mematuhi perintah dan larangan berihram, tetapi juga meyakini sepenuhnya diri sebagai hamba Allah, menghilangkan arogansi dan sikap bermewahan, serta melatih kesederhanaan (humility), kesetaraan (equality), keasilan (authenticity) dan kesadaran ketuhanan (spiritual awareness) yang mendalam.

Prinsip ini dapat diterapkan dalam dunia kerja—sebagai bentuk ketulusan, sikap humble, grateful, transparansi, dan mengambil keputusan berlandaskan nilai-nilai yang luhur.

Baca Juga: Senjakala Negara Zionis Israel

Begitu pula dengan wukuf di Arafah, yang merupakan momen menerima status diri sebagai khalifah Allah. Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, konsep ini bisa menjadi landasan bagi para profesional dalam mengemban amanah secara professional, menetapkan misi dan visi yang agung, mulia, terukur, terencana dan terarah (BFF: Backward From Future & Roadmap), serta mengambil keputusan berdasarkan kepemimpinan yang bersifat profetik.

Demikian juga ritual lainnya seperti mabit di Muzdalifah, lontar jumrah di Mina, thawaf mengelilingi Ka’bah, Sa’i antara Shafa-Marwa, dan tahallul, maupun tambahan berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Haramain (dua kota suci Makkah dan Madinah), yang masing-masing memiliki implikasi dalam dinamika kehidupan dan profesi seseorang.

Maqbul dan Mabrur

Sering kali, seseorang merasa cukup ketika hajinya telah dilaksanakan, syariat dan telah memenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan (dalam arti maqbul, diterima). Namun, apakah ibadah hajinya sudah mencapai tingkat “mabrur”?

Baca Juga: Jama’ah Tempat Ukhuwah, Bukan Ajang Permusuhan

Haji yang mabrur bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan fikih, tetapi juga tentang dampak nyata pasca ibadah. Sejatinya, kekuatan spiritual yang diperoleh dari ibadah haji harus bisa diwujudkan dalam kehidupan setelahnya—melalui keteguhan hati, tekad yang kuat, amanah besar, kesiapan lahir batin dalam menjalani profesi dan kehidupan sosial, guna mewujudkan puncak-puncak kebaikan.

Hal itu karena medan juang setelah seseorang kembali dari haji, justru lebih berat daripada medan ibadah di Tanah Suci. Jika selama haji seseorang mampu bersabar dalam menghadapi berbagai ujian dalam melaksanakan haji, maka setelah haji, ia diuji dengan medan juang yang lebih kompleks—yakni bagaimana menerapkan nilai-nilai haji dalam kehidupan pekerjaan dan sehari-hari.

Banyak orang yang setelah selesai berhaji kembali pada pola hidup yang sama, seolah-olah ibadah haji hanya sebuah perjalanan ritual tanpa dampak jangka panjang. Padahal, keberhasilan ibadah haji seharusnya terlihat dari perubahan perilaku dan kontribusi seseorang dalam masyarakat, setelah ia kembali dari Tanah Suci.

Lebih jauh, haji tidak hanya memiliki dampak pada individu tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Dimensi sosial dan ekonomi haji sangat luas, termasuk kebijakan di tingkat nasional maupun global. Dalam konteks transformasi Indonesia, haji dapat menjadi pendorong perubahan, setidaknya dalam dua aspek utama. Pertama, haji dapat menjadi sarana transformasi pribadi.

Baca Juga: Kisah Dr. Alaa Al-Najjar dan Genosida di Gaza, Dokter yang Tak Bisa Menyelamatkan Anaknya

Dengan pemahaman yang benar, ibadah haji mampu membentuk pola pikir dan kepribadian seseorang menjadi lebih baik. Pola pikir yang terbentuk tidak sekadar bersifat individual, tetapi juga akan membawa manfaat bagi kemanusiaan—selaras dengan maqasid syariah.

Kedua, haji memiliki potensi besar sebagai investasi bagi kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan secara nasional. Haji bukan sekadar pengeluaran finansial (spending), tetapi juga merupakan investasi (investment) yang harus memberikan dampak jangka panjang. Jika pembelanjaan hanya sekadar mengeluarkan uang, maka investasi memberikan nilai tambah dan hasil yang dapat dirasakan dalam kehidupan seseorang serta masyarakatnya.

Haji: Investasi dan Transformasi Bangsa

Kekuatan haji yang mabrur bukan hanya sekadar diterima secara syariat, tetapi juga harus memberikan dampak nyata dalam kehidupan. Rasulullah bersabda, “Alhajju mabrur laisa lahu jaza illal jannah”, yang berarti bahwa balasan bagi haji yang mabrur adalah surga. Namun, makna mabrur tidak bisa hanya dipahami sebagai status ibadah yang sah secara fikih—mabrur harus mencerminkan perubahan nyata pada individu dan masyarakat.

Baca Juga: Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global

Dalam Al-Qur’an, konsep albirru sering kali disebut sebagai kebaikan yang hakiki, yakni kebaikan yang tidak bisa dicapai kecuali seseorang menafkahkan sesuatu yang paling ia cintai. Dengan demikian, haji adalah bagian dari pengorbanan dan investasi terbesar seorang Muslim. Oleh karena itu, rahasia dari haji yang mabrur tidak hanya terletak pada perjalanan dan ritualnya, melainkan juga pada efeknya dalam kehidupan setelahnya.

Dengan kata lain, haji bukan sekadar perjalanan untuk melihat gunung batu, berbelanja, atau menikmati kurma dan air zamzam. Ia mengandung rahasia besar yang seharusnya berdampak dahsyat bagi kehidupan pribadi, sosial, dan pembangunan bangsa. Jangan sampai ibadah yang begitu sulit dan berat dilakukan, tetapi tidak memberikan perubahan signifikan setelahnya. Haji yang mabrur adalah kekuatan besar yang seharusnya menggerakkan perubahan, baik bagi individu maupun masyarakat.

Setiap tahun, Indonesia mengeluarkan jumlah yang sangat besar untuk pembiayaan haji dan umrah. Jika dihitung, biaya haji reguler berkisar sekitar 70 juta rupiah per orang, dan ini belum termasuk berbagai pengeluaran tambahan seperti oleh-oleh, konsumsi, serta dana yang ditinggalkan untuk keluarga. Dengan jumlah jamaah haji yang mencapai 220 ribu orang per tahun, maka total dana yang keluar untuk ibadah haji bisa mencapai sekitar 22 triliun rupiah.

Di luar haji, terdapat pula ibadah umrah yang semakin meningkat popularitasnya. Setiap tahun, rata-rata 1,8 hingga 2 juta warga Indonesia melaksanakan umrah, dengan biaya sekitar 30 juta rupiah per orang. Jika dihitung secara keseluruhan, biaya umrah bisa mencapai 50 triliun rupiah per tahun. Maka, total pengeluaran untuk haji dan umrah dari Indonesia mencapai angka fantastis sekitar 70 triliun rupiah per tahun.

Baca Juga: Jejak Pertama di Tanah Suci: Haru, Lelah, dan Syukur yang Membuncah

Pertanyaannya, apakah dana sebesar itu sekadar pengeluaran atau bisa dianggap sebagai investasi? Jika hanya dipandang sebagai pengeluaran, maka haji dan umrah menjadi sebatas perjalanan spiritual yang memberikan kenyamanan dan pahala pribadi. Namun, jika dipahami sebagai investasi, maka kita perlu melihat dampaknya. Apa yang kita dapatkan dari investasi sebesar 70 triliun rupiah setiap tahun?

Sebagai individu, seseorang yang pulang dari haji atau umrah harus bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ibadah tersebut telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah ia memberikan dampak positif bagi keluarganya, lingkungannya, bahkan bagi masyarakat dan bangsa?

Sebagai contoh, jika seorang pemilik perusahaan mengeluarkan dana untuk memberangkatkan 20 karyawan umrah, tentu ia mengharapkan adanya perubahan sikap dan kinerja setelah mereka kembali. Seorang karyawan yang lebih disiplin, lebih rajin, serta memiliki semangat kerja yang tinggi adalah bentuk pengembalian dari investasi tersebut. Dengan demikian, haji dan umrah seharusnya menghasilkan perubahan dan meningkatkan performa dalam kehidupan profesional maupun sosial.

Oleh karena itu haji tidak boleh hanya menjadi sebuah perhelatan ibadah seperti menonton film yang setelah selesai langsung dilupakan. Sebaliknya, haji harus menjadi perjalanan mental dan spiritual yang berkesinambungan—sebuah pengalaman yang membentuk pribadi dan mengubah kehidupan seseorang secara nyata.

Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?

Para jamaah haji bukan hanya peserta ritual, tetapi juga duta-duta perubahan yang dapat berkontribusi bagi pembangunan bangsa. Jika seluruh jamaah haji kembali sebagai individu yang memiliki etos kerja tinggi dan visi pembangunan yang jelas, bayangkan transformasi luar biasa yang bisa terjadi bagi bangsa ini.

Karena besarnya jumlah jamaah haji dan dampak ekonomi yang ditimbulkan, maka seharusnya negara melihat haji sebagai momentum transformasi nasional. Bayangkan jika Presiden Prabowo menyerukan kepada para jamaah haji sebelum mereka berangkat: “Hai rakyatku yang hendak berhaji, jadikanlah ibadah kalian sebagai bekal untuk membangun Indonesia. Pergilah dengan bekal iman dan taqwa yang sangat kuat, dan kembalilah dengan spirit dan power of mabrur, untuk melakukan perbaikan dan pembaruan demi kejayaan bangsa. Mari kita wujudkan Indonesia Emas 2045!”. Fa’tabiru ya ulil albab. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani

Rekomendasi untuk Anda