Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari Nakbah ke-76, Akhir Hegemoni Zionis Israel

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 15 Mei 2024 - 18:31 WIB

Rabu, 15 Mei 2024 - 18:31 WIB

3 Views

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA, Duta Al-Quds Internasional

‘Negara Israel’ yang didirikan secara sepihak pada tanggal 14 Mei 1948, diproyeksikan sebagai negara yang maju dan kuat secara politik, ekonomi, militer, nuklir dan teknologi, yang merupakan bagian organik dari kubu Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat.

Berdirinya ‘Negara Israel’ itu dengan mengorbankan rakyat Palestina, justru menjadi pertanda bahwa negara di atas tanah jajahan itu tidak akan menjadi negara yang maju dan kuat. Malah tidak akan bertahan lama, dan cepat atau lambat akan runtuh.

Ini bukanlah ramalan atau mitos, melainkan karena mereka adalah entitas kolonial pemukim yang ditanam di wilayah tersebut dengan menggunakan apartheid, pendudukan militer, genosida serta segala jenis kejahatan dan terorisme, yang lama-lama tidak diterima oleh dunia internasional, dari timur ke barat, utara hingga selatan.

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

Prof. Ilan Pappe guru besar Jurusan Ilmu Sosial dan Kajian Internasional di Universitas Exeter, Britania Raya mengatakan, akhir dari proyek Zionis saat ini telah dimulai, ditandai dengan semakin banyaknya generasi muda Yahudi yang mendukung Palestina.

Menurutnya, pembicaraan tentang kehancuran proyek Zionis tidak hanya dimonopoli oleh musuh-musuh Israel. Namun juga tersebar luas bahkan di kalangan politikus Zionis dan pemimpin agama Yahudi sendiri.

Tidak jarang terdengar perkiraan dari mereka bahwa hegemoni Israel akan lenyap sebelum kehancurannya mencapai usia ke-80 atau 100 tahun, sejak pendiriannya tahun 1948. Itu artinya tahun 2028 atau 2048, dan itu sebentar lagi, depan mata dan hidung dunia saat ini.

Ada kisah dari Muhammad Al-Rasyid, ketika ‘Negara Israel’ diumumkan tanggal 14 Mei 1948, seorang wanita tua Yahudi malah menangis dan masuk ke dalam rumahnya. Ketika ditanya, “Mengapa ibu malah menangis? Padahal orang-orang Yahudi sedang bergembira dengan merayakan kemerdekan Israel?”.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

Ibu Yahudi itu menajwab, “Dengan berdirinya Negara Yahudi yang kedua, justru inilah sebab akan dihancurkannya dan dibinasakannya bangsa Yahudi”.

Perang Badai Al-Aqsa

Perang Badai Al-Aqsa, sejak tanggal 7 Oktober 2023, dan akan terus terulang kembali di kemudian hari, diikuti dukungan global yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjadi tanda kuat betapa entitas zionis Israel itu sebenarnya memiliki banyak kelemahan.

Belum lagi, seperti ditunjukkan Prof. Ilan Pappe, faktor ekonomi yang menunjukkan kecenderung penurunan signifikan dari proyek Zionis. Belum lagi kesenjangan besar antara kaum kaya dan miskin serta Yahudi Barat dan Timur.

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Laporan terkini Bloomberg edisi April 2024 mengungkapkan bahwa kerugian ekonomi Israel akibat perang yang sedang berlangsung di Gaza selama tujuh bulan terakhir berjumlah sekitar 60 miliar shekel ($16 miliar), atau kalau dirupiahkan mencapai angka Rp260 triliun lebih.

Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan Israel pun menunjukkan, defisit anggaran keuangan yang sedang berlangsung selama 12 bulan meningkat menjadi sekitar 7 % dari Produk Domestik Bruto pada bulan April. Defisit keuangan aktual lebih tinggi dari perkiraan pemerintah, yang mencapai 6,6 % pada tahun 2024.

Selain itu, belanja meningkat sekitar 36 % dalam empat bulan pertama tahun 2024 ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pengeluaran pertahanan menyumbang sepertiga dari pengeluaran Israel, sementara pendapatan menurun sebesar 2,2 % karena penurunan pembayaran pajak.

Catatan militer Israel pun sama merananya, hingga saat ini, militer Israel secara resmi mengakui tewasnya 620 pasukannya sejak 7 Oktober 2023. Termasuk 268 perwira dan tentara dalam pertempuran darat di Gaza.

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

Namun menurut pihak perlawanan Palestina, jumlah di lapangan lebih dari itu, dan tentara pendudukan sengaja menyembunyikan jumlah kematiannya.

Sedangkan jumlah tentara Israel yang terluka akibat perang mencapai 7.209 orang, dengan 4.000 prajurit di antaranya mengalami cacat fisik. Belum termasuk lebih dari seribu tentara yang mengalami gangguan psikologis, sehingga harus ditarik dari medan tempur, dan tidak boleh berperang lagi. Beberapa puluh di antaranya saling baku tembak dengan sesama tentara Israel sendiri, dan tidak sedikit yang kemudian bunuh diri.

Belum lagi kejadian aneh tanpa dengan sebab sepele, seperti kecelakaan lalu lintas yang menimpa beberapa perwira militer Israel, prajurit Israel yang lari tunggang langgang dikejar dan disengat lebah-lebah beracun, hingga lembab-lembab membiru sekujur wajahnya, aksi tentara menendang bendera Palestina malah terluka karena ada bahan peledak yang meletup, dan lain-lainnya.

Belum lagi kerugian kerusakan kendaraan militer Israel di medan perang yang mengerikan, terdata menurut salah satu sumber bahwa kendaraan militer rusak mencapai 1.1.22 kendaraan, termasuk 980 unit tank tercanggih Merkava, seharga mencapai Rp45 miliar per bijinya.

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

Eksodus Warga Israel

Sementera di sebrang Barat, tatanan dunia baru saat ini sedang lahir di berbagai kawasan di dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah, yang menyaksikan perubahan yang semakin meningkat, dengan berbagai proyek strategis, mulai dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab hingga Turki. Artinya, munculnya dunia baru bisa saja dibarengi dengan runtuhnya proyek Zionis yang mencapai prestasi terpentingnya setelah Perang Dunia II.

Dalam jajak pendapat terbaru surat kabar Maariv, Maret 2024, menyebutkan sepertiga warga Yahudi di Israel yakin bahwa mereka tidak ingin anak dan cucu mereka tinggal di negara Yahudi tersebut. Jajak pendapat tersebut juga menunjukkan bahwa kepercayaan warga Israel terhadap pemerintah dan tentara telah menurun tajam, dari 50% menjadi 35%. Demikian sepertin dikutip dari Teheran Times.

Faktor lain yang memperkuat gagasan runtuhnya proyek Zionis adalah bahwa gerakan Zionis tidak mampu lagi meyakinkan sebagian besar warga Yahudi didunia untuk berimigrasi ke Israel, karena persentase orang Yahudi di Israel tidak melebihi 45% dari jumlah orang Yahudi di dunia.

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

Malah tingkat migrasi keluar dari tanah jajahan Israel semakin meningkat. Tercatat di akhir Desember 2023, tiga bulan perang awal melawan Gaza, sudah lebih dari 500.000 warga Israel, yang umumnya berkewarganegaraan ganda, eksodus ke Eropa atau AS, mencari tempat yang lebih aman dan nyaman, sampai kondisi memungkinkan.

Mereka sudah tidak merasa nyaman lagi berkawan dengan deru roket-roket Al-Qassam. Mereka sudah tidak percaya lagi kepada Perdana Menterinya sendiri Benjamin Netanyahu yang tak mampu menangkis serangan perlwanan dari Jalur Gaza yang bersenjatakan tak secanggih Merkava.

Sementara warga Palestina, pemilik sah tanah Palestina, terutama di Jalur Gaza, justru tetap bertahap di tengah ancaman pengusiran yang diklaim sebagai Hari Nakbah Jilid II.

Semakin Terkucilkan

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

Lobi Israel, yang didukung kubu Barat, yang dimotori Amerika Serikat dan Inggris, didukung Prancis, Jerman dan sekutunya, yang selama ini menguasai panggung politik internasional di badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kini pun tak mendapat teman. Satu per satu mengucilkannya karena perilaku kejahatan yang dibuatnya sendiri.

Tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat yang semakin meningkat, diikuti catatan hutang yang mencapai ratusan ribu trilun, dan sebaliknya kemajuan negara-negara seterunya, seperti Tiongkok, Rusia, Iran, Brasil, dan negara-negara lain, semakin menenggelamkan pendukung Israel itu.

Terlepas dari Hak Veto nanti di Dewan Keamanaan PBB, yang jelas dalam sidang Majelis Umum PBB, pada Jumat, 10 Mei lalu, yang beranggotakan 193 negara menggelar pemungutan suara. Hasilnya, 143 negara mendukung penuh Palestina menjadi anggota penuh PBB.

Resolusi tersebut mendukung upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB dan merekomendasikannya ke Dewan Keamanan PBB untuk “mempertimbangkan kembali masalah ini dengan baik”.

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Pemungutan suara yang dilakukan oleh Majelis Umum PBB pada hari Jumat (10/5) itu, menghasilkan 143 suara mendukung, 9 suara menentang dan 25 abstain.

Beberapa negara besar atau punyapotensi kuat, mendukung suara untuk Palestina, maknanya berseberangan dengan Israel dan AS. Mereka di antaranya : Australia, Tiongkok, Kuba, Perancis, India, Korea Selatan, Rusia, dan Singapura.

Negara yang dikenal dekat dengan AS pun lebih memilih abstain, sebut saja Jerman, Inggris, Italia, Belanda, dan Ukraina.

Sementara hanya 9 negara yang menentang resolusiuntuk Palestina, yaitu : Amerika Serikat, Argentina, Republik Ceko, Hongaria, Israel, serta negara-negara kecil atau tak berpengaruh kuat di dunia yaitu: Mikronesia, Nauru, Palau, dan Papua Nugini.

Baca Juga: Itrek, Organisasi yang Membiayai Perjalanan Oknum Nahdliyin ke Israel

Ketabahan Pasca Nakbah

Ada catatan menarik dari Biro Pusat Statistik Palestina yang melaporkan, pada Ahad, 12 Mei 2024, bahwa jumlah warga Palestinas saat ini, baik di wilayah pendudukan dan di mancanegara telah meningkat hampir sepuluh kali lipat sejak Hari Nakba tanggal 15 Mei 1948.

Biro Statistik tersebut mengatakan, jumah total warga Palestina di seluruh dunia saat ini mencapai 14,63 juta pada akhir 2023. Sedanghkan jumlah warga Palestina tahun 1948 sebelum Nakbah hanya 1,4 juta.

Kini, saat warga Palestina di Jalur Gaza yang mengungsi di Rafah, harus menghadapi situasi sulit setelah militer Israel mengambil alih perlintasan Rafah. Sebagian memang sedang berkemas-kemas hendak mengungsi lagi, entah ke mana lagi. Sementara sebagain besar lainnya menolak segala bentuk upaya pengusiran dan tetap bertahan sekuat tenaga di Tanah Palestina. Mereka tak ingin kejadian Hari Nakbah 1948 terulang kembali.

Baca Juga: Perhatian Terhadap Yatim Piatu di Lingkup Nasional dan Internasional

Militer Israel telah memperingatkan penduduk Rafah Timur, yang diperkirakan berjumlah sekitar 150 ribu orang, untuk segera mengungsi ke apa yang mereka sebut sebagai “Wilayah Kemanusiaan yang Diperluas” di daerah Al-Mawasi di tepi laut, Jalur Gaza.

Mesir yang telah menjalin kerjasama diplomatik dengan Israel sejak 1979, kini mengancam akan ikut bergabung dengan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (ICJ). Karena ancaman serangan darat pasukan Israel ke Rafah, hanya akan menimbulkan masalah baru meluas ke Rafah-Mesir, Semenanjung Sinai, dan berpotensi mengguncang stabilitas lebih luas lagi.

Yang jelas, semua menunjukkan tanda-tanda terkucilkannya hegemoni Amerika Serikat, dan dengan sendirinya akan menghancurkan kekuatan zionis Israel, dari dalam dan dari luar. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda