Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Allah SWT telah memerintahkan seorang Muslim untuk berdakwah, seperti dalam firman-Nya,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs. An Nahl: 125)
Jika seseorang berprofesi sebagai jurnalis Muslim, maka ia pun mempunyai kewajiban yang sama untuk menyeru manusia kepada jalan Allah. Jika Anda hari ini menjadi seorang wartawan Muslim, maka bersyukurlah sebab Anda telah menjadi pelanjut perjuangan risalah Nabi SAW. Bukankah sebuah kemuliaan jika seorang wartawan Muslim dikatakan sebagai pelanjut risalah Nabi SAW?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Peran dan posisi wartawan Muslim sebagai pelanjut risalah Nabi dipandang dipandang sebagai sebuah kajian yang penting di era informasi saat ini. Hal itu didasari sebuah pandangan bahwa wartawan Muslim adalah salah seorang guru masyarakat informasi.
Apa yang lahir dari tangan mereka kemudian menjadi pelajaran yang diserap oleh masyarakat melalui media massa. Oleh karena posisinya yang sangat penting dalam masyarakat, maka wartawan Muslim bisa menjadi penyebar kebajikan di tengah masyarakat melalui media massa tempatnya berkarya. Namun hal itu dengan catatan bila dia bekerja secara ideal sesuai dengan norma yang berlaku dalam profesinya. Jadi, bisa dibilang wartawan itu setara dengan para da’i.
Dalam konteks pendidikan jurnalisme, wartawan Muslim dilihat sebagai sosok juru dakwah (da’i) di bidang pers, yakni mengemban da’wah bi al-qalam. Ia menjadi khalifah (wakil) Allah di dunia media massa dengan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai, norma, etika, dan syariat Islam.
Ia memiliki tanggung jawab suci terhadap Islam; mengupayakan agar ajaran Islam tetap dan selalu fungsional serta aktual dalam kehidupan. Ia sangat kritis terhadap lingkungan luar dan sanggup menyaring informasi Barat yang kadang menanam bias kejahatan terhadap Islam.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Jurnalis Muslim tidak boleh tinggal diam begitu saja jika melihat ada kemungkaran dalam dunia yang digelutinya, misalnya menyaksikan kekejaman penjajah zionis Israel atas Muslim Palestina. Ia harus beruang habis-habisan membela Palestina yang tertindas melalui media massanya. Bukan tidak mungkin masyarakat yang membaca informasi sesuai fakta tentang pembelaan terhadap Palestina yang terjajah akan diikuti oleh masyarakat luas.
Sebagai wartawan Muslim, tanggung jawab moral yang diambilnya sangat besar. Setiap langkah, setiap tulisan yang akan diterbitkan harus mempunyai misi amar ma’ruf nahi munkar, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Inilah yang membedakan antara wartawan sekuler yang menganut asas bebas nilai dengan wartawan Muslim yang berasas tidak bebas nilai alias berpegang pada syariat Islam.
Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan adalah nilai-nilai Islami yang bermuara pada keselamatan, keamanan dan kesejahteraan alam serta seisinya. Jadi perjuangan seorang jurnalis Muslim itu sifatnya rahmatan lil alamin, harus universal. Tujuannya hanya mengharap ridha Allah, sebab dia sedang berjihad melalui setiap tulisan yang diterbitkan.
Penyematan lain dari wartawan Muslim adalah penyuara kebenaran. Mereka adalah manusia bermoral tinggi, dan anti sogok. Jadi, motivasi bekerja seorang wartawan Muslim bukanlah karena imbalan semata. Dibayar atau tidak kalau itu merupakan panggilan hati nurani, ia akan melakukannya.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Panggilan profesionalisme itulah yang membedakan antara wartawan abal-abal yang menulis sesuai dengan keinginan sumber berita atau keinginan perusahaan dengan wartawan profesional yang tetap komitmen atas idealisme. Wartawan yang terakhir inilah mampu menggurat pena dengan mesiu kesadaran diri yang memantik kesadaran publik.
Para wartawan Muslim yang disebut juga sebagai penyambung lidah ajaran Islam dituntut untuk memiliki sifat-sifat kenabian yakni shidiq, amanah, tabligh, fathonah. Setidaknya ada lima peran media dakwah, yaitu sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim.
Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Peran seorang jurnalis Muslim harus bisa menyebarkan informasi tentang ajaran Islam kepada umat dengan utuh, jelas dan mudah dicerna sehingga bisa diamalkan. Bukan sekedar menyebarkan informasi, tapi harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan kehati-hatian.
Informasi tentang ajaran Islam yang benar, tentu saja sangat dinanti dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Sungguh, betapa mulia peran seorang jurnalis Muslim, hanya dengan goresan penanya, dia bisa menyampaikan banyak pesan dakwah kepada ratusan bahkan ribuan manusia.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Masih banyak distorsi sejarah yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menyesatkan kaum muslimin. Fakta sejarah kebenaran Islam diputar balikkan demi untuk merusak cara berfikir dan beribadah umat Islam. Bukankah, peran jurnalis Muslim bisa mengembalikan kebenaran sejarah Islam agar umat tidak jauh tersesat?
Peran seorang jurnalis Muslim memang sangat penting untuk menjadi kepanjangan tangan umat Islam dalam mengembalikan kebenaran sejarah sesuai fakta. Jurnalis Muslim inilah yang seringkali mengcounter kabar-kabar dan berita hoax.
Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali, melakukan investigative reporting, tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia salah satunya adalah di Palestina yang kini sedang terjajah oleh zionis Israhell.
Seorang jurnalis Muslim punya fungsi antara lain; sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam) yang tentu saja tetap sesuai dengan aturan syariat Allah dan Nabi-Nya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Seorang wartawan Muslim juga berperan sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam di mana dan kapanpun berada. Dakwah untuk menyatukan umat Islam dari pecah belah adalah perjuangan besar yang juga berpahala besar di sisi Allah.
Jadi, semangat untuk mempersatukan umat Islam bagi seorang jurnalis Muslim adalah tugas mulia. Mempersatukan umat tentu saja dimulai dengan cara menyebarluaskan informasi tentang pentingnya umat Islam bersatu untuk menjaga keutuhan syariat Islam.
Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang pembela Islam. Sudah tentu tidak bisa dipugkiri jika peran dan fungsi seorang jurnalis Muslim salah satunya adalah sebagai seorang pejuang. Para jurnalis Muslim terus berjuang melawan segala bentuk kebohongan, kepongahan dan virus-virus beracun yang disebarkan musuh-musuh umat Islam.[]
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Mi’raj News Agency (MINA)