HAJI MINIATUR KEHIDUPAN

Imam Shmsi Ali. (Foto: Arsip)
Imam Shamsi Ali. (Foto: Arsip)

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Tidak dapat disangkal bahwa ibadah merupakan ibadah yang diimpikan oleh banyak orang, tidak saja karena memang salah satu dari rukun , tapi juga karena prestise sosial yang dilahirkan.

Ketika seseorang telah melaksanakan ibadah haji maka sang haji itu akan dipandang sebagai seorang agamis, dan bahkan secara sosial juga memiliki posisi lebih. Hal itu karena memang untuk melaksanakan haji memerlukan dana dan terkadang juga koneksi jabatan yang baik.

Hal inilah yang menjadikan calon jamaah haji dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, bahkan di saat terjadi ekonomi krisis sekali pun. Di beberapa daerah antrian pun semakin lama, bahkan mencapai puluhan tahun. Tentu ini menggembirakan, tidak saja karena itu adalah tanda semangat berislam masyarakat yang semakin baik, tapi juga bisa jadi indikasi kemakmuran rakyat yang semakin meningkat.

Penantian panjang sebagian calon haji ini menjadikan saya terpikir apakah tidak masanya bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menfatwakan bahwa haji berkali-kali bisa, tidak saja bukan prioritas, tapi merampas hak orang lain untuk melakukan kewajibannya. Artinya, perlu ada himbauan keagamaan dan aturan pemerintah yang jelas agar “haji sunnah” (kedua dan seterusnya) itu bisa dikategorikan perampasan hak orang lain?

All-inclusive dan ibadah kehidupan

Ibadah haji adalah ibadah yang bersifat menyeluruh. Artinya ibadah haji itu mencakup seluruh rangkaian ibadah-badah ritual dan bahkan non ritual dalam Islam. Ambillah misalnya kelima rukun Islam, semuanya terwakili dalam ibadah haji itu. Ibadah haji mencakup shalat, puasa, zakat, dan sudah pasti bahwa ibadah haji dimulai dengan afirmasi tauhid “laa ilaaha illa Allah”.

Nilai-nilai yang hadir dalam ibadah haji juga menggambarkan praktek-praktek sosial Islam, baik pada tataran individu maupun tataran kemasyarakatan. Urgensi menghindari kata-kata kotor (rafats), dosa (fusuq) dan bahkan argument (jidaal) hingga kepada menyatunya jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia mengajarkan nilai sosial Islam yang universal.

Oleh karena itu maka haji mencakup seluruh bentuk ibadah dan praktek Islam. Oleh karenanya sangat wajar jika ibadah haji merupakan rukun Islam kelima (terakhir) dan merupakan kewajiban hanya sekali dalam seumur hidup. Karena memang ibadah haji menyimpulkan, tidak saja ibadah ritual Islam, tapi sekaligus menjadi miniatur kehidupan manusia itu sendiri.

Di sinilah kemudian disimpulkan bahwa salah satu makna haji adalah “hujjatun” (dalil, dasar, tanda, alasan). Karena haji dimaksudkan untuk menjadi dasar atau tanda komitmen seseorang untuk menyempurnakan keislamannya. Dan ini pula yang menjadikan hampir semua amalan-amalan ritual haji berkaitan erat dengan sirah perjalanan hidup Rasulullah, Ibrahim ‘AlaihisSallam. Karena memang beliau dipersaksikan dalam Al-Qur’an sebagai Muslim yang telah menyempurnakan agama: Wa Ibrahim alladzi waffa (Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan). Juga di ayat lain: Wa idzibtalaa Ibrahima Rabbuhu bikalimaatin fa atammahunna (Dan ingat ketika Allah menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat, dan dia menyempurnakannya)

Zaad Persiapan hidup
Hampir tidak ada ibadah dalam Islam yang secara khusus memiliki perintah untuk mempersiapkan kecuali haji. Perintah itu didapatkan di dalam Al-Qur’an: Watazawwadu fa inna khaeraz zadi at-taqwa (bersiap-siaplah dan sebaik-baik persiapan itu adalah ketakwaan).

Hal ini menjadi urgen karena memang ibadah haji adalah perjalanan yang suci yang memerlukan persiapan yang menyeluruh. Persiapan menyeluruh yang dimaksud adalah persiapan materi/fisik, mencakup harta dan kesehatan badan. Juga persiapan akal/ilmu, minimal pengetahuan dasar tentang manasik haji. Dan juga persiapan mental/spiritual atau persiapan hati yang matang. Bahkan ini seharusnya dominan sehingga Al-Qur’an mengatakan “sebaik-baik persiapan adalah ketakwaan”.

Kalau saja kita hubungkan antara perjalanan haji dan kehidupan manusia maka relevansinya semakin jelas ketika kita pahami bahwa kehidupan manusia itu sesungguhnya juga adalah perjalanan suci (ibadah). Kehadiran kita di atas dunia ini tidak lain adalah: “Tidaklah sesungguhnya Kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. Oleh karenanya kehadiran kita atau tepatnya perjalanan dunia kita adalah untuk beribadah maka perjalanan ini harus dipahami sebagai “perjalanan suci”.

Sebagaimana haji, perjalanan suci kehidupan ini tidak akan efektif dan terpenuhi (fulfilling) kecuali jika dipersiapkan secara sempurna. Dan persiapan yang sempurna itu hanya dengan tiga hal tadi; persiapan fisik atau materi, persiapan akal atau ilmu, dan persiapan mental atau hati. Ketiga hal inilah yang akan menjadi dasar pembangunan kemanusiaan kita yang sempurna. Manusia yang memiliki kapasitas materi atau jasad, akal atau ilmu dan hati.

Dan ketiga hal itu menjadi kunci risalah Islam dalam menuntun manusia menjalani kehidupan ini.

Ihram: fitrah, visi hidup dan kematian

Ihram adalah amalan pertama dalam proses perjalanan suci itu. Ihram dimulai dari tempat tertentu (maqam) dan ditandai dengan mengganti pakaian keseharian dengan dua potong kain sederhana. Ihram menjadi rukun pertama haji sekaligus menentukan arah perjalanan selanjutnya.

Ihram sesungguhnya adalah kata lain dari niat memulai perjalanan haji itu. Hanya saja niat dalam berhaji dan umrah disebut ihram karena memiliki konotasi luas. Yaitu bahwa ihram menyimbolkan visi hidup manusia secara keseluruhan. Bahwa perjalanan hidup itu memerlukan niat yang jelas, yaitu: “Labbai allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wanni’mata laka walmulk laa syarika lak”.

Niat awal perjalanan haji adalah memenuhi panggilan Allah: Labbaik! Dan visi perjalanan hidup manusia juga tidak lain adalah memenuhi panggilan-Nya untuk semata beribadah kepada-Nya: Liya’budu Allah mukhlishna lahuddin.

Dimulainya perjalanan haji ini dengan “ihram” dan komitmen “Labbaika laa syarika laka labbaik” juga mengajarkan bahwa perjalanan hidup manusia itu memang dimulai dengan komitmen: tauhid. Tauhid ini terpatri dalam firah setiap insan yang memang lahir dalam keadaan fitri (suci).

Pada akhirnya ihram juga disimbolkan dengan mengganti pakaian dengan dua potongan kain sederhana. Menggambarkan bahwa simbol-simbol sosial dunia kita akan berakhir dengan kesederhanaan. Kita hadir dengan ketiadaan, kesederhanaan, dan kita pun akhirnya akan kembali dengan hal yang sama. Dunia ini apa pun bentuk dan warnanya hanya sementara dan akhirnya kita akan kembali kepada-Nya tanpa kebanggaan-kebanggaan sosial itu lagi.

Arafah: Affirmasi kesadaran Tauhid

Al-hajju Arafah, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bahwa intisari haji itu ada pada wukuf di Arafah. Kenapa demikian? Karena memang di sanalah sebelum memulai langkah selanjutnya para hujjaj berjuang menemukan diri dalam samudra kebesaran “DIA”, yang menciptakan dan merajai langit dan bumi. Sehingga sangat wajar jika dzikir yang terafdhol di Padang Arafah adalah: Laa ilaaha illa Allah wahdahu laa syarika lahu, lauhl mulku walaul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa alaa kullli syaein qadir.

Perjalanan suci ini tidak akan sama sekali diterima, tidak dengan kaffarah sekali pun jika tidak dilaksanakan atau sah. Sehingga siapa pun yang berhaji dan dalam kondisi bagaimana pun, walau sekarat, harus dibawa ke padang Arafah walau sesaat agar hajinya diterima.

Demikian pula perjalanan suci kehidupan manusia. Tanpa kesadaran Tauhid, Laa ilaaha illa Allah, maka perjalanan itu menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Hanya dengan dasar tauhid hidup manusia akan memiliki makna dan tujuan yang jelas, dan apapun yang terjadi setelah itu akan selalu ada solusi. Dengan “laa ilaaha illa Allah” manusia akan hidup dengan jaminan keselamatan.

Sebaliknya tanpa laa ilaaha illa Allah, atau ketika kehidupan dipenuhi oleh kesyirikan (akibat hilangnya tauhid) maka kehidupan itu menjadi kehidupan amburadul dan membawa kepada kecelakaan. Itulah inti dari seseorang yang meninggal dalam keadaan syirik, maka dia tidak akan bisa diampuni dan mendapatkan kecelakaan abadi itu.

Sebaliknya, dengan kehadiran tauhid dalam kesadaran manusia makan akan terjadi keselamatan dunia akhirat, sekecil apa pun itu: Man kaana fi qalbihi midzqala habbatin min khardalin minal iman, dakhalal jannah (siapa yang memiliki iman dalam hatinya walau sebesar dzarroh, maka dia akan masuk surga).

Lingkaran Kehidupan

(Foto: SkyCrappercity)
Masjidil Haram. (Foto: SkyCrappercity)

Kehidupan manusia adalah perjalanan yang berputar dari satu titik poin ke titik poin yang sama. Dari satu poros ke poros yang sama. Ini yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an yang biasanya teringat ketika seseorang meninggal dunia: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kehidupan manusia memang berputar dan terus berputar tanpa henti. Dan manusia hanya dua pilihan; melakukan irama pergerakan bersama dengan kehidupan itu atau tergilis oleh pergerakan kehidupan itu. Hidup naik dan turun, berubah warna warni dari satu masa ke masa yang lain.

Di saat menjalankan ibadah haji, ada sebuah amalan penting yang menggambarkan ini. Tawaf berarti berjalan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh keliling. Dimulai dari arah hajar aswad, sebuah sudut yang diyakini tertempel bau hitam yang terjatuh dari syurga (awalnya putih bersih). Dan juga berakhir di sudut yang sama.

Ketika bertawaf akan terjadi keadaan berbeda-beda. Terkadang lancar, terkadang penuh sesak. Terkadang damai dan lancar, terkadang penuh gesekan dan desakan. Manusia juga secara bergelombang ada yang keluar (meninggalkan) dan ada juga yang masuk memulai tawaf.

Sesunggunya semua keadaan tawaf itu menggambarkan perputaran kehidupan manusia. Bahwa dalam perjalanannya ada masa ketika keadaan menjadi tenang, damai dan lancar, dan ada masa di mana terjadi sebaliknya. Dalam kehidupan manusia juga terjadi gelombang pergantian. Ada yang keluar (meninggal) dan ada yang masuk (datang atau lahir) ke dalam kehidupan itu.

Apa pun itu, kedua perputaran ini (tawaf & kehidupan manusia) memiliki hal yang mutlak menjadi pegangan. Yaitu menjadikan Ka’bah berada pada titip poin (sentra) perputaran. Artinya apa pun keadaan di Masjdil Haram, Ka’bah harus tetap menjadi acuan perputaran. Ka’bah sebagai simbol “Al-Haqq” itu sesungguhnya juga mutlak menjadi “titik poin” perjalanan suci kehidupan manusia.

Itulah sesunggunya makna: inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Kita dari Allah, milik Allah, dan akan kembali kepada Allah semata…Allah Subhanahu Wa Ta’ala pusat kehidupan itu.

Kejar kehidupan

Tak lama berselang Nabi Allah, Ibrahim ‘AlaihisSallam, meninggalkan anak dan isteri tercintanya di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan itu (waadin ghaeri dzi zar’in), sang isteri, Siti Hajar pun kehabisan perbekalan. Bahkan air susu untuk menghidupi anaknya pun telah kering.
Dalam keadaan bingung itu beliau menengok ke arah sebuah bukit kecil (Sofa), persis sebelah kanan arah hajar Aswad di Ka’bah. Beliau seolah melihat ada genangan air di atas bukit itu. Beliau berlari ke sana untuk mendapatkan air itu. Tapi apa dikata, ternyata apa yang dilihat itu hanya sekedar fatamorgana semata.

Beliau menengok ke belakang ke sebuah bukit seberang (Marwah) sekali lagi beliau seolah melihat genangan air. Hajar pun berlari menuju bukit itu tapi beliau tidak menemukan apa-apa. Kepanikan menjadikan beliau berlari dari bukit satu ke bukit yang lain itu hingga tujuh kali, dan akhirnya terdengar tangisan anaknya. Tangisan ini menyadarkan beliau untuk segera menghentikan itu dan kembali melihat anaknya itu.

Tanpa disangka dan diluar perkiraannya, ternyata dari bawah kaki anak yang masih bayi itu keluar air yang segar untuk diminum. Saking banyaknya Hajar pun berteriak: Zammi, zammi, zammi! (berhenti, berhenti, berhenti).

Itulah sekilas cerita perjuangan Hajar, istri Ibrahim dan ibu Ismail ‘AlaihisSallam. Sebuah perjuangan suci dalam menggapai rezeki Allah demi kelanjutan hidupnya dan anaknya. Berjalan dari bukit Sofa ke bukit Marwah mencari air (sumber kehidupan), tapi Allah memberikannya dari tempat yang lain.

Manusia dalam kehidupannya juga diperintahkan untuk berusaha (sa’yun) semaksimal mungkin untuk menemukan rezeki itu. Tapi ada satu hal yang mutlak dipahami bahwa tugas manusia hanya berjalan dan berjalan untuk menemukan air kehidupan itu. Namun, bukanlah hak manusia untuk menentukan di mana dan berapa banyak air yang akan ditemukannya. Karena memang hasil akhir itu adalah hak prerogatif Allah, Yang Ar-Razzaq al-Alim.

Musuh abadi

Ketika Allah menurunkan Adam ke atas bumi ini, Allah berpesan: Turunlah kamu semua ke atas bumi ini dalam keadaan bermusuhan (Adam dan Iblis).

Ayat itu mengindikasikan bahwa manusia itu hidup dengan musuh yang nyata (aduwun mubin). Musuh manusia itu adalah musuh yang sejak awal berikrar untuk menyesatkan anak-cucu Adam ‘AlaihisSallam, bahkan memohon agar diberikan kesempatan hingga akhir hayat dunia ini (ilaa yaumi yub’atsun).

Kesadaran permusuhan abadi inilah yang diajarkan oleh haji ketika berada di Muzdalifah dan Mina. Persiapan peperangan abadi itu dipersiapkan dengan dzikir, persiapan hati: Wadzkurullah indal masy’aril haram di Muzdalifah. Keesokan harinya dilanjutkan dengan peperangan langsung untuk memusnahkan musuh itu (melempar jumrah), yang dimulai dari musuh terbesar (jamrah kubra). Musuh terbesar manusia itu ada pada dirinya sendiri. Ketika musuh itu tertaklukkan, maka musuh-musuh yang lain sangat mudah dikalahkan.

Amalan-amaln ritual Muzdalifah dan Mina inilah merupakan amalan terpanjang dalam perjalanan haji ini. Sekaligus menandakan bahwa permusuhan dan peparangan itu memang bersifat abadi. Manusia harus menghadapi musuhnya secara serius dan konsisten. Tidak bermusuhan selalam sebulan (Ramadhan) tapi bersahabat selama 11 bulan lainnya.

Universalisme Islam

Tidak ada perintah ibadah dalam Islam yang dalam perintahnya Allah memakai kata: Wahai manusia, kecuali haji. Dalam Al-Qur’an di sebutkan: Walillahi alan-naas hijjul baeti (Dan untuk Allah manusia hendaknya melakukan haji ke Baitullah). Ketika Ibrahim diperintah untuk mengumumkan kewajiban haji, Allah mengatakan: Wa azdzdin fin-naas bilhajji (Kumandangkan kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji).

Di sinilah haji hadir mengingatkan akan universalisme ajaran Islam. Bahwa Islam itu adalah agama manusia seluruhnya, tanpa ikatan dan kaitan sekat-sekat etnik, ras dan bangsa. Dan karenanya Islam adalah agama global yang hadir untuk seluruh alam. Allah adalah Tuhan manusia dan alam semesta, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, dan Rasul adalah kasih sayang untuk seluruh alam semesta.

Haji mengingatkan bahwa warna kulit, postur tubuh, status sosial dan ekonomi, bahan afiliasi partai politik, bukanlah penentu kemuliaan seseorang di sisi Tuhannya. Kemuliaan hanya ditentukan oleh satu faktor saja, yaitu ketakwaan yang didasarkan kepada hati dan karya (iman dan amal) saja.

Ibadah haji juga mengingatkan bahwa umat ini adalah komunitas yang paling siap menghadapi abad globalisasi. Karena sesungghnya umat ini telah persiapkan untuk memasuki era global sejak abad ke tujuh. Rasulullah adalah sosok yang locally acted, but globally thought. Pikiran beliau menjamah barat dan timur, utara dan selatan dunia kita.

Haji mabrur dan transformasi kehidupan

Harapan tertinggi dari setiap jamaah haji adalah untuk mendapatkan haji mabrur. Tapi apakah haji mabrur itu? Haji mabrur adalah haji yang telah dilakukan secara baik sehingga membawa kepada proses perbaikan. Intinya adalah bahwa haji mabrur itu adalah haji yang diterima karena dilakkan dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Masalahnya adalah diterima atau tidak sebuah amal itu memang ada di rahasia Ilahi. Tak seorang pun yang bisa tahu apakah amalnya diterima atau ditolak. Akan tetapi ada tanda-tanda yang bisa terlihat dari kehidupan seseorang, jika ibadahnya itu diterima atau tidak.

Dalam haji, sesungguhnya tanda-tanda itu dapat dilihat pada perubahan hidup seorang haji. Seseorang dapat melihat kenyataan hidupnya sebelum dan sesudahnya, apakah ada perubahan ke arah yang lebi baik dan positif atau sebaliknya kembali seperti semula, yang kemungkinan kurang baik? Atau boleh jadi setelah haji kehidupannya justeru akan lebih negatif, mungkin karena pengaruh prestise hajinya?

Intinya adalah haji mabrur itu harus membawa transformasi kehidupan manusia. Ini yang disebutkan dalam bahasa hadits sebagai: kayaumi waladthu ummuhu (ibarat di hari dia diahirkan oleh ibunya). Bahwa haji mabrur akan menjadikan sesoerang memiliki jiwa atau hati yang fitri (bersih) dan prilaku akhlak, baik secara vertikal maupun horizontal yang lebih baik.

Jangan sampai seseorang itu berhaji berkali-kali, tapi juga korupsi menjadi-jadi. Jadilah gelar haji sekedar hijab an bahkan justifikasi kehidupan yanag semakin keji. Wal’iyazdu bilah!

Husnul khatimah

Akhirnya sebagai penutup dari seluruh rangkaian perjalanan haji itu, sebelum meninggalkan tanah suci, jamaah haji diwajibkan untuk melaksanakan satu lagi amalan ritual, yaitu tawaf wada’ (tawaf selamat tinggal).

Amalan ini menjadi sangat krusial karena merupakan simbolisasi akhir perjalanan hidup dengan penutup yang baik (happy ending). Jangan sampai perjalanan haji itu justeru ditutup dengan kesibukan berbelanja, apalagi bergosip dan fitnah. Oleh karenanya sebelum meninggalkan kota Mekah hendaknya dilakukan dengan melakukan tawaf wada’.

Harapannya, semoga di akhir perjalanan suci kehidupan manusia itu ditutup dengan tawaf. Tawaf yang menggambarkan di mana Allah (kebenaran) tetap menjadi “pusat” kehidupan. Dan sesungguhnya inilah makna ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Maka barangsiapa yang kata-kata terakhir yang diucapkan adalah Laa ilaaha illah Allah, dia masuk ke dalam syurga.

Dan ini pula yang diistilahkan sebagai mati dalam keadaan “husnul khatimah”. Semoga Allah mewafatkan kita semua dalam keadaan husnul khatimah!

Demikian sekilas makna-makna haji dalam kehidupan manusia. Hal ini sangat penting untuk diselami karena selama ini jangan-jangan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beribadah dan sekedar menghitung-hitung pahala. Seolah-olah syurga Allah dapat dibeli dengan jumlah pahala yang telah kita dapatkan. Padahal, seseorang masuk syurga tidak juga karena amalnya tapi karena rahmah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Yang lebih payah, karena ibadah-ibadah yang kita lakukan disibukkan dengan hal-hal fiqh yang terkadang penuh dengan khilafiyah, bahkan membawa kepada perpecahan, menyebabkan ibadah itu kering tanpa bekas dalam prilaku sosial pelakunya.

Dan kalau ini terjadi maka itulah kebangkrutan yang paling menakutkan. Ketika manusia menghadap Allah dan bangga dengan semua amalan ibadahnya tapi justeru ibadah-badah itu tidak dapat menyelamatkannya dari dosa-dosa sosial yang pernah mereka lakukan. Wal’iyadzu billah!

(L/R05/R03)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timurKota  New York, Amerika Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika. 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0