TANGGAL 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ini ditetapkan sebagai penghormatan atas jasa besar Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional yang menggagas konsep pembebasan dan kemerdekaan berpikir melalui pendidikan.
Hardiknas 2025 menjadi momen penting untuk merenungkan kembali hakikat pendidikan di tengah tantangan zaman yang terus berkembang, termasuk disrupsi teknologi, krisis moral, dan ketimpangan sosial.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap relevan: Untuk apa kita belajar? Apa tujuan sejati pendidikan? Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari akar budaya dan nilai agama masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Islam sebagai agama mayoritas memberikan warisan konsep pendidikan yang kaya, mendalam, dan aplikatif untuk semua zaman.
Jejak Sejarah Pendidikan Nasional
Baca Juga: Perjuangan Buruh Melawan Kebijakan Kerdil
Pendidikan di Indonesia sejak zaman penjajahan telah menjadi alat perjuangan. Ki Hadjar Dewantara menyuarakan pendidikan sebagai sarana pembebasan, bukan sekadar transfer ilmu. Prinsipnya yang terkenal, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” mengajarkan bahwa pendidik adalah pemimpin moral, pembimbing, dan pemberi inspirasi, bukan sekadar penyampai materi.
Namun, di era modern ini, sering kali pendidikan terjebak dalam industrialisasi pikiran. Sekolah menjadi tempat penggilingan ijazah, dan gelar akademik menjadi simbol prestise sosial, bukan lagi sarana pencarian kebenaran dan pembentukan akhlak. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam perlu diangkat kembali sebagai jawaban atas krisis orientasi ini.
Konsep Pendidikan dalam Islam: Sebuah Pandangan Integral
Islam memandang pendidikan (tarbiyah) bukan hanya sebagai proses pengajaran kognitif, tetapi juga pembentukan akhlak, spiritualitas, dan peradaban. Pendidikan dalam Islam memiliki tujuan utama: membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Baca Juga: Melepas Dunia di Tanah Suci, Pelajaran Ikhlas dari Rangkaian Ibadah Haji
Pertama, Landasan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Pendidikan dalam Islam berakar kuat dari Al-Qur’an. Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, “Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan). (Qs. Al-‘Alaq: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu harus dituntut dengan landasan tauhid, bukan sekadar untuk ambisi duniawi. Selain itu, banyak ayat lain yang menekankan pentingnya ilmu, seperti, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Islam menempatkan ilmu sebagai wasilah (sarana) untuk mengenal Allah, memperbaiki kehidupan, dan menebar maslahat di muka bumi.
Kedua, Pendidikan sebagai Ibadah dan Amanah. Dalam Islam, mencari ilmu adalah ibadah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Baca Juga: Buruh dalam Perspektif Islam: Sejarah, Hak, dan Relevansinya di Era Modern
Ilmu bukan hanya milik ulama atau pelajar pesantren, tapi kewajiban kolektif seluruh umat. Pendidikan bukanlah proyek duniawi semata, melainkan bagian dari perjalanan menuju ridha Allah.
Ketiga, Peran Guru dalam Islam. Dalam Islam, guru (ustadz, mu’allim, murabbi) menempati posisi yang sangat mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri adalah pendidik agung bagi para sahabat. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing ruhani dan teladan moral.
Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, menegaskan, “Guru adalah orang yang mengembangkan akal, membersihkan jiwa, dan menunjukkan jalan keselamatan kepada murid.” Ini sejalan dengan semangat Ki Hadjar Dewantara yang menyebut guru sebagai “pemomong dan pamong”.
Keempat, Kurikulum Islam: Seimbang Dunia dan Akhirat. Islam menawarkan kurikulum pendidikan yang integratif, mencakup aspek: Aqidah (keimanan), Ibadah (hubungan dengan Allah), Akhlaq (etika sosial), Muamalah (interaksi sosial dan ekonomi), Ilmu alam dan sosial sebagai sarana memahami ciptaan Allah.
Baca Juga: Ukhuwah, Teras Kehidupan Berjama’ah yang Membawa Berkah
Tujuan akhirnya bukan sekadar mencetak pekerja, tetapi membentuk insan kamil—manusia paripurna yang berperan sebagai khalifah di bumi.
Hardiknas dan Relevansi Konsep Pendidikan Islam di Era Digital
Tantangan pendidikan saat ini sangat kompleks. Di tengah kemajuan teknologi, terjadi paradoks: semakin banyak informasi, namun justru menipisnya kedalaman berpikir dan kehilangan arah moral. Budaya instan, kecanduan media sosial, hingga fenomena drop-out spiritual menjadi tantangan nyata.
Konsep pendidikan Islam sangat relevan dalam menjawab masalah ini:
Baca Juga: Muasal Ijazah dalam Tradisi Islam, Simbol Harga Diri
Pertama, Pendidikan Karakter (Akhlaq) Sebagai Prioritas. Pendidikan Islam sejak awal telah memprioritaskan akhlak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Di saat pendidikan modern terlalu fokus pada kognitif dan prestasi angka, Islam mengajarkan bahwa akhlak adalah pilar utama kesuksesan hidup. Tanpa akhlak, ilmu menjadi bumerang. Lihatlah krisis korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga penyebaran hoaks—semuanya adalah buah dari pendidikan tanpa nilai.
Kedua, Kemandirian Berpikir dan Tawadhu’ Ilmiah. Pendidikan Islam mendorong murid untuk berpikir kritis, terbuka, namun tetap rendah hati di hadapan kebenaran. Tradisi keilmuan dalam Islam mengajarkan adab terhadap ilmu, guru, dan proses belajar. Tidak ada ruang untuk kesombongan intelektual. Ilmu harus menjadi sarana membangun umat, bukan menindas yang lain.
Ketiga, Pemanfaatan Teknologi dengan Etika. Di era digital, pendidikan Islam menekankan pentingnya etika bermedia dan literasi digital yang berakhlak. Generasi muda didorong untuk cakap menggunakan teknologi namun tetap menjaga nilai-nilai Islam. Inilah makna dari integrasi antara fathanah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan shiddiq (jujur).
Baca Juga: Al-Quds dalam Catatan Sejarah Islam
Revitalisasi Sistem Pendidikan: Integrasi Nilai Islam ke Sekolah Umum
Salah satu kritik terhadap sistem pendidikan nasional adalah minimnya integrasi antara nilai-nilai spiritual dengan ilmu umum. Padahal, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia. Semua ilmu bisa bernilai ibadah jika diniatkan lillah.
Oleh karena itu, sudah saatnya kurikulum pendidikan nasional: pertama, mengintegrasikan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan ibadah ke dalam pelajaran umum. Kedua, menjadikan guru sebagai teladan moral, bukan sekadar pengajar akademis, dan ketiga, memberikan ruang lebih luas bagi pendidikan karakter berbasis agama di semua level pendidikan.
Penting untuk digarisbawahi bahwa nilai-nilai dalam pendidikan Islam seperti kejujuran, kerja keras, toleransi, kasih sayang, dan tanggung jawab adalah nilai universal. Pendidikan Islam bukan eksklusif hanya untuk Muslim, melainkan bisa menjadi sumber inspirasi kebangsaan yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan.
Baca Juga: Ka’bah di Hati, Ketika Rindu Tak Terobati, Doa Tak Pernah Henti
Konsep ini sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, di mana agama menjadi sumber etika, bukan sekadar simbol identitas. Dalam sejarah Indonesia, banyak tokoh pendidikan Islam seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, dan lainnya, turut membangun fondasi moral bangsa.
Peran Keluarga dan Masjid dalam Pendidikan
Di tengah keterbatasan sistem pendidikan formal, keluarga dan masjid memegang peranan krusial. Dalam Islam, pendidikan anak dimulai sejak dalam kandungan dan berlangsung seumur hidup.
Orang tua adalah guru pertama, sedangkan rumah dan masjid adalah madrasah utama. Perayaan Hardiknas harus mendorong lahirnya gerakan literasi keluarga dan menghidupkan kembali peran masjid sebagai pusat peradaban dan pendidikan umat.
Baca Juga: Menapaki Jejak Nabi, Haji Sebagai Perjalanan Jiwa Menuju Allah
Sejarah membuktikan bahwa Islam melahirkan peradaban besar yang bertumpu pada pendidikan. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Andalusia, dan Samarkand pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan riset multidisipliner. Ulama seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, hingga Ibn Khaldun mengintegrasikan ilmu agama dan sains dalam satu kerangka nilai.
Mereka membuktikan bahwa Islam bukan penghambat kemajuan, melainkan pendorong utama kemajuan berbasis akhlak. Inilah warisan yang harus dihidupkan kembali, terutama oleh generasi muda Muslim Indonesia.
Hardiknas 2025: Momentum Refleksi dan Aksi Nyata
Hari Pendidikan Nasional bukan hanya seremoni tahunan. Ia harus menjadi momentum evaluasi mendalam terhadap arah pendidikan kita. Apakah sistem yang kita bangun sudah melahirkan manusia yang beriman, cerdas, dan berakhlak? Ataukah justru menghasilkan generasi yang terasing dari nilai-nilai luhur bangsanya?
Baca Juga: Pemimpin Hebat Dibentuk dari Proses Pembelajaran Panjang
Mari kita gunakan Hardiknas 2025 sebagai titik tolak untuk: Mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem nasional secara bijak dan moderat, meningkatkan kualitas guru, baik secara akademik maupun spiritual, menghidupkan kembali peran keluarga, masjid, dan komunitas sebagai pusat pendidikan, mengembangkan kurikulum yang tidak hanya mengejar nilai ujian, tapi juga nilai kehidupan.
Itulah mengapa pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk dunia, tetapi juga untuk keselamatan akhirat. Seorang Muslim sejati tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat iman dan luhur budi. Pendidikan bukan sekadar alat mobilitas sosial, tapi juga jalan menuju surga.
Semoga Hari Pendidikan Nasional 2025 menjadi momentum untuk merevolusi pendidikan Indonesia ke arah yang lebih bermakna—berbasis nilai, berbasis akhlak, dan berlandaskan tauhid. Mari kita didik generasi penerus bangsa tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga menjadi sholeh, beradab, dan membawa manfaat bagi semesta.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Meluruskan Kembali Makna “Berjama’ah”