Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Halal Bihalal Sebagai Media Silaturahim

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 13 Juli 2016 - 23:41 WIB

Rabu, 13 Juli 2016 - 23:41 WIB

839 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Suasana Idul Fitri pada bulan Syawwal di Indonesia selalu identik dengan acara halal bihalal. Tradisi umat Muslim Indonesia ini umumnya diselenggarakan di kalangan instansi pemerintah, swasta, perusahaan, lembaga pendidikan, atau komunitas masyarakat.

Di dunia Arab sendiri, tidak dikenal istilah halal bihalal. Bahkan mungkin orang-orang juga bingung memaknainya, halal bihalal artinya halal dengan halal?

Sejarah Halal Bihalal

Baca Juga: Inilah 10 Kebiasaan yang Dilarang dalam Islam tapi Dianggap Biasa

Menurut Prof. Quraish Shihab, istilah halal bihalal merupakan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.

Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi.

Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah kegiatan halal bihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional.

Baca Juga: Urgensi Hidup Berjamaah dalam Islam

Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan umat.

Pengertian Halal Bihalal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia 1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahim.

Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.

Baca Juga: Makna Kehidupan Dunia dalam Surah Al-Hadid Ayat 20

Dalam bahasa Arab sendiri, halal bihalal bisa berasal dari kata “Halla atau Halala” yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain: penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Karena itu, melalui pendekatan kedua bahasa tersebut, maka arti halal bihalal adalah suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.

Pengertian lainnya dari sisi fiqih, kata halal lawan dari haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan dosa.

Jadi dengan adanya halal bihalal bagi yang melakukannya akan terbebas dari semua dosa. Dengan demikian, makna halal bihalal ditinjau dari segi fiqih adalah menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai bila syarat-syarat lain terpenuhi, yaitu syarat taubat, di antaranya menyesali perbuatan, tidak mengulangi lagi, meminta maaf kepada sesamanya.

Baca Juga: 10 Sifat Buruk yang Dibenci Allah, Nomor 7 Paling Berbahaya!

Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab itu sendiri, sebagian ahli bahasa menyebutnya sebagai istilah asli made in Indonesia dan tidak dikenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya.

Namun istilah ini bisa saja diuraikan dalam ilmu Bahasa Arab yang sering disebu dengan idzmar (sisipan spekulatif pada kalimat). Yakni, Halal bi Halal maksudnya adalah, “thalabu halal bi thariqin halal” (mencari kehalalan dengan cara yang halal). Atau bisa juga, “halal yujza’u bi halal” (kehalalan dibalas dengan kehalalan).

Hikmah Halal Bihalal

Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam, yang hendak dimunculkan pada momen Syawwal bulan lebaran. Walaupun tentu saja setiap saat kaum Muslimin harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Ini sejalan dengan hadits,

Baca Juga: 7 Keutamaan Ramadhan yang Wajib Diketahui Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali persaudaraan ” (H.R. Bukhari).

Pada hadits lain disebutkan:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Siapa saja yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hakikat dan filosofi Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal.

Baca Juga: Pahala Dahsyat Menyantuni Janda dan Orang Miskin, Jangan Lewatkan!

Dengan catatan tentu memperhatikan hal-hal agar tetap terjaga kesucian halal bihalal itu sendiri, seperti menjaga diri dari khalwat (pertemuan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), menjaga diri dari membuka aurat, pamer, membuka aib orang lain, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Semoga. (P4/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Cara Islam Memperlakukan Tawanan dan Sandera

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Indonesia
Dunia Islam
Tausiyah
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kata Mereka