Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redatur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Komunitas bisnis Muslim di negara bagian Haryana, India, menghadapi seruan boikot ekonomi dari organisasi sayap kanan Hindu, setelah kekerasan komunal melanda wilayah itu. Demikian dilaporkan Al Jazeera, Ahad 13 Agustus 2023.
Hal itu kelanjutan dari bentrokan sektarian yang meletus di distrik Nuh pada 31 Juli 2023, setelah prosesi keagamaan oleh organisasi Vishwa Hindu Parishad yang katanya diserang.
Bentrokan segera menyebar ke distrik lain, Gurugram. Sebuah masjid dibakar dan wakil imam masjid, Mohammad Saad (22), tewas.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Beberapa waktu lalu, seorang pemuda Muslim dipukuli sekelompok orang di daerah Charminar, Hyderabad Negara bagian Telangana, India tengah-selatan.
Mohammed Shahid warga Hussainialam, dipukuli karena tidak mau meneriakkan slogan ‘Jai Sri Ram’ dalam prosesi Bonalu di kota tua.
‘Jai Sri Ram’ merupakan seruan untuk kejayaan Raja Ramacandra yang dipakai umat Hindu sebagai simbol kepercayaan, dan bisa dipakai oleh organisasi nasional Hindu seperti Partai Bharatiya Janata (BJP).
Tahun lalu, Polisi di ibu kota India, New Delhi, menangkap wartawan Muslim, Mohammed Zubair, dengan tuduhan sentimen agama melalui cuitan yang ia unggah pada 2018.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Zubair, salah satu pendiri situs pengecekan fakta Alt News, ditangkap Senin malam, 27 Juni 2023, dan ditahan selama sehari oleh polisi.
Dia ditangkap menyusul pengaduan oleh akun Twitter @balajikijaiin, di mana orang yang bersangkutan menuduh jurnalis Muslim berusia 39 tahun itu telah menghina umat Hindu dengan mengomentari penggantian nama sebuah hotel setelah dewa kera Hindu Hanoman.
Tindakan represif pemerintah India tidak lepas dari ideologi Organisasi RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), induk Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa, yang mempromosikan India sebagai tanah air utama bagi umat Hindu, dengan mengabaikan keragaman populasi dan tradisi pluralistiknya.
Marjinalisasi pun terjadi ketika individu atau kelompok tertentu menghadapi akses terbatas ke layanan dan peluang penting, minoritas agama yang terpinggirkan, dan menargetkan mereka adalah sesuatu yang normal di India modern.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Padahal Hak Asasi Manusia (HAM) bertujuan untuk mencegah pengecualian tersebut dan memberikan setiap orang hak untuk menyuarakan pendapat mereka, diperlakukan sama di bawah hukum, dan berpartisipasi dalam diskusi publik tentang masyarakat mereka.
Pemerintah pimpinan Partai Bharatiya Junta (BJP) di bawah Perdana Menteri Narendra Modi telah berusaha menekan kelompok minoritas ini.
Sejak masuk ke dunia politik pada Oktober 2001 ketika Modi diangkat, bukan dipilih, sebagai menteri utama Gujarat di tengah Islamofobia pasca-9/11, RSS telah menemukan iklim politik yang menguntungkan.
Menurut catatan Samaa News, sebuah media vocal Urdu, Pakistan, menyebutkan, selama masa jabatannya, pogrom (penghancuran dengan kekerasan) anti-Muslim tahun 2002 di Gujarat menyebabkan kerusuhan komunal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Ini menandai dimulainya era kelam marjinalisasi hak asasi manusia di India di bawah rezim Modi.
Propaganda kebencian terus berlanjut hingga hari ini, memengaruhi minoritas Muslim yang signifikan di India, yang berjumlah sekitar 200 juta orang.
Kebangkitan Hindutva telah menyebabkan Nasionalisme Eksklusi.
Ideologi mempromosikan India terutama sebagai tanah air bagi umat Hindu, mengabaikan populasinya yang beragam dan tradisi pluralistik.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Ideologi Hindutva juga telah menyebabkan kebijakan agresif dan perlakuan buruk terhadap minoritas sejak pemisahan.
Muslim, Kristen, dan Dalit dipandang sebagai orang lain dan ditolak kewarganegaraan yang setara dalam konsep negara Hindu.
Kekerasan HAM
Meenakshi Ganguly dari Human Rights Watch (HRW) mengkritik promosi ideologi mayoritas Hindu. Insiden cambuk publik, hukuman mati tanpa pengadilan, dan serangan terhadap minoritas, termasuk Muslim, Kristen, Dalit, dan Sikh, telah didokumentasikan di India di bawah kepemimpinan Modi. Sementara Pengadilan India yang penuh kekerasan ini mengklaim sebagai normal baru.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Muslim menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan representasi politik. Bias polisi memengaruhi perlindungan mereka, dan pembatasan kebebasan beragama menambah tantangan mereka.
Jemaat dan sekolah Kristen pun telah menjadi sasaran kelompok ekstremis Hindu, dengan respon polisi yang seringkali kurang. Situasi ini menimbulkan keprihatinan hak asasi manusia yang serius.
Terkait dengan marjinalisasi BJP yang kejam, penting untuk menyoroti bahwa di Manipur, India, konfrontasi berkelanjutan antara kelompok Hindu Meitei dan suku Kristen Kuki telah mengakibatkan lebih dari 100 kematian, pemindahan sekitar 40.000 orang, dan kerusakan properti yang substansial.
Bentrokan ini diperparah oleh ideologi ekstremis Hindutva, yang mengobarkan aspirasi komunitas Meitei untuk menguasai suku Kuki.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Skenario ini menjadi sangat meresahkan ketika seseorang mempertimbangkan video yang menangkap serangan fisik terhadap dua wanita Kuki-Zo, sebuah peristiwa yang telah menimbulkan kritik luas.
Selain itu, Dalit, atau Kasta Terdaftar, menghadapi marjinalisasi yang parah meskipun ada perlindungan hukum dan tindakan afirmatif.
Keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan telah melanggengkan kemiskinan dan menghambat mobilitas sosial.
Diskriminasi berbasis kasta pun terus berlanjut, terutama yang mempengaruhi perempuan Dalit.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Selain minoritas lainnya, Sikh juga mengalami diskriminasi agama, pendidikan, dan tempat kerja di seluruh negara bagian India dan kejahatan rasial karena interpretasi bias terhadap kebijakan pemerintah yang memicu gerakan Khalistan.
Mengatasi masalah ini membutuhkan perlindungan semua hak warga negara, mempromosikan keadilan, dan memberantas diskriminasi untuk keadilan sosial sejati dan inklusivitas di India.
Pemerintah BJP sebagian besar meminggirkan minoritas mereka melalui langkah agresif mereka.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Apa yang menjadi kebijakan yang tak bijak pemerintah India yang memarjinalkan hak asasi manusia minoritas melalui langkah agresif mereka, menjadikan India sebangun dengan tindakan apartheid yang dilakukan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Ini seperti disimpulkan Ndileka Mandela, cucu tokoh anti-apartheid Afrika, Nelson Mandela, bahwa jika tanpa intervensi dari dunia internasional, India berisiko menjadi negara apartheid Islamofobia. Ini karena tindakan-tindakan yang telah merusak apa yang dulunya merupakan demokrasi terbesar di dunia.
Apartheid telah bermunculan di seluruh India, mulai dari melarang pernikahan, mencabut kewarganegaraan India, hingga kekerasan massa yang merajalela. (The Star, India: An Apartheid State Paperback, 28 Desember 2017).
Termasuk berbagai kebijakan yang sering mempengaruhi banyak minoritas India, mereka secara tidak proporsional mempengaruhi populasi Muslim yang besar di negara itu, dan mendorong siklus Islamofobia yang berdampak pada dunia yang lebih luas.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
India berisiko menjadi negara apartheid yang sangat dibenci oleh para pemimpin terdahulu seperti Mandela, termasuk pendiri India sendiri, Mahatma Gandhi.
India telah kehilangan kesempatan untuk menyembuhkan perpecahan agama, yang dapat menyebabkan dampak serius selama periode ketidakstabilan geopolitik dan ekonomi, dalam negeri India sendiri.
Senada dengan itu, Dr. Junaid Ahmad dari Universitas Peshawar mengatakan, India adalah negara Hindu dengan sistem kasta yang pada dasarnya mempromosikan ketidaksetaraan dan apartheid dalam arti sebenarnya.
Kasta Hindu yang lebih rendah dianggap tidak tersentuh dan karena itu tidak memiliki hak untuk hidup.
Negara Hindu juga memperlakukan pemeluk agama lain sebagai orang tak tersentuh yang memiliki hak terbatas.
Ada ribuan kerusuhan di India sejak didirikan pada tahun 1947. Ada kerusuhan Hindu Kasta Atas vs Dalit, kerusuhan Hindu-Muslim, kerusuhan Hindu-Kristen, kerusuhan Hindu-Sikh, kekejaman yang dilakukan di Kashmir, Nagaland, Mizoram, dan tempat-tempat lain yang dikuasai India.
Penganiayaan terhadap perempuan, pembunuhan anak perempuan dan aborsi juga mencerminkan pendekatan Hindutva terhadap kaum perempuan.
Tegakkan Tolerasnsi dan Persaudaraan
Langkah-langkah pemerintahan India di bawah PM Narendra Modhi sesungguhnya telah mencoreng nilai-nilai luhur Mahatma Gandhi, salah satu founding fathers (Bapak Pendiri) negara besar India. Gandhi tokoh kemerdekaan India dan pejuang gerakan tanpa kekerasan adalah penganut Hindu yang taat dan mengedepankan toleransi antar umat beragama.
Pendahulu lainnya, Perdana Menteri pertama Jawaharlal Nehru yang merupakan negarawan India pertama 1947-1964, juga sangat mengedepankan nilai-nilai toleransi tanpa melihat perbedaan apapun dalam kondisi sosial masyarakat.
Itu jugalah yang Nehru perjuangkan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, bersama tokoh-tokoh Asia, Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Muhammad Ali Bogra (Pakistan), John Kotelawala (Srilangka), dan dari U Nu (Myanmar) yang mengkampanyekan kehidupan bebas dari penindasan menjadi jiwa-jiwa merdeka.
Sebuah konferensi internasional yang mewujudkan visi memperat kebersamaan, solidaritas antara sesama, dan memperkuat persaudaraan antar berbagai komponen bangsa.
Namun kini, reputasi dan wajah India sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia, justru tercemar kemelut politik deskriminasi agama dan kebijakan apartheid yang sedang merajalela.
Lingkaran kekerasan terorganisir terhadap sesama anak bangsa dan warga dunia yang harus segera dihentikan oleh dunia internasional. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)