Oleh: Yasmi Adriansyah,Ph.D., Pendiri Center for Policy, Business, and International Studies
Haji 2022 terbilang istimewa. Dia dilabeli akbar karena wukuf Arafah jatuh di hari Jumat. Dia disebut spesial karena normalisasi usai jeda dua tahun akibat pandemi.
Namun ibadah haji seyogianya selalu istimewa. Allah azza wa jalla menjanjikan balasan surga bagi insan yang gigih memperjuangkannya.
Ia juga istimewa karena merupakan puncak ibadah, bagi yang mampu, dan siap, untuk jalankan amanah.
Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan
Sebagaimana lazimnya, dalam barisan jamaah haji, sebagian pemimpin negeri hadir di tanah Mekkah.
Apakah dalam kapasitas presiden-wakil presiden, amirul hajj, menteri, undangan Raja Saudi, atau memang ikhtiar pribadi.
Mereka semua menyatu, dalam balutan kain sederhana bernama ihram.
Semua terlihat, dan memang begitulah esensinya, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas
Bagi para pemimpin negeri, ibadah haji kiranya dapat dijadikan sarana kontemplasi diri. Bahwa semua yang kita miliki, dan jalani, adalah amanah.
Ia adalah tanggungjawab, bukan jajaran nikmat.
Ia mensyaratkan akuntabilitas, bukan taburan fasilitas.
Ia akan dihisab, dengan hitungan bahkan sampai sekecil zarrah.
Baca Juga: 58 Tahun Naksa: Al-Aqsa dan Gaza, Ujian Kemanusiaan Tak Kunjung Usai
Lebih jauh lagi, bagi para pemimpin negeri, yang tengah atau sudah tunaikan, kiranya ibadah haji dapat dijadikan momen sinergi.
Bahwa adanya perbedaan posisi, penguasa atau ‘oposisi’, adalah keniscayaan, atau bahkan sunnatullah.
Bahwa perbedaan misi politik, terlebih dalam konteks demokrasi, adalah kelaziman.
Bahwa perbedaan cara pergerakan, khususnya bagi Indonesia yang majemuk, merupakan realita sejarah.
Baca Juga: Haji untuk Palestina
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negeri yang penuh keragaman. Ia dapat menjadi kekuatan, tatkala dikelola dengan baik.
Namun ia pun dapat menjadi musibah, jika disalahgunakan.
Dalam konteks itulah, ibadah haji dapat menjadi sarana sinergi. Bahwa keragaman adalah keniscayaan.
Namun di hadapan Allah azza wa jalla, semua sama. Kecil, rendah, bahkan hina. Adapun yang meninggikan adalah taqwa.
Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dalam Cahaya Idul Adha
Salah satu bentuk ketaqwaan adalah kemanfaatan bagi sesama. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam pernah bersabda, “Khoyrunnas amfa’uhum linnaas.” Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.
Menjadi pemimpin sejatinya membuka peluang lebar untuk menjadi manusia terbaik, dalam ketaqwaan.
Karena mereka memiliki peluang menebar manfaat sebesar-seluas mungkin.
Manfaat ini akan menjadi semakin besar dan semakin luas, jika mereka saling bersinergi.
Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka
Tentu bersinergi memerlukan pengelolaan ego dalam perbedaan.
Posisi, misi politik, atau cara pergerakan, harus ditata. Ia hanyalah alat, bukan tujuan.
Harapannya, semua menyatu dalam tujuan kolektif kemaslahatan. Bagi umat, NKRI, dan bahkan bagi peradaban. Wallahu a’lam.
Makkah, 7 Dzulhijah 1443 H. / 6 Juli 2022 M.
Baca Juga: 58 Tahun Hari Naksah Palestina, Perlawanan Tak Pernah Padam
(R/R1/Rs2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Siapa Putra Nabi Ibrahim yang Disembelih?