Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

HAM Versi Amerika, Hak untuk Menindas yang Lemah

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views

Penjara Guantanamo Bay – simbol pelanggaran HAM dengan dalih keamanan (foto: ig)

AMERIKA Serikat secara konsisten mengklaim diri sebagai pelopor dan pembela hak asasi manusia (HAM) di dunia. Namun, kenyataannya sering kali berbanding terbalik dengan narasi yang dibangun. HAM versi Amerika cenderung selektif, oportunistik, dan sangat politis. Negara adidaya ini cenderung hanya membela hak-hak individu atau kelompok jika menguntungkan agenda geopolitik dan ekonominya.

Salah satu ironi paling nyata adalah bagaimana Amerika mengabaikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sekutunya seperti Israel terhadap rakyat Palestina. Ribuan warga sipil, termasuk anak-anak, dibunuh, tetapi tidak ada sanksi ataupun kecaman keras dari Amerika. Justru, AS terus memberi bantuan militer dan dana besar kepada Israel, menunjukkan bahwa “hak asasi” dalam pandangan mereka hanya berlaku untuk pihak yang mereka dukung.

Dalam sejarah panjang intervensi militer Amerika di berbagai negara, seperti Irak, Afghanistan, Libya, dan Suriah, kita menyaksikan bagaimana HAM dijadikan justifikasi palsu untuk invasi, pembunuhan massal, dan penghancuran negara. Mereka mengklaim membebaskan rakyat dari kediktatoran, tetapi yang terjadi adalah penderitaan rakyat sipil, kehancuran infrastruktur, dan kekacauan yang berkepanjangan.

Invasi ke Irak tahun 2003 adalah contoh brutal. Amerika menyerang dengan dalih memusnahkan senjata pemusnah massal yang ternyata tidak pernah ditemukan. Akibatnya, ratusan ribu orang tewas, jutaan menjadi pengungsi, dan negara tersebut menjadi ladang konflik sektarian. Jika itu bukan pelanggaran HAM paling parah, lalu apa?

Baca Juga: ​Tarian Erotis Wanita Arab dan Derita Palestina

Di dalam negeri, Amerika juga menyimpan luka mendalam atas nama HAM. Rasisme sistemik terhadap warga kulit hitam, kekerasan polisi yang brutal, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas adalah bukti bahwa HAM di Amerika adalah slogan kosong. George Floyd hanyalah satu dari ribuan korban kekejaman sistem yang menindas.

Penjara-penjara Amerika penuh dengan warga kulit berwarna yang dihukum berat karena kejahatan kecil. Ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di AS tidak netral dan cenderung menghukum yang lemah. Amerika membanggakan kebebasan, tetapi nyatanya mengurung dan membungkam suara-suara yang tak sesuai dengan arus kekuasaan.

Perlakuan terhadap Muslim di Amerika pasca-9/11 juga mencerminkan hipokrisi HAM mereka. Diskriminasi, penangkapan tanpa proses hukum, pengawasan massal, dan penggambaran negatif terhadap umat Islam terjadi secara sistematis. Semua ini dilegalkan dengan dalih keamanan nasional, padahal sejatinya adalah bentuk teror negara terhadap minoritas.

Guantanamo Bay menjadi simbol nyata dari kejahatan terhadap HAM yang dilakukan oleh Amerika. Penjara ini menahan ratusan orang tanpa proses pengadilan, melakukan penyiksaan, dan melanggar hukum internasional, namun tetap dijustifikasi oleh pemerintah AS. Ironisnya, negara ini mengklaim sebagai penjaga demokrasi dan kebebasan.

Baca Juga: Ketika Dolar AS Jadi Alat Imperialisme Modern

Sikap hipokrit Amerika dalam menyikapi demonstrasi juga menguak wajah aslinya. Ketika protes anti-pemerintah terjadi di negara lain, Amerika mendorong perubahan rezim dengan alasan hak berekspresi. Namun ketika rakyat Amerika sendiri turun ke jalan untuk keadilan, mereka dibungkam dengan gas air mata, penangkapan, dan kekerasan aparat.

Dunia menyaksikan bagaimana Amerika menjadikan HAM sebagai alat intervensi untuk menjatuhkan pemerintahan yang tak sejalan dengan kepentingannya, seperti yang terjadi di Venezuela dan Iran. Negara-negara ini dikenai sanksi ekonomi brutal yang menghancurkan kehidupan rakyat kecil, semua atas nama “demokrasi dan HAM”.

Dalam bidang ekonomi, Amerika memaksakan sistem neoliberal ke negara-negara berkembang, memiskinkan rakyat lewat utang, privatisasi, dan deregulasi. Padahal, kemiskinan struktural juga adalah pelanggaran HAM. Namun, karena sesuai dengan kepentingan kapital global, praktik ini dilegalkan dan bahkan dijadikan model pembangunan.

Dunia digital juga menjadi ladang pelanggaran HAM oleh Amerika. Melalui perusahaan raksasa teknologi, mereka memata-matai masyarakat global, mencuri data, dan mengontrol informasi. Edward Snowden adalah saksi hidup bagaimana pemerintah AS melanggar privasi miliaran manusia di dunia dengan pengawasan masif.

Baca Juga: Amerika dan Imperialisme Modern, Dunia dalam Cengkeraman Dollar

HAM versi Amerika juga membiarkan Islamofobia tumbuh subur di Barat. Mereka membiarkan media dan institusi pendidikan menyebarkan kebencian terhadap Islam, mendukung kebijakan diskriminatif terhadap umat Muslim, dan bahkan menutup masjid atau membatasi praktik keagamaan dengan alasan radikalisme.

Dunia harus membuka mata bahwa HAM bukan milik eksklusif Amerika. Monopoli definisi dan penerapan HAM oleh Barat, khususnya Amerika, hanyalah alat penjajahan gaya baru. Kedaulatan, keadilan sosial, dan kemanusiaan sejati justru diinjak oleh mereka yang mengklaim paling beradab.

Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang dan dunia Islam membangun narasi HAM sendiri yang berpihak pada nilai-nilai keadilan sejati, bukan standar ganda Amerika. Dunia tak lagi bisa menerima HAM sebagai kedok untuk menindas, menguasai, dan menghancurkan mereka yang lemah atas nama kebebasan palsu.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Fakta Mengejutkan, Israel adalah Negara Ilegal Menurut Hukum Dunia

Rekomendasi untuk Anda