Haji Sebagai Kewajiban dan Tiang Agama (Oleh: Imam Shamsi Ali)

Oleh: , Presiden Nusantara Foundation, New York

Menjadi kesepakatan ummah bahwa haji merupakan kewajiban (tardho) bagi seluruh orang yang beragama Islam, dan telah memenuhi persyaratan kewajibannya.

Terdahulu telah disebutkan ayat Al-Quran: ”dan bagi Allah atas manusia untuk melakukan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya”.

Bahkan lebih jauh, Rasul Shalallahu alaihi wasallam menetapkan Ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun Islam: ”Islam didirikan di atas lima dasar: Syahadah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”.

Oleh karena merupakan kewajiban sekaligus rukun agama, semua umat sepakat (ijma’ al-ummah) menerimanya sebagai fardhu. Bahkan melakukan ibadah haji menjadi impian semua umat.

Pada masa lalu menunaikan ibadah haji itu bahkan dilabeli sebagai ”panggilan” khusus. Sebagian yang tidak atau belum menunaikan haji menjadikan hal ini sebagai alasan. ”ah belum ada panggilan”, kata mereka.

Juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama jika haji itu kewajibannya hanya sekali dalam hidup. Artinya kewajibannya menjadi selesai ketika melakukannya pertama kali. Kalaupun seseorang melakukan haji berkali-kali setelah itu maka hajinya bukan kewajiban. Melainkan ibadah sunnah yang mendapat pahala dari sisiNya.

Ketika perintah haji disampaikan kepada para sahabat mereka bertanya: ”apakah setiap tahun ya Rasul? Ditanya seperti itu beliau diam. Ditanya lagi hal yang sama tapi beliau diam. Hingga pada pertanyaan ketiga beliau menjawab: “kalau saja saya katakan iya, maka telah wajib atasmu setiap tahun”.

Karenanya beliau diam untuk menegaskan bahwa sebuah perintah yang jelas jangan lagi dipertanyakan. Karena akibatnya bisa menjadi lebih rumit dan membebankan.

Oleh karena kewajiban haji hanya sekali, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah harus segera melakukan kewajiban itu? Atau dapatkah ditunda dan kapan saja selama masih hidup?

Semua ulama memberikan jawaban tegas bahwa kewajiban haji harus dilakukan sesegera mungkin jika ”syarat-syarat kewajiban” itu telah terpenuhi.

Yang membolehkan menunda  pelaksanaan kewajiban haji hanya Imam Syafi’i. Itupun dengan sebuah persyaratan. Bahwa orang yang menunda menunaikan ibadah haji, padahal sudah memenuhi syaratnya, harus yakin untuk tidak mati hingga dia melaksanakannya.

Persyaratan ini sesungguhnya adalah persyaratan penegasan saja. Bahwa kalau dia sudah mampu, tapi tetap tidak melaksanakannya dan mati maka dia akan mati dalam keadaan berdosa besar. Bahkan matinya dimiripkan sebagai mati dalam keadaan ”nashronian atau yahudian”.

Kembali kepada syarat-syarat kewajiban haji di atas, para ulama menyebutkan lima syarat wajibnya haji atas seseorang.

Pertama, orang itu memang beragama Islam. Kedua, orang tersebut balig (pada lelaki ditandai dengan mimpi basah biasanya. Pada wanita dengan datangnya haid pertama). Ketiga, yang bersangkutan berakal sehat.

Ketiga syarat di atas menjadi syarat semua ibadah dalam Islam. Non Muslim, anak-anak di bawah umur, dan yang sedang gila tidak diwajibkan melaksanakan ibadah dalam Islam.

Lalu syarat keempat dari kewajiban haji adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang merdeka. Pada masa lalu aturan ini merupakan ”rahmah” bagi para budak yang menjadi Muslim. Karena mereka masih dalam kepemilikan tuannya dan itu tidak memungkinkan mereka untuk melaksanakannya.

Dan yang kelima adalah bahwa yang bersangkutan memang memiliki isthitho’ah. Yaitu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hadits-hadits ditegaskan dua hal tentang kemampuan ini.

Satu, adalah menyangkut perjalananan (rahilah) atau bisakah seseorang itu sampai ke sana?

Pada masa lalu ini menyangkut onta, kuda atau kemampuan berjalan hingga sampai ke tanah suci. Saat ini saya yakin itu terkait dengan alat transportasi. Jika dibawa ke rana faktualnya maka mampukah yang bersangkutan membeli tiket pesawat?

Kedua, menyangkut perbekalan (zaad). Saya yakin semua ini masuk dalam kategori ONH (Ongkos Naik Haji). Ujung-ujungnya juga adalah apakah uang tersedia atau tidak.

Dalam hal istitho’ah ini memang banyak pertanyaan yang terkait. Misalnya bagaimana jika masih ada utang? Termasuk misalnya utang ansuran bayar membeli rumah bulanan atau mortgage?

Hal itu akan dibahas pada masanya. Tapi intinya adalah kewajjban haji adalah masuk dalam kewajiban utama Islam. Dan hendaknya segera dilakukan jika persyaratan wajibnya telah terpenuhi.

Pertanyaan yang terkait barangkali, khususnya yang dari negara mayoritas Muslim seperti Indonesia adalah masalah quota.

Dengan aturan quota dari pemerintah Arab Saudi, bagaimana yang terjadwal berangkat 20 tahun mendatang tapi meninggal sebelum berangkat? Saya dengar saat ini dengan krisis Covid 19 sebagian malah menunggu hingga 90 tahunan. Dapat dipastikan jamaah yang bersangkutan tidak akan berangkat.

Lalu bagaimana status hukumnya? Jawabannya dia sudah terlepas dari kewajiban haji. Karena sejak mendaftar dia sudah berniat melaksanakan kewajjbannya. Tapi karena satu dan lain hal yang bersangkutan belum sempat. Namun niatnya sudah dihitung sebagai ibadah haji di sisi Allah Subhanallahu wata’ala.

Semoga Allah mengaruniai haji mabrur bagi mereka yang berhaji. Amin. (AK/RE1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)