Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Halimi bin Mashudi, Sosok Pemimpin yang Hidup dalam Perjuangan dan Amanah

Rudi Hendrik - Rabu, 27 Juli 2022 - 22:30 WIB

Rabu, 27 Juli 2022 - 22:30 WIB

8 Views

Oleh: Panji Ahmad, S.Sos, Kepala Bidang Wakaf dan Pendanaan Aqsa Working Group

Sosok lelaki kurus yang selalu berpenampilan sederhana itu akhirnya paripurna menghabiskan hidupnya di alam dunia, ketika ia mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa malam, 26 Juli 2022, pukul 23.05 WIB.

Lelaki berwajah tenang dan terkesan pendiam tersebut bernama Halimi bin Mashudi, Amir Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Bekasi, Jawa Barat.

Kesaksian tiga orang pentalqin, dua di antaranya yaitu Pak Tri dan Pak Muhairi, menjelaskan bahwa pada saat menjelang ajalnya, Mbah Halimi bin Mashudi melafalkan kalimat tahlil dengan lancar dan jelas. Hingga akhir napasnya melafalkan asma Allah tanpa tersengal dan tanpa terhentak.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Tepat pukul 23.05 WIB, lafaz Allah menjadi kata agung yang terakhir diucap oleh pemimpin berusia 76 tahun 6 bulan itu.

 

Nekat ke Jakarta demi pendidikan

“Kamu boleh merantau, dan carilah teman sebanyak-banyaknya, jangan cari musuh.”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Itulah sepenggal nasehat seorang ibu yang melepaskan anak dari kampung halamannya untuk waktu yang cukup lama.

Sebuah pilihan yang nekat bagi Halimi, bocah berumur 12 tahun, demi menuntut ilmu di Jakarta. Ia hanya berbekal nasehat ibu yang selalu dipegang dan menjadi teman disebatangkaranya pada tahun 1958.

“Jakarta adalah tempat kehidupan yang keras, berhati-hatilah di sana, Nak!” pesan sang ibu lagi kepada Halimi.

Kisah Jakarta yang diceritakan oleh warga Desa Kemiri, Kec. Sumpiuh, Banyumas, tempat kelahiran Halimi, sangatlah berbeda dengan yang dialaminya langsung ketika tinggal di bawah langit Jakarta. Kondisi pada saat itu masih terbilang sepi, tidak seperti saat ini, bagi Halimi kejahatan tidak seseram ceritanya.

Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman

Pada saat itu, Halimi diambil oleh saudagar bemo untuk membantu di tempatnya.

Hal yang tidak terpikirkan oleh Halimi, ternyata alat timbaan air untuk mengisi kolam-kolam besar menjadi sahabat pertamanya. Bunyi dencitan kerekan tua berpadu dengan helaan nafas di waktu subuh yang berat, Halimi harus mengisi penuh air di kolam-kolam yang berkali lipat besarnya dari dirinya, sebelum orang banyak mempergunakan kolam-kolam air itu untuk mandi dan keperluan lainnya.

Tidak lama dari hal itu, Halimi menambahkan kegiatannya, yaitu ikut membantu mencuci bemo-bemo kotor yang habis dipakai oleh para joki. Kepalan tangan lemah Halimi tidak menyurutinya dalam mencari uang untuk keberlangsungan hidupnya di Jakarta, terkhusus untuk pendidikan yang sedang ia perjuangkan untuk dirinya, di sela waktu yang ia sisikan untuk belajar dan menimba ilmu.

Lambat laun, Halimi terbiasa dengan hal-hal yang ia lakukan. Hal itu dirasakan juga oleh saudagar bemo. Keuletan dan kesungguhan Halimi kecil, sampai suatu ketika Halimi dibuatkan SIM bemo dan boleh ikut serta menarik bemo-bemo yang biasa ia cuci itu.

Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah

“Saya akan kerja keras untuk pendidikan saya.”

Itulah tekad dan pegangan Halimi waktu itu, sehingga segala pekerjaan yang dilakukannya dia anggap biasa-biasa saja. Uang yang dulu ia rasa sulit didapat, sekarang dengan menarik bemo terasa lebih mudah. Dengan tangan terkepulkan debu, Halimi mendapatkan kelulusan SMP pada tahun 1961 di Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta.

 “Tikus aja gemuk, apalagi orang”

Menarik bemo sudah menjadi kegiatan harian Halimi pasca lulusnya mengenyam pendidikan SMP.

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Suatu ketika Halimi sedang beristirahat duduk di depan kendali bemo dibarengi dengan menghitung receh dan lembar rupiah yang ia miliki, lalu ada pengumuman untuk bekerja di PLN, Halimi bergegas turun dari bemonya dan mencari kabar di kerumunan orang banyak.

POLSUS (Polisis Khusus) PLN menjadi pilihan Halimi setelah cukup lama baginya bersama dengan bemo kecintaannya.

Selama ini uang ia dapat dengan menarik bemo. Namun kali ini, Halimi ingin mencari hal berbeda dengan cara mengikuti tes kerja tersebut, yang pelatihannya diselenggarakan di Lido, Sukabumi.

Halimi sekarang lebih gagah mengenakan pakaian POLSUS PLN, baginya seperti TNI AL, gagah, dan lebih bangga mengenakannya. Tugas-tugas penertiban pemasangan aliran listrik, menghadapi rumah-rumah yang hendak akan dipadamkan listriknya dikarenakan kesalahan-kesalahan pemilik rumah yang tidak mengindahkan peraturan PLN, menjadi hal yang harus dibiasakan oleh Halimi.

Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

Sepuluh tahun menjadi waktu yang cukup panjang dalam mengenakan pakaian POLSUS yang membuatnya lebih bangga itu. Kemudian ia diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMA sekolah ARSIS 02 Jakarta, sehingga Halimi naik ke golongan 2C di PLN dengan tugas menjadi administrator gudang.

“Tikus aja gemuk apa lagi orang!” Itulah sekalimat sindiran yang kerap diterima Halimi setelah kenaikan tugas.

Namun, nasehat tua dari ibu tercinta tetap menjadi pegangan Halimi di mana pun dan dalam keadaaan apa pun, “Kamu boleh merantau, dan carilah teman sebanyak-banyaknya, jangan cari musuh.

Nasihat  itu tetap mengukuhkan jiwa dan mental Halimi di pergudangan sehingga bisa bertahan selama 30 tahun sebelum dirinya memasuki masa pensiun PLN.

Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina

Orang terlama yang mampu dalam memegang amanah mengecek dan mendata keluar dan masuknya barang-barang gudang, ketika teman-teman yang lain terkena fitnah atau kasus permasalahan barang-barang gudang. Meski tikus-tikus itu gemuk ketika berada di dalam gudang, tetapi Halimi bukanlah termasuk dari tikus-tikus yang tertangkap lalu dikeluarkan dari pekerjaan. Halimi mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya dan sudah mendarah daging, susah payahnya ia hidup di Jakarta, bukan berarti baginya lupa daratan di dalam pekerjaannya.

Kilatan petir menjadi lentera penunjuk jalan

Suatu ketika Halimi mendapatkan tugas untuk mengalirkan listrik di Desa Al Muhajirun, Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Waktu itu Halimi harus bolak-balik antara rumahnya di Bekasi dan Desa Al Muhajirun yang terpisahkan pulau. Tetapi semangat menunaikan amanah sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri (pemimpin), yang pada tahun 1990 Halimi berbaiat kepada imam wadah umat Islam Jama’ah Muslimin (Hizbullah).

Tusliman, rekan Halimi, membantu pemasangan listrik di desa tersebut. Sering kali Halimi dan Tusliman berjalan kaki karena tidak adanya kendaraan yang masuk ke desa yang berada di pelosok dan mengirit biaya, karena tugas pemasangan listrik ini tidak ada bayaran, melainkan amal saleh membantu kepada sesama.

Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global

Dari Pasar Natar memasuki perkebunan sawit, Halimi jajaki dengan kakinya untuk sampai ke Desa Al Muhajirun.

Pada saat bertugas, Halimi mendapatkan info bahwa anaknya sakit sehingga Halimi harus bergegas pulang ke Bekasi. Waktu itu malam hari gelap gulita, listrik belum terpasang sempurna, dan tidak adanya kendaraan. Halimi memutuskan jalan kaki melewati kebun sawit untuk sampai ke Pasar Natar.

Kesunyian dirasakannya. Suara serangga-serangga malam terdengar di sekeliling kupingnya. Halimi tertunduk, pandangannya kesulitan mencari jalan di tengah kebun kelapa sawit yang gelap gulita.

Namun, gemuruh datang, langit kian gelap, mendung terjadi saat itu, sesekali kilatan petir menyambar. Halimi memerhatikan arah jalan dengan sekilas bersamaan hilangnya berkas cahaya kilat. Halimi bisa meneruskan perjalanan karena melihat sebuah jalan dari bantuan cahaya kilat. Dan ketika mulai kehilangan arah, kembali lagi sambaran kilatan petir itu muncul menyinari sekelebat langit. Kembali Halimi menemukan arah jalan sampai tercapainya Pasar Natar. Namun anehnya, tidak sama sekali tetesan hujan turun, kilatan itu menjadi lentera penunjuk jalan bagi Halimi.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Proyek memasukan aliran listrik itu terselesaikan selama empat bulan, menjadi waktu yang cukup bagi Halimi akrab dengan para pemuda dan masyarakat di Desa Al Muhajirun, karena Halimi harus memastikan skema listrik tiap rumah di desa tersebut.

Ekor lele itu terseret di aspalan jalan desa

Pensiunan PLN, mungkin itulah pensiunan terakhir bagi Halimi di dunia pekerjaan. Sebelumnya dia adalah pensiunan timbaan air, pensiunan pencuci bemo, dan pensiunan penarik bemo.

Halimi mendapatkan kursus pembekalan bagi para pensiunan PLN, agar banyaknya pesangon tidak tersalurkan sia-sia. Halimi mengambil pelatihan perikanan dan pertanian di puncak Villa Sopotumbur.

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Dari itu Halimi mengalokasikan pesangonnya untuk menjual tanaman-tanaman buah dan membuat kolam lele, sumber airnya di ambil dari kali yang tidak jauh dari kolamnya. Halimi membuat jalur air bawah tanah menuju kolam lelenya, yang menjadi daya tarik tersendiri untuk para rekan-rekan kerjanya dulu untuk bersilaturahmi sambil memancing.

Dikarenakan umur dan kekuatan Halimi kian turun, sehingga rencananya perkembangan penjualan tanaman-tanaman buah dan kolam lele jumbo -yang dua bulan sekali lele-lele itu dipanen- mungkin cukup disudahi.

Kolam-kolam itu terbengkalai selama dua tahun, ketika ada pengurugan tempat, kolam-kolam itupun harus ditutup.

Sebelum ditutup, semua isi kolam dikeluarkan. Lele-lele jumbo berwarna hitam pekat memenuhi jalan kampung, hingga angkot antardesa berhenti melihat lele-lele jumbo bergeliatan. Ada warga yang takut, terheran dan takjub melihat hal demikian.

Ketika seseorang ingin mengambil lele dengan sepeda, satu ekor kepala lele berada di stang sepeda, sementara ekornya terjuntai hingga terseret di aspalan jalan desa karena besarnya.

Masjid Baitul Muttaqiin dibangun di belakang rumah Halimi di Mekarjaya, Kec. Harapan Mulya, Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Panji Ahmad)

“Saya akan bangun rumah-Mu ya Allah, tapi saya tidak punya apa-apa

Awalnya, hanya halaman belakang ukuran 3 x 6 meter di kediaman Halimi di Mekarjaya, Kec. Harapan Mulya, Bekasi. Halimi sediakan untuk para warga mengkaji dan mengaji ilmu-ilmu Allah, sehingga tempat itu penuh, sampai kaki-kaki hadirin di tekuk ke dada, menandakan tempat di halaman belakang itu kecil dan sesak untuk menjadi tempat pengajian.

Lahan yang sempit 8 x 8 meter samping kolam kala itu kemudian Halimi jadikan mushala, tepat di belakang halaman rumahnya, menambah tempat bagi warga untuk mengaji ilmu-ilmu Allah. Kian lama tempat itu semakin terasa sempit, walau sudah ditambah dengan musala. Pada akhirnya tempat itu tidak cukup menampung para penuntut ilmu agama yang datang dari berbagai daerah, khususnya Bekasi.

Tekad Halimi membulat, ingin memperluas mushalanya menjadi masjid yang lebih layak dari sebelumnya untuk membuat nyaman pengajian yang dilakukan minimalnya sepekan sekali, baik pengajian para pemuda, ibu-ibu dan pengajian umum seperti Sirah Nabawiyyah dan lain sebagainya.

Namun, keterbatasan dirasakan oleh Halimi yang hanya seorang pensiun PLN yang jabatannya tidak begitu tinggi, sepertinya tidak mungkin untuk memperluas mushala ke sekitar dan meninggikannya.

“Saya akan membangun rumah-Mu ya Allah, tapi saya tidak punya apa-apa, kecuali apa yang Engkau berikan kepada kami,” doa Halimi yang penuh harap dan kusyuk di setiap sepertiga malam terakhir.

Mushala yang akan dibangun masjid itu membutuhkan lahan tambahan seluas 220 M.

Halimi kemudian memutuskan pindah, rumah yang dihuninya dirobohkan guna memperluas Masjid Baitul Muttaqin itu. Keluarga Halimi, terkhusus sang istri, mengikuti keinginannya.

Rumah Halimi sekarang hanya 3 x 8 meter dari yang sebelumnya seluas 220 meter persegi.

“Kita di akherat sedang bangun rumah juga.” Ini kalimat yang disampaikan Halimi kepada istrinya dan meminta kepada segenap keluarga untuk tidak mempermasalahkan tanah itu karena sudah menjadi milik Allah.

Dua tahun delapan bulan lamanya, masjid itu dibangun tanpa adanya kendala. Sekarang menjadi megah nan indah, dari kejauhan sekarang tampak Masjid Baitul Muttaqin berdiri gagah nan kokoh. Para jemaah pengajian pun sudah tidak bingung lagi soal tempat dengan lantai bawah masjid digunakan untuk tarbiyah Taman Pendidikan Al-Quran dan parkir. Setiap pagi dan sore hari, terdengar suara anak-anak kecil bertasyahud mengagungkan nama-Nya.

Biaya yang dihabiskan sebanyak Rp1,5 miliar, biaya yang tidak sedikit, tetapi Halimi yakin Allah Mahakaya dan kita tidak memiliki apa-apa kecuali hanya pertolongan-Nya saja. Halimi hanya memasang spanduk iklan di depan bangunan masjid dan mendoakan untuk para donatur dengan melalui arti yang dipahami.

Kini pemimpin yang saleh dan amanah itu telah dipanggil Allah SWT. Semoga seluruh amal jariyahnya terus mengalir dan terus berlipat. Beliau orang saleh, Beliau orang baik. Itulah penilaian hampir semua orang tentangnya. (A/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Sosok
Sosok
Sosok
MINA Preneur