Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Pertempuran Surabaya yang heroik pada 10 November 1945 ditandai sebagai Hari Pahlawan di negeri kita tercinta Indonesia. Pertempuran ini adalah yang pertama dan merupakan salah satu kejadian terbesar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Peristiwa ini terjadi setelah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan peraturan mengharuskan pengibaran bendera merah putih mulai 1 September 1945 di seluruh wilayah Indonesia, termasuk tentu di Surabaya.
Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 29 September 1945, pasukan sekutu dipimpin Britania Raya (Inggris) yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang ke Indonesia. Di dalam rombongan itu ikut rombongan Belanda NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
AFNEI merupakan suatu pasukan sekutu pimpinan Letnan Jendrall Sir Philip Christison.yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya Perang Dunia Kedua dengan tugas membebaskan tawanan perang Jepang, dan melucuti persenjataan tentara Jepang.
Letjen Christison yang asal Inggris itu menganalisis bahwa tugas pasukan Sekutu tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, ia kemudian melakukan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia, dan juga mengakui secara De Facto negara Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945.
Pengakuan tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa dia tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Rencana itu awalnya disambut baik oleh Indonesia. Namun setelah diketahui bahwa kemudian AFNEI hendak mengembalikan Indonesia kembali menjadi Hindia Belanda, di bawah administrasi NICA. Maka mulailah terjadi perlawanan di daerah-daerah, termasuk di Surabaya, yang mengakibatkan situasi keamanan mulai memanas.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Situasi perlawanan di Surabaya dipicu adanya pengibaran bendera Belanda merah-putih-biru di depan Hotel Yamato, Surabaya. Tanggal 27 Oktober 1945, perwakilan Indonesia melakukan perundingan dengan pihak Belanda.
Perundingan semakin memanas setelah WV Ch Ploegman, pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat NICA menjadi walikota Surabaya, mengeluarkan senjata api hingga akhirnya menimbulkan pertikaian. Ploegman kemudian tewas oleh Residen Soedirman, Sidik, di Hotel Yamato.
Arek-arek Suroboyo merengsek masuk ke dalam hotel Yamato dan naik ke atas ke tempat bendera Belanda dikibarkan.. Hariyono dan Koesno Wibowo merobek warna biru di bendera Belanda sehingga tinggal warna Merah dan Putih, bendera Indonesia.
Dua hari kemudian, pada 29 Oktober 1945, Indonesia dan sekutu (AFNEI) sepakat melakukan gencatan senjata. Akan tetapi kesepakatan tersebut diingkari, kedua belah pihak kembali bentrok. Pertempuran tersebut menyebabkan komandan AFNEI Brigjen Mallaby tewas pada 30 Oktober 1945 dalam aksi baku tembak pasukan sekutu melawan Indonesia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Mallaby nama lengkapnya Aubertin Walter Sothern Mallaby adalah komandan Britania yang memimpin Brigade 49 Divisi India dengan kekuatan 6.000 pasukan, bagian dari AFNEI.
Mallaby memimpin pasukannya ke Surabaya sejak 25 Oktober 1945 untuk melucuti tentara Jepang sesuai Perjanjian Yalta. Sebuah perjanjian hasil Konferensi Yalta pasca PD II antara Amerika Serikat (dipimpin Presiden Franklin D. Roosevelt), Uni Soviet (Kepala Negara Josef Stalin) dan Britania Raya (PM Winston Churchill).
Dalam aksi perlawanan Surabaya waktu itu, mobil Mallaby dicegat arek-arek Suroboyo di Jembatan Merah yang mengakibatkan baku tembak. Mallaby tertembak, mobilnya pun terbakar akibat ledakan granat.
Sepeninggal Mallaby, pimpinan tentara sekutu digantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh. Ia kemudian mengeluarkan ultimatum yang mengharuskan pimpinan serta masyarakat Indonesia yang memiliki senjata melapor dan menyimpan senjatanya pada tempat tertentu. Selain wajib lapor, masyarakat Indonesia juga diminta untuk menyerahkan diri dan mengangkat tangan di atas sampai batas ultimatum pada 10 November 1945 pukul enam pagi.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Masyarakat Surabaya semakin marah dan menyebabkan pertempuran semakin sengit selama tiga pekan. Tokoh-tokoh yang berjuang dalam pertempuran yang paling menonjol adalah Sutomo (Bung Tomo), KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 datang pendaratan tentara sekutu AFNEI (Pimpinan Inggris) yang diboncengi NICA (Belanda), pada 29 September 1945, belum tampak tindakan pemerintah Republik Indonesia terhadap NICA dan Bala tentara Jepang.
Maka kemudian, para ulama yang terdiri dari wakil-wakil daerah (konsul) dari Perhimpunan Nahdhatul Ulama (NU) seluruh Jawa dan Madura mengadakan Rapat Besar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dalam Rapat Besar itu dikumandangkanlah Resolusi Jihad kepada pemerintah Republik Indonesia, yang menunjukkan betapa besar hasrat umat Islam dan ‘Alim Ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka.
Bagi ‘alim ulama saat itu menegaskan bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, adalah termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.
Para ulama waktu itu menyebutkan, bahwa pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah banyak melakukan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
Belanda juga dianggap ingin kembali menjadjah Indonesia, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia. Pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum Agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Para ulama selanjutnya mengumandangkan perjuangan bersifat “Sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Seruan Resolusi Jihad dan perlawanan ulama, santri dan para pemuda itulah yang membakar semangat jihad perlawanan di berbagai wilayah di Indonesia, lebih khusus lagi di tempat kesepakatan pertemuan para ulama tersebut, yakni di Surabaya.
Sinergi Tentara Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) yang baru dibentuk pada 5 Oktober 1945, dan dikuatkan dengan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Namun demikian, telah berhasil mengorganisasikan perlawanan ulama dan santri serta para pemuda untuk menghadapi tentara sekutu.
Berkaitan dengan Resolusi Jihad, Wakil Ketua MPR RI Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid,MA mengatakan pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020, berkat fatwa itulah arek-arek Surabaya berjuang mati-matian melawan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda. Padahal, tantara Sekutu menggunakan senjata modern, tetapi arek-arek Surabaya yang tergabung dalam beberapa barisan, seperti Laskar Santri dan Laskar Hisbullah tidak mudah dikalahkan, hingga peperangan itu berlangsung hampir satu bulan lamanya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Begitulah, sangat besar pengaruh fatwa Resolusi Jihad ini bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dari mulai cabang sampai ranting NU menjadi basis markas Hizbullah dan Sabilillah. Umat Islam tergerak untuk berangkat tak gentar dengan kematian yang setiap saat bisa menimpa mereka. Bahkan mereka merasa bangga mendapatkan predikat syahid sebab membela agama dan tanah air.
Fatwa itu pula yang kemudian mengilhami adanya peristiwa 10 November 1945. Tidak hanya itu, resolusi jihad ini juga mendorong perjuangan mempertahankan kemerdekaan hingga empat tahun kemudian.
Mengutip sumber buku “Resolusi Jihad, Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama Hingga Negara” karya Abdul Latif Bustami dkk dan Perjuangan Laskar Hizbullah karya Isno El Keyyis, bahwa Resolusi Jihad adalah bukti kontribusi Nahdhatul Ulama, para kyai, dan para santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam perjalanannya pasca itu pun, para kyai dan para santri banyak memberikan warna tersendiri bagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga sekarang. (tebuireng.online).
Atas dasar itu pula, Presiden RI Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri, yang ditetapkan jatuh pada tanggal 22 Oktober, bersesuaian dengan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Presiden Jokowi dalam Kepres tersebut menimbang bahwa ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik lndonesia serta mengisi kemerdekaan.
Pertimbangan berikutnya, bahwa untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik lndonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu dItetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.
Memaknai Hari Pahlawan 10 November 2021 saat ini, kita masih dan harus terus melanjutkan nilai-nilai perjuangan, pengorbanan, pengabdian, persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin