Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasil Ijtima Ulama VIII Berikan Panduan Haji

kurnia - Jumat, 31 Mei 2024 - 14:30 WIB

Jumat, 31 Mei 2024 - 14:30 WIB

11 Views ㅤ

Bangka Belitung, MINA – Salah satu hasil dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII memberikan panduan haji di Muzdalifah dan Mina. Salah satunya mengenai mabit di Muzdalifah dengan cara murur.

Ketua SC Komisi Fatwa se-Indonesia VIII Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, hal ini merupakan masalah kontemporer. Pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur itu, yakni melintasi Muzdalifah dengan tetap berada di kendaraan tanpa turun dan menginap.

“Pembahasan ini dilakukan untuk memberi panduan dan sekaligus solusi syariah bagi jamaah haji agar dijadikan pedoman. Pembahasan ini sebagai hasil permohonan Dirjen Haji Kemenag seiring dengan masalah yang dialami dengan bertambahnya jamaah haji dan menyempitnya kawasan Muzdalifah,” kata Prof Ni’am seusai Ijtima Ulama VIII di Ponpes Bahrul Ulum Islamic Center, Bangka Belitung, Kamis (30/5).

Hukum Mabit di Muzdalifah

Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi

Prof Ni’am yang juga ketua MUI Bidang Fatwa menyampaikan, hukum mabit di Muzdalifah adalah termasuk wajib haji. Prof Ni’am menambahkan, jamaah haji yang tidak mabit di Muzdalifah wajib membayar Dam, sebagai denda atas kesalahan (Dam isa-ah).

“Mabit di Muzdalifah dilakukan dengan cara melakukan kegiatan berdiam diri di Muzdalifah. Meskipun sesaat saja dalam kurun waktu setelah pertengahan malam tanggal 10 Dzulhijjah,” terangnya.

Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan, jamaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalan Mina tanpa berhenti (murur), adalah sebagaimana berikut:

Pertama, lanjutnya, jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah.

Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun

Kedua, tuturnya, jika murur dilakukan sebelum tengah malam dan atau berdiam meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka mabitnya tidak sah dan wajib membayar Dam.

“Dalam kondisi adanya udzur syar’i, seperti keterlambatan perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah hingga tidak menemui waktu mabit di Muzdalifah, maka ia tidak wajib membayar Dam,” tegasnya.

Rekomendasi

Terkait dengan hal ini, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII memberikan 4 rekomendasi. Pertama, jamaah haji Indonesia perlu memperhatikan ketentuan manasik haji dalam pelaksanaan ibadah haji agar sesuai dengan ketentuan syariah.

Baca Juga: Meriahkan BSP, LDF Al-Kautsar Unimal Gelar Diskusi Global Leadership

“Kedua, Kementerian Agama RI sebagai penyelenggaraan ibadah haji wajib menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jamaah haji sesuai dengan ketentuan syariah dengan menjadikan keputusan ini sebagai pedoman,” terangnya.

Ketiga, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah Depok Jawa Barat ini menerangkan, dalam haji ada kebijakan bagi sebagian jamaah haji yang harus melaksanakan mabit di Muzdalifah dengan cara murur tanpa turun dari kendaraan, maka Kementerian Agama RI dan atau penyelenggaraan ibadah haji khusus dapat mengaturnya sesuai dengan shif pergerakan jamaah di Arafaj ke Muzdalifah dan Mina.

“Di mana jamah yang menggunakan sistem murur adalah jamaah haji yang bergerak dari Arafah shift terakhir, dan sekira melintas di Muzdalifah setelah tengah malam,” ujarnya.

Keempat, kata Prof Ni’am, DPR RI harus melakukan pengawasan pelaksanaan manasik haji agar sesuai dengan ketentuan syariah dengan memedomani keputusan ini.

Baca Juga: Enam Relawan UAR Korwil NTT Lulus Pelatihan Water Rescue

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia