Oleh Legisan Samtafsir, Founder Gerakan Indonesia Mabrur, Ketum Gernas Indonesia Gemilang.
Menteri Agama (Menag) RI Prof. Dr. Nasaruddin Umar MA, menyatakan bahwa pelaksanaan haji haruslah mengikhtiarkan meraih maqbul dan sekaligus mabrur (Rapat Kordinasi Nasional, 22 April 2025). Maqbul diikhtiarkan dengan memastikan rukun, syarat, wajib dan larangan haji dipatuhi, sedangkan mabrur diikhtiarkan dengan membangun suatu komitmen perbaikan setelah pulang haji.
Dengan berfokus pada keduanya, maka berarti semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan haji, baik jamaah, pembimbing, muthawwif, suporter, pemerintah dan travel, haruslah memerhatikan keseluruhannya, baik sejak proses pelaksanaan ritual hajinya, dan juga penguatan komitmen perbaikan setelah kepulangan hajinya. Dengan kata lain, seyogyanyalah, persiapan pelaksanaan haji pun harus menjangkau kedua hal tersebut.
Banyak yang mengatakan bahwa haji adalah ibadah fisik, dan karena itu persiapan fisik sangat ditekankan, yaitu kesehatan, penginapan, makanan, obat-obatan dan perlengkapan lainnya. Untuk itu petugas-petugas disiapkan secara saksama.
Baca Juga: Masjid Al-Aqsa Semakin Mengkhawatirkan
Terkait pemenuhan rukun, syarat, pemenuhan kewajiban dan larangan haji, disampaikan berulang-ulang saat manasik, dan petugas muthawwif dan pembimbing selama di Tanah Suci pun disiapkan. Untuk kekhusyukan pelaksanaan haji, para jamaah pun dilarang berbuat fasiq, rafats dan jidal atau berbantah-bantahan (QS. Al-Baqarah: 197). Semuanya itu diikhtiarkan agar hajinya lancar sesuai ketentuan fikih, dan meraih makbul di sisi Allah.
Namun, bagaimana dengan mabrur? Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Baqarah ayat 197 itu, bahwa ternyata “sebaik-baik bekal (menunaikan haji) sesungguhnya, adalah takwa”. Maka, ini pun harus dijadikan perhatian utama, harus sangat ditekankan dan harus benar-benar diikhtiarkan oleh semua pihak, yaitu ketakwaan.
Bagi jamaah, persiapan ketakwaan itu dapat dipahami dan dijalani dengan menguatkan niat yang tulus dan bersih, bahwa haji mereka adalah karena Allah (QS. Al-Baqarah: 196), bukan karena mendapatkan pujian (riya, gelar haji), memperoleh pangkat, jabatan, harta dan meraih tujuan materil lainnya. Haji adalah semata-mata karena ketundukan, kepatuhan dan keikhlasan menghadap Allah.
Bagi petugas haji yang dari pemerintah maupun swasta, yang melayani jamaah, maka ketaqwaan itu dapat dijalani dengan menguatkan tekad, bahwa mereka bertugas itu adalah karena pengabdian, membantu hamba-hamba Allah untuk menghadap-Nya, bukan sekedar mendapatkan gaji, honor dan keuntungan dari pelayanannya.
Baca Juga: Krisis Kemanusiaan di Palestina: Solusi dan Tantangan Global
Bagi para travel/agency penyelenggara haji/umrah, persiapan ketakwaan itu dapat dijalani dengan berjihad membantu hamba-hamba yang akan menghadap-Nya, juga memberikan pemahaman dan pemaknaan atas setiap prosesi ritual haji.
Perihal pemahaman dan pemaknaan itulah yang seharusnya menjadi perhatian utama dan diikhtiarkan semaksimal mungkin, khususnya oleh Travel dan KBIH, karena hal itu yang langsung terkait dengan elaborasi makna Haji untuk kehidupan professional, organisasi dan aktivitas sehari-hari, pasca pulang Haji nanti.
Ritual Haji dan Pembentukan Mindset
Sebagai ibadah ritual, haji memiliki syarat, rukun, wajib, sunnat dan larangan, yang wajib diperhatikan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh setiap jamaah. Namun, haji sebagai suatu prosesi, dapat dipahami sebagai proses pembentukan mindset dan kepribadian bagi yang melaksanakannya. Sejak ritual niat, ihram, tarwiyyah, wuquf, mabit, lontar jumrah, thowaf, sa’i, sampai dengan tahallul, adalah tahap-tahap pembentukan mindset.
Baca Juga: Bergabung dalam Perlawanan Palestina Melalui Hari Keffiyeh Sedunia
Tentu saja mindset yang dibentuk oleh haji adalah mindset yang memang sesuai dengan kepribadian dan fitrah manusia. Dan lebih jauh, mindset bentukan haji itu tidak lain adalah simpul-simpul kesuksesan dalam kehidupan professional. Oleh karena itu setiap etape ritual haji itu, harus digali dan dielaborasi dalam konteks kehidupan professional, sehingga nantinya, setelah pulang haji, itu menjadi jalan pengejawantahan kemabruran haji.
Dengan memfokuskan pada ritual yang khusyuk dan pembentukan mindset profesional itu, maka jamaah haji akan terhindar dari jebakan-jebakan haji, seperti “haji matre”, yaitu haji yang hanya dimotivasi untuk kekayaan; “haji pelesiran”, yaitu haji yang hanya untuk traveling, shopping dan refreshing; “haji Selfie”, yaitu haji yang hanya untuk pamer (flexing) dan pujian; dan jebakan “haji hajatan”, yaitu haji yang hanya untuk tujuan tertentu, semisal mau pilkada, keberhasilan proyek, naik jabatan, dan lain-lain.
Pelaksanaan ibadah haji hendaklah menjangkau kedua ranah maqbul dan mabrur sekaligus. Maqbul untuk meraih diterimanya haji oleh Allah, sedangkan mabrur adalah untuk kemabruran haji pasca kembali ke Tanah Air. Sehingga bagi jamaah, Haji tidak lagi semata-mata ritual, tetapi menjadi pembentukan mindset profesional. Fa’tabiru ya ulil albab. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Harapan Perdamaian di Palestina, Realita atau Mimpi?