Oleh: Zaenal Muttaqin, wartawan di Kantor Berita MINA
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنْ جَآءَكُمْ فَا سِقٌ بِۢنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْۤا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِۢجَهَا لَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 6)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya memberikan ulasan tentang ayat ini, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum mukmin untuk selalu memeriksa dengan teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam menerimanya dan jangan menerimanya dengan begitu saja, yang akibatnya akan membalikkan kenyataan.
Orang yang menerima dengan begitu saja berita darinya, berarti sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang yang rusak.
Ada sebuah kisah tentang kebohongan yang berulang dan disengaja yang kemudian dianggap sebagai kebenaran. Suatu hari sekelompok penipu yang terorganisir merencanakan aksi penipuan pada seorang pemilik kambing.
Pemilik kambing yang nota benenya seorang peternak di desa pedalaman, membawa seekor kambing peliharaannya untuk dijual ke pasar. Kawanan penipu pun telah membuat strategi dan menebar anggotanya di beberapa lokasi.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Penipu pertama beraksi, “Mau dibawa ke mana anjing ini?” Si penipu mulai memperdayai calon korbannya. “Ini bukan anjing, ini kambing,” jawab pemilik kambing.
Si penipu mengatakan, kalau yang dia lihat adalah anjing. Pemilik kambing tak mau peduli omongan penipu. Dia pun meninggalkan penipu pertama.
Anggota penipu kedua pun mencegat pemilik kambing itu di tempat lainnya dan berkata, “Wah. Bagus sekali anjingmu.” “Ini bukan anjing, ini kambing,” kata pemilik kambing. “Apa kamu tidak melihat kalau ini memang anjing. Lihat bulunya,” katanya pula.
“Ini kambing. Dengarlah. Dia mengembik. Bukan menggonggong,” jawab pemilik kambing meyakinkan. Perdebatan terjadi. Akhirnya, pemilik kambing pun meninggalkan penipu kedua dan melanjutkan perjalanannya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Bertemulah pemilik kambing dengan penipu ketiga. Sang penipu ini juga mahir berdiplomasi dan meyakinkan apabila binatang yang mengembik itu bukan kambing, tapi anjing.
Melihat tiga orang mengatakan jika binatang yang dia bawa adalah anjing, keyakinan pemilik kambing pun mulai goyah. “Jangan-jangan, ini memang anjing, bukan kambing,” katanya dalam hati.
Kebenaran yang dia yakini pun mulai kabur. Kenyataan yang ada mulai membias. Kemudian, dia bertemu penipu keempat. “Hei, mau kemana nih?’ “Ke pasar,” jawab pemilik kambing.
“Apakah kamu mau menjual anjingmu ini?” kata penipu. “Iya,” jawab pemilik kambing dan dia pun akhirnya meyakini kalau yang dia jual adalah anjing, walaupun mengembik. Lalu, kambing yang disangka anjing gara-gara olah kata para penipu beralih pemilik.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Inilah contoh yang menggambarkan tentang sebuah fenomena yang dinamakan era post-truth. Yaitu sebuah fase dimana kebenaran hakiki dikaburkan dan dibiaskan sedemikian rupa oleh banjirnya informasi kebohongan.
Sebenarnya, kebohongan adalah sebuah tindakan yang umumnya dianggap tidak baik dan tidak jujur. Namun, terdapat ungkapan yang mengatakan, kebohongan yang dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Ungkapan ini seringkali dipahami sebagai peringatan terhadap bahaya dari kebohongan yang terus-menerus disebarluaskan.
Ungkapan ini menyoroti konsep psikologis yang dikenal sebagai efek pembenaran palsu atau efek kebohongan besar. Efek ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk percaya pada suatu informasi palsu atau kebohongan setelah mendengarnya berkali-kali, bahkan jika sebenarnya ia tahu bahwa informasi tersebut salah.
Ada beberapa alasan mengapa orang mungkin mulai percaya pada kebohongan yang terus-menerus diulang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Pertama, paparan berulang-ulang terhadap kebohongan dapat menciptakan kesan bahwa informasi tersebut merupakan sesuatu yang umum diterima, meskipun sebenarnya tidak.
Kedua, ada teori psikologis yang menyatakan, bahwa ketika seseorang mendengar sesuatu secara konsisten, hal itu dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kebenaran.
Fenomena ini bisa terlihat dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam politik, seringkali terdapat pemalsuan fakta atau penyebaran informasi yang tidak benar yang jika diulang-ulang dapat membuat sebagian orang mulai mempercayainya.
Kebohongan yang dilakukan terus-menerus dan dianggap sebagai kebenaran dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Hal ini dapat merusak kepercayaan antar-individu, mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, serta mengganggu komunikasi yang sehat dan produktif.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Untuk menghindari jatuh ke dalam efek pembenaran palsu, penting untuk selalu memeriksa kebenaran informasi yang diterima, tidak hanya sekadar menerima informasi tanpa pertimbangan.
Edukasi tentang kritis terhadap informasi yang diterima juga dapat membantu mengurangi kemungkinan percaya pada kebohongan yang diulang-ulang.
Jadi, meskipun ungkapan “kebohongan yang dilakukan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran” dapat menggambarkan fenomena psikologis yang nyata, bukan berarti harus menerima kebohongan sebagai sesuatu yang wajar.
Penting untuk selalu memeriksa kebenaran informasi dan tidak mudah percaya pada hal-hal yang tidak terbukti kebenarannya, sebagaimana ditegaskan pada Surat Al-Hujurat ayat 6 di atas. Allahu a’lam. (A/B04/P1)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Mi’raj News Agency (MINA)